Connect with us

Kabar

‘Tiba-Tiba Sunyi, Antologi Puisi Wartawan’

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Antologi secara harfiah berasal dari bahasa Yunani yang berarti karangan bunga atau kumpulan bunga. Lalu dapat disimpulkan sebagai kumpulan karya sastra atau populer disebut bunga rampai. Awalnya mencakup banyak puisi yang dicetak dalam satu volume.

Terbitnya buku Antologi Puisi Wartawan ‘Tiba-tiba Sunyi’ oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  dan Djarum Foundation ini awalnya guna menyongsong Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Medan, 9 Februari 2023. Namun, dalam perkembangannya kemudian, buku setebal 210 halaman ini dibagikan secara cuma-cuma alias gratis pasca HPN. Dan jelas, masyarakat dan awam baru sempat membacanya kini, karena tidak terikat oleh waktu dan peristiwa. Artinya, masih aktual dan relevan.

Sebanyak 21 wartawan yang penyair dari seluruh Indonesia mengisi buku antologi ini : Akhmad Zailani, Asep Budi Heryanto, Amir Machmud NS, A R Loebis (juga editor buku), Bachtiar Adamy, Djoko Tetuko, Djuned Tjunti Agus, Gusfen Khairul, Hadi Effendi,  Hendry Ch Bangun, Hendro Basuki, Ki Agus N Fattah, Maria D Andriana, Rita Sri Hastuti, Rosyid E Abby, Syarifuddin Arifin,  Sopandi, Syam Irfandi, Temu Sutrisno, Teuku Maimun Umar dan Zul Anwar Ali Marbun.

Ihwal judul buku ‘Tiba-tiba Sunyi’ diambil dari judul puisi karya Amir Macmud NS di halaman 20.

“Pemilihan judul buku bukan asal pilih, melainkan melalui berpenalaran,” alasan A R Loebis.

Karena tema antologi kali ini bebas, maka karya yang masuk sangat majemuk, tapi sebenarnya semuanya merupakan ekspresi diri yag berasal dan renungan natural dan batin. Bersifat simbolik, dari pergulatan konflik eksternal dan internal yang terjadi dalam diri manusia dalam keseharian.

Perhatikan satu puisi berjudul ‘Tahun Baru 2023″ karya Rita Sri Hastuti, eks wartawan Zaman dan kini aktif di Lembaga Sensor Filn (LSF): gemebyar kembang api/ditingkah sorak sorai anak-anak/gembira sekali mereka/melompat-lompat.

Rita Sri Hastuti, wartawati yang penyair (foto Istimewa)

Rita Sri Hastuti juga nenyertakan puisi yang lain berjudul ‘Adinegoro’, wartawan senior yang namanya kini ditabalkan sebagai penghargaan tertinggi bagi insan pers Indonesia.

Yang unik, ada puisi terpendek yang hanya dua baris bertajuk ‘Indonesia Tak pernah Titik’ karya Rosyid E Abby, wartawan ‘Galura’ (berbahasa Sunda) terbitan Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Jawa Barat.

Puisi bermakna konotatif (kias yang bernilai rasa) ini isinya : jangan pernah bilang titik untuk tanahair ini/karena koma lebih berharga ketimbang keusaian.

Di satu sisi, antologi puisi ini terasa bermakna dan memiliki arti. Beberapa puisi  butuh kontemplasi (perenungan) guna menghayatinya. Namun, ada juga yang sekedar menuliskan kata atau kalimat seperti sedang berorasi atau seperti tengah memanjatkan doa. Banyak karya yang berbicara dibalik kata. Sederhana namun menghunjam.

Apa pun, ditengah kesibukan liputan dan menulis berita, mereka masih sempat menulis puisi, cerita pendek atau karya sastra lainnya. Last but not least, penghargaan setinggi-tingginya buat kaum wartawan atau jurnalis.

Ever onward never retreat ! (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *