Connect with us

Histori

Ratu Kalinyamat, Bangkitkan Kembali Politik Maritim Nusantara

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Mitologi Mataram yang selalu mendongengkan perkawinan antara penguasa darat (Sultan) dengan penguasa laut (Ratu Kidul) sebenarnya adalah simbol untuk membangkitkan kembali kejayaan kerajaan maritim penguasa lautan.

Entah mengapa Jepara mempunyai jejak sangat kuat dalam sejarah Nusantara. Uniknya jejak itu melibatkan sosok perempuan. Sebut saja di masa Hindu-Buddha ada nama Ratu Sima. Di masa transisi Majapahit ke Demak ada Ratu Kalinyamat dan di masa kolonial ada nama Raden Ajeng Kartini.

Dari tiga nama besar di atas barangkali hanya Ratu Sima yang paling sulit untuk meneliti rekam sejarahnya. Zaman dia hidup di pertengahan milenium pertama adalah tantangan bagi peneliti sejarah. Minimnya catatan tertulis, kabar atau kesaksian yang terekam dari sejarah lisan, hingga sulitnya mendapatkan sisa-sisa artefak yang bisa bertahan hingga sekarang adalah kesulitan paling besar untuk mengembangkan studi tentang sosok perempuan yang lebih mirip tokoh dongeng ini.

Sosok Kartini barangkali adalah sosok yang bisa disebut dalam istilah sejarawan dunia Montgomery Watt sebagai orang yang berada di dalam “terangnya cahaya sejarah”. Lahir di akhir abad 19, hampir semua catatan yang diperlukan untuk mengembangkan penelitian sejarah tentang perempuan yang menjadi inspirasi bangsa Indonesia ini bisa didapatkan. Yang perlu dilakukan hanya pengembangan berbagai sisi kehidupannya yang belum terungkap.

Yang tersisa adalah Ratu Kalinyamat. Sosok perempuan tangguh dari Jepara ini cukup banyak terekam dalam naskah-naskah tradisional maupun catatan-catatan penjelajah dunia yang singgah di pesisir Nusantara. Hanya saja pengembangan lebih jauh tentang karakternya yang “mendunia” dengan jejak kepemimpinan politik yang kuat masih jarang.

Ratu Penguasa Seluruh Lautan

Theodoor Pigeaud, ahli naskah Jawa dari Belanda punya dugaan kuat kalau akar mitologi orang Jawa tentang “ratu penguasa lautan” berasal dari tradisi di pesisir utara Jawa. Dalam buku “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” (1985) yang ditulis bersama rekannya de Graaf, dia menduga bahwa orang-orang Jepara punya tradisi kuat untuk melestarikan peradaban lamanya.

Salah satu buktinya adalah inskripsi yang ditemukan di pemakaman tua Mantingan atau Pamantingan yang terletak di sebelah selatan Jepara. Inskripsi itu berupa candra sengkala atau penanggalan bersandi yang menyatakan tahun pendiriannya. Tulisan itu berbunyi “rupa-brahmanawarna-sari” yang artinya tahun 1481 Jawa atau 1559 Masehi.

Pencatatan sejarah dengan menggunakan tahun Saka Jawa telah banyak diketahui para peneliti sebagai ciri khas peradaban Jawa sebelum Islam. Pamantingan yang diceritakan sebagai tempat Sunan Kalijaga membuat tiang tatal yang digunakan di Masjid Demak mempunyai kedekatan paralel dengan nama dewi Manting yang merupakan nama dewi padi di Bali.

Pigeaud menulis bahwa dewi menurut kepercayaan lama itu telah mengejawantah baik sebagai dewi tetumbuhan dan dewi kesuburan maupun sebagai Nyai Lara Kidul.

Mengapa legenda Nyai Lara Kidul yang paralel dengan sejarah kebesaran kepemimpinan politik Ratu Kalinyamat sebagai penguasa lautan malah berkembang dari pesisir utara? Bukankah utara dalam bahasa Jawa disebut Lor, sedangkan Kidul artinya Selatan?

Ini berkait dengan kosmologi Jawa kuno. Sederhana saja, dalam pemahaman orang Jawa sebelum adanya kompas, untuk menentukan arah angin gunung adalah patokan utamanya. Gunung yang tinggi dalam bahasa Jawa kuno disebut Lor alias Luhur atau yang tinggi tempat dewa bersemayam.

Sedangkan laut dalam kosmologi kuno yang sudah dilupakan selalu dinamakan kidul. Kamus bahasa Indonesia-Jawa Kuno terbitan Depdikbud (1992) menyebutkan bahwa kata selatan dalam bahasa Jawa Kuno bisa berarti daksina atau kidul atau kdwal atau mretyudesa atau udik. Kdwal atau keduwal  dalam bahasa jawa sehari-hari bisa berarti penampung apa saja. Begitu juga dengan laut. Kosmologi orang Jawa Kuno bahkan kosmologi semua orang jaman pra modern menyebut laut sebagai tempat semua berakhir.

Sampai di sini, legenda Nyai Lara Kidul yang berkembang di Pamantingan jika dikaitkan dengan sejarah kebesaran Ratu Kalinyamat alias Ratu Arya Japara yang menyebal menjadi Ratu Pajajaran menjadi sangat masuk akal.

Mitologi Mataram yang selalu mendongengkan perkawinan antara penguasa darat (Sultan) dengan penguasa laut (Ratu Kidul) sebenarnya adalah simbol untuk membangkitkan kembali kejayaan kerajaan maritim penguasa lautan.

Catatan Pembohong Besar

Namanya Fernao Mendes Pinto. Dia adalah seorang pembawa misi katolik, penjelajah, pelaut, prajurit, dan terutama penulis. Buku catatan perjalanan hidupnya (memoir) pada saat diterbitkan memunculkan banyak kehebohan.

Apakah peristiwa-peristiwa yang dia tulis benar-benar dia lakukan? Ataukah dia hanya menulis dari cerita-cerita yang dia dengar saat dia melakukan perjalanan ke Asia Selatan, Timur dan Tenggara pada pertengahan abad 16?

Kisah-kisah yang dia tulis sangat luar biasa. Dia memulainya sebagai seorang pembawa misi Katolik ke India dari orde Jesuit. Nasib kemudian membawanya ke Laut Merah menuju Ethiopia. Setelah menyelesaikan tugas pertamanya dia diserang armada Turki dan berakhir dengan dirinya menjadi budak yang dijual ke Mocha (Yaman).

Pinto menjadi milik seorang tuan Yunani sebelum dijual ke tuan Yahudi seharga tiga puluh ducats atau 4500 dolar. Perjalanannya berlanjut mengikuti karavan pedagang ke Hormuz. Di sana dia bertemu rekan-rekan Portugisnya dan ditebus dengan harga sepuluh kali lipat. Dari sana dia lanjut kembali ke Goa sebelum berangkat ke Malaka.

Dia lanjut misi ke Patani, China, Jepang, balik Burma sebelum kembali ke pangkalan Goa. Dari Goa dia berangkat ke Banten. Dari sini lah kesaksian pastor Jesuit tentang perempuan senior utusan Raja Demak yang memimpin armada lautan terbesar di Nusantara dituliskan.

Walaupun dalam banyak hal tulisan Mendes Pinto terlalu luar biasa sehingga sangat kentara bohongnya, beberapa catatan Mendes Pinto oleh para ahli sejarah harus diakui punya sisi yang sesuai dengan sumber-sumber lokal. Saking kontroversialnya tulisan Pinto, nama dia menjadi ejekan bagi seorang penulis yang biasa berbohong.  Fernao? Mentes? Minto? (Fernao apakah kamu bohong?).

De Graaf dan Pigeaud menyebut catatan Pinto sebagai sumber yang kurang bisa dipercaya. Tetapi, Cornelis PA Tiele, sarjana Belanda akhir abad 19 hingga Maurice Collis administratur Inggris di Burma abad 20  menilainya sebagai catatan yang tidak bisa direndahkan begitu saja.

Minimnya sumber-sumber sejarah Asia Tenggara pada waktu itu membuat catatan Pinto sangat penting. Banyaknya informasi yang disusun dalam catatan itu membuat karya itu menjadi karya Eropa yang paling komplet tentang sejarah abad 16  Asia.

Duta Besar Perempuan dari Demak

Nhay Pombaya tulis Mendes Pinto menyebut nama seorang duta besar Kerajaan Demak yang datang ke Banten pada akhir 1545. Nyai Pambayun, barangkali adalah penyebutan nama yang benar dalam bahasa Melayu tentang putri sulung Raja Demak penguasa Pulau Jawa, Kangean, Madura, dan Bali.

Dia adalah seorang janda berumur sekitar 60 tahun dengan kemampuan diplomatis yang luar biasa memberikan pesan singkat  kepada Raja Sunda yang bernama Tagaril.  Pesan itu adalah perintah bagi Raja Sunda agar bersiap-siap dalam enam minggu untuk hadir ke Jepara bersama segenap pasukan. Raja Demak telah menunggu di sana untuk melakukan penyerangan ke Pasuruan.

Pesan yang luar biasa dari seorang yang luar biasa, begitu yang ditangkap Mendes Pinto sebagai bagian dari orang-orang Portugis yang harus menghabiskan musim penghujan di Banten sampai tiba angin barat yang akan memulangkan mereka.

Tiba-tiba saja Mendes Pinto dari rombongan pelaut yang mencari lada harus berubah menjadi prajurit-prajurit manca yang menemani Raja Sunda memenuhi perintah penguasa seluruh pulau. Bersama dengan tiga puluh perahu jenis Kalalus dan sepuluh jenis Juripango, Mendes bersama empat puluh enam orang Portugis lainnya ikut bersama 7000 (tujuh ribu) orang pasukan menuju peperangan.

Bagi seorang pembawa misi Jesuit, Mendez Pinto melihat sosok Nyai Pembayun dengan keistimewaan yang luar biasa. Sebagai seorang Katolik yang dalam dirinya masih terbangun semangat perang Salib melawan Kesultanan Turki Usmani, munculnya seorang duta besar perempuan kerajaan Islam dari kepulauan paling timur dunia menjadi ciri pembeda perkembangan islam di kawasan ini.

Keistimewaan seorang perempuan senior, perbawa, kharisma dan kemampuan diplomasi yang bisa dipercaya ditulis oleh Mendez Pinto  sebagai karakter khas kepemimpinan perempuan di Asia Tenggara. Perempuan itu lah yang seperempat abad kemudian akan memegang kekuasaan bandar-bandar kerajaan Jepara setelah kegagalan Raja Demak dalam penyerbuan ke Pasuruan itu.

Di bawah kekuasaan dia lah perahu-perahu raksasa setinggi seribu kaki yang bernama Jung akan dicatat oleh para ahli sejarah Eropa sebagai bentuk kapal induk pertama yang pernah ada dalam sejarah dunia. Penyerbuan Malaka oleh Kerajaan Aceh yang didukung Ratu Jepara adalah momentumnya.

Ribuan prajurit bisa diangkut hingga kuda dan gajah-gajah pilihan. Sayang, kapal  induk teknologi Nusantara yang dibuat dari kayu Jati tanpa paku besi ini tidak tahan api.

JAYAKARTA NEWS— Mitologi Mataram yang selalu mendongengkan perkawinan antara penguasa darat (Sultan) dengan penguasa laut (Ratu Kidul) sebenarnya adalah simbol untuk membangkitkan kembali kejayaan kerajaan maritim penguasa lautan.

Entah mengapa Jepara mempunyai jejak sangat kuat dalam sejarah Nusantara. Uniknya jejak itu melibatkan sosok perempuan. Sebut saja di masa Hindu-Buddha ada nama Ratu Sima. Di masa transisi Majapahit ke Demak ada Ratu Kalinyamat dan di masa kolonial ada nama Raden Ajeng Kartini.

Dari tiga nama besar di atas barangkali hanya Ratu Sima yang paling sulit untuk meneliti rekam sejarahnya. Zaman dia hidup di pertengahan milenium pertama adalah tantangan bagi peneliti sejarah. Minimnya catatan tertulis, kabar atau kesaksian yang terekam dari sejarah lisan, hingga sulitnya mendapatkan sisa-sisa artefak yang bisa bertahan hingga sekarang adalah kesulitan paling besar untuk mengembangkan studi tentang sosok perempuan yang lebih mirip tokoh dongeng ini.

Sosok Kartini barangkali adalah sosok yang bisa disebut dalam istilah sejarawan dunia Montgomery Watt sebagai orang yang berada di dalam “terangnya cahaya sejarah”. Lahir di akhir abad 19, hampir semua catatan yang diperlukan untuk mengembangkan penelitian sejarah tentang perempuan yang menjadi inspirasi bangsa Indonesia ini bisa didapatkan. Yang perlu dilakukan hanya pengembangan berbagai sisi kehidupannya yang belum terungkap.

Yang tersisa adalah Ratu Kalinyamat. Sosok perempuan tangguh dari Jepara ini cukup banyak terekam dalam naskah-naskah tradisional maupun catatan-catatan penjelajah dunia yang singgah di pesisir Nusantara. Hanya saja pengembangan lebih jauh tentang karakternya yang “mendunia” dengan jejak kepemimpinan politik yang kuat masih jarang.

Ratu Penguasa Seluruh Lautan

Theodoor Pigeaud, ahli naskah Jawa dari Belanda punya dugaan kuat kalau akar mitologi orang Jawa tentang “ratu penguasa lautan” berasal dari tradisi di pesisir utara Jawa. Dalam buku “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” (1985) yang ditulis bersama rekannya de Graaf, dia menduga bahwa orang-orang Jepara punya tradisi kuat untuk melestarikan peradaban lamanya.

Salah satu buktinya adalah inskripsi yang ditemukan di pemakaman tua Mantingan atau Pamantingan yang terletak di sebelah selatan Jepara. Inskripsi itu berupa candra sengkala atau penanggalan bersandi yang menyatakan tahun pendiriannya. Tulisan itu berbunyi “rupa-brahmanawarna-sari” yang artinya tahun 1481 Jawa atau 1559 Masehi.

Pencatatan sejarah dengan menggunakan tahun Saka Jawa telah banyak diketahui para peneliti sebagai ciri khas peradaban Jawa sebelum Islam. Pamantingan yang diceritakan sebagai tempat Sunan Kalijaga membuat tiang tatal yang digunakan di Masjid Demak mempunyai kedekatan paralel dengan nama dewi Manting yang merupakan nama dewi padi di Bali.

Pigeaud menulis bahwa dewi menurut kepercayaan lama itu telah mengejawantah baik sebagai dewi tetumbuhan dan dewi kesuburan maupun sebagai Nyai Lara Kidul.

Mengapa legenda Nyai Lara Kidul yang paralel dengan sejarah kebesaran kepemimpinan politik Ratu Kalinyamat sebagai penguasa lautan malah berkembang dari pesisir utara? Bukankah utara dalam bahasa Jawa disebut Lor, sedangkan Kidul artinya Selatan?

Ini berkait dengan kosmologi Jawa kuno. Sederhana saja, dalam pemahaman orang Jawa sebelum adanya kompas, untuk menentukan arah angin gunung adalah patokan utamanya. Gunung yang tinggi dalam bahasa Jawa kuno disebut Lor alias Luhur atau yang tinggi tempat dewa bersemayam.

Sedangkan laut dalam kosmologi kuno yang sudah dilupakan selalu dinamakan kidul. Kamus bahasa Indonesia-Jawa Kuno terbitan Depdikbud (1992) menyebutkan bahwa kata selatan dalam bahasa Jawa Kuno bisa berarti daksina atau kidul atau kdwal atau mretyudesa atau udik. Kdwal atau keduwal  dalam bahasa jawa sehari-hari bisa berarti penampung apa saja. Begitu juga dengan laut. Kosmologi orang Jawa Kuno bahkan kosmologi semua orang jaman pra modern menyebut laut sebagai tempat semua berakhir.

Sampai di sini, legenda Nyai Lara Kidul yang berkembang di Pamantingan jika dikaitkan dengan sejarah kebesaran Ratu Kalinyamat alias Ratu Arya Japara yang menyebal menjadi Ratu Pajajaran menjadi sangat masuk akal.

Mitologi Mataram yang selalu mendongengkan perkawinan antara penguasa darat (Sultan) dengan penguasa laut (Ratu Kidul) sebenarnya adalah simbol untuk membangkitkan kembali kejayaan kerajaan maritim penguasa lautan.

Catatan Pembohong Besar

Namanya Fernao Mendes Pinto. Dia adalah seorang pembawa misi katolik, penjelajah, pelaut, prajurit, dan terutama penulis. Buku catatan perjalanan hidupnya (memoir) pada saat diterbitkan memunculkan banyak kehebohan.

Apakah peristiwa-peristiwa yang dia tulis benar-benar dia lakukan? Ataukah dia hanya menulis dari cerita-cerita yang dia dengar saat dia melakukan perjalanan ke Asia Selatan, Timur dan Tenggara pada pertengahan abad 16?

Kisah-kisah yang dia tulis sangat luar biasa. Dia memulainya sebagai seorang pembawa misi Katolik ke India dari orde Jesuit. Nasib kemudian membawanya ke Laut Merah menuju Ethiopia. Setelah menyelesaikan tugas pertamanya dia diserang armada Turki dan berakhir dengan dirinya menjadi budak yang dijual ke Mocha (Yaman).

Pinto menjadi milik seorang tuan Yunani sebelum dijual ke tuan Yahudi seharga tiga puluh ducats atau 4500 dolar. Perjalanannya berlanjut mengikuti karavan pedagang ke Hormuz. Di sana dia bertemu rekan-rekan Portugisnya dan ditebus dengan harga sepuluh kali lipat. Dari sana dia lanjut kembali ke Goa sebelum berangkat ke Malaka.

Dia lanjut misi ke Patani, China, Jepang, balik Burma sebelum kembali ke pangkalan Goa. Dari Goa dia berangkat ke Banten. Dari sini lah kesaksian pastor Jesuit tentang perempuan senior utusan Raja Demak yang memimpin armada lautan terbesar di Nusantara dituliskan.

Walaupun dalam banyak hal tulisan Mendes Pinto terlalu luar biasa sehingga sangat kentara bohongnya, beberapa catatan Mendes Pinto oleh para ahli sejarah harus diakui punya sisi yang sesuai dengan sumber-sumber lokal. Saking kontroversialnya tulisan Pinto, nama dia menjadi ejekan bagi seorang penulis yang biasa berbohong.  Fernao? Mentes? Minto? (Fernao apakah kamu bohong?).

De Graaf dan Pigeaud menyebut catatan Pinto sebagai sumber yang kurang bisa dipercaya. Tetapi, Cornelis PA Tiele, sarjana Belanda akhir abad 19 hingga Maurice Collis administratur Inggris di Burma abad 20  menilainya sebagai catatan yang tidak bisa direndahkan begitu saja.

Minimnya sumber-sumber sejarah Asia Tenggara pada waktu itu membuat catatan Pinto sangat penting. Banyaknya informasi yang disusun dalam catatan itu membuat karya itu menjadi karya Eropa yang paling komplet tentang sejarah abad 16  Asia.

Duta Besar Perempuan dari Demak

Nhay Pombaya tulis Mendes Pinto menyebut nama seorang duta besar Kerajaan Demak yang datang ke Banten pada akhir 1545. Nyai Pambayun, barangkali adalah penyebutan nama yang benar dalam bahasa Melayu tentang putri sulung Raja Demak penguasa Pulau Jawa, Kangean, Madura, dan Bali.

Dia adalah seorang janda berumur sekitar 60 tahun dengan kemampuan diplomatis yang luar biasa memberikan pesan singkat  kepada Raja Sunda yang bernama Tagaril.  Pesan itu adalah perintah bagi Raja Sunda agar bersiap-siap dalam enam minggu untuk hadir ke Jepara bersama segenap pasukan. Raja Demak telah menunggu di sana untuk melakukan penyerangan ke Pasuruan.

Pesan yang luar biasa dari seorang yang luar biasa, begitu yang ditangkap Mendes Pinto sebagai bagian dari orang-orang Portugis yang harus menghabiskan musim penghujan di Banten sampai tiba angin barat yang akan memulangkan mereka.

Tiba-tiba saja Mendes Pinto dari rombongan pelaut yang mencari lada harus berubah menjadi prajurit-prajurit manca yang menemani Raja Sunda memenuhi perintah penguasa seluruh pulau. Bersama dengan tiga puluh perahu jenis Kalalus dan sepuluh jenis Juripango, Mendes bersama empat puluh enam orang Portugis lainnya ikut bersama 7000 (tujuh ribu) orang pasukan menuju peperangan.

Bagi seorang pembawa misi Jesuit, Mendez Pinto melihat sosok Nyai Pembayun dengan keistimewaan yang luar biasa. Sebagai seorang Katolik yang dalam dirinya masih terbangun semangat perang Salib melawan Kesultanan Turki Usmani, munculnya seorang duta besar perempuan kerajaan Islam dari kepulauan paling timur dunia menjadi ciri pembeda perkembangan islam di kawasan ini.

Keistimewaan seorang perempuan senior, perbawa, kharisma dan kemampuan diplomasi yang bisa dipercaya ditulis oleh Mendez Pinto  sebagai karakter khas kepemimpinan perempuan di Asia Tenggara. Perempuan itu lah yang seperempat abad kemudian akan memegang kekuasaan bandar-bandar kerajaan Jepara setelah kegagalan Raja Demak dalam penyerbuan ke Pasuruan itu.

Di bawah kekuasaan dia lah perahu-perahu raksasa setinggi seribu kaki yang bernama Jung akan dicatat oleh para ahli sejarah Eropa sebagai bentuk kapal induk pertama yang pernah ada dalam sejarah dunia. Penyerbuan Malaka oleh Kerajaan Aceh yang didukung Ratu Jepara adalah momentumnya.

Ribuan prajurit bisa diangkut hingga kuda dan gajah-gajah pilihan. Sayang, kapal  induk teknologi Nusantara yang dibuat dari kayu Jati tanpa paku besi ini tidak tahan api.

Sejarah menulis pasukan Portugis di Malaka memang kalah jumlah tetapi menang teknologi. Jung-jung dari Jepara menjadi tak berdaya berhadapan dengan “Meriam Penyembur Api” atau  Greek Fire  alias Cetbang yang dulu pernah menggagalkan penyerangan Muawiyah ke Konstantinopel. ***indonesia.go.id/ebn

Sejarah menulis pasukan Portugis di Malaka memang kalah jumlah tetapi menang teknologi. Jung-jung dari Jepara menjadi tak berdaya berhadapan dengan “Meriam Penyembur Api” atau  Greek Fire  alias Cetbang yang dulu pernah menggagalkan penyerangan Muawiyah ke Konstantinopel. ***indonesia.go.id/ebn

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *