Connect with us

Entertainment

EKSIL: Kuburan Saya Ada di Mana-mana

Published

on

Para eksil bertemu di Belanda (foto Lola Production)

JAYAKARTA NEWS— Puisi karya Chalik Hamid, seorang eksil (orang buangan, orang terasing) di Albania ini sempat menggegerkan para insan penegak hak asasi. Chalik Hamid adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ormas onderbouw PKI dan Ketua PPI di Albania.

“Saya dikirim oleh Presiden Soekarno belajar sastra di Albania. Biar saya kini sudah jadi warganegara Belanda (pasca perang di Albania, dia pindah ke Belanda), tapi pikiran saya tetap ada di sana, Indonesia,” ujar Chalik Hamid yang hampir 30 tahun tak pernah pulang ke Indonesia.

“Ketika ibu dan ayah serta abang saya wafat, saya enggak boleh pulang ke Indonesia,” urai Chalik Hamid ketika diwawancarai oleh Lola Amaria (sutradara, produser) dalam film bertajuk ‘Eksil’ (The Exile) ketika diputar di XXI Epicentrum dalam upaya mengumpulkan donasi untuk Palestina, baru-baru ini.

Ada 10 eksil di Belanda, Jerman, Tiongkok, Cheko Slovakia, Swedia dan Albania yang jadi nara sumber film Eksil yang berdurasi 119 menit dan diklasifikasi untuk 13 tahun ke atas oleh LSF.

‘Eksil’ yang meraih Piala Citra sebagai film dokumenter terbaik di FFI 2023 ini mengangkat sejarah kelam bangsa Indonesia pasca meletusnya G 30 S di tahun 1965/1966.

Lola Amaria : Saya dituduh agen intelijen. (foto: Fitriawan Ginting)

“Saya harus cepat membuat film ini. Karena beberapa eksil ada yang sudah wafat dan sakit tua. Hampir 2 tahun lebih saya merampungkan Eksil yang dibantu Shalahuddin Siregar sebagai penyunting gambar,” cerita Lola Amaria.

Akhirnya, hanya beberapa tokoh yang berhasil diwawancarai Lola tentang kisah perjuangan dan sepak terjangnya selama mengembara dari satu negara ke negara lain.

Asahan Alham Aidit, Sarjio Mintardjo, I Gede Arka, Tom Ilyas dan Hartoni Ubes tercatat beberapa eksil yang sempat jadi nara sumber film ini.

“Bahkan, ada eksil yang curiga dan saya dituding agen intelijen Soeharto atau siapa lah. Tapi saya jelaskan bahwa saya hanya khusus membuat film tentang mereka dan film ini juga didukung organisasi Amnesty International Indonesia dan individu-individu pegiat hak asasi manusia,” beber Lola.

Dari hasil wawancara para eksil, kehidupan mereka benar-benar pahit berkepanjangan. Pasport dicabut, dan status warganegara hilang bahkan status kekerabatan dengan sanak saudara juga hilang.

“Bayangkan. Para eksil kerja serabutan di luar negeri di luar ahli dan keilmuannya. Mereka berjuang untuk hidup dengan pindah-pindah negara. Mereka terus diintimidasi dan ditakuti. Dicap komunis dan harus pro Orde Baru dan Soeharto. Padahal mereka enggak semua PKI. Mereka Soekarnois dan pendukung Soekarno. Para eksil ada yang tugas belajar dan dikirim oleh Soekarno ke luar negeri,” imbuh Lola lagi.

Lola Amaria yang didukung Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International Indonesia mengaku prihatin dengan nasib para eksil pasca G 30 S akibat stigma komunis yang melekat dalam diri mereka.

“Negara bertanggung jawab minta maaf. Presiden Gus Dur sudah memulainya dan mengajak eksil pulang ke Indonesia. Cinta mereka kepada tanah air Indonesia enggak diragukan lagi,” kata Usman Hamid.

Lola Amaria sendiri mengungkapkan sejak SD, SMP sampai SMA hanya dicekoki film ‘Pemberontakan G 30 S/PKI’ yang jadi wajib tonton di masa Soeharto. “Saya penasaran dan akhirnya saya membuat versi lain yaitu film ‘Eksil’ ini,” papar Lola.

Bagaimana kalau film Eksil diprotes dan dituntut enggak boleh tayang karena persoalannya cukup peka ?

“Silakan. Ingat lho. Ini era reformasi. Keterbukaan harus diungkapkan, enggak boleh ditutupi terus,” jawab Lola tenang.

Bagi dirinya sebagai seorang sineas dan warganegara yang baik, dia terus memikul beban sejarah kelam pasca G 30 S.

“Ini sebuah karya saya dilihat dari perspektif berbeda,” tegas Lola Amaria.
Klop. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *