Connect with us

Kolom

Pertama Barista, Brownies Berikutnya

Published

on

Oleh: Joko Intarto

Sungguh. Kantor saya tak seramai sekarang. Sejak punya banyak koleksi kopi. Ada saja yang datang. Belajar menyeduh kopi dengan kukusan bambu. Belajar jadi barista. Bonusnya minum kopi. Racikan sendiri.

Lepas magrib tadi. Di bawah rintik hujan. Mas Karmanto tiba-tiba datang. Ia kawan lama. Yang tidak pernah berjumpa selama 25 tahun.

Ia dulu wartawan harian ‘’Memorandum’’ di Surabaya. Lalu ditugaskan di Jakarta. Sekantor dengan saya di Biro Jawa Pos Jl Prapanca Raya. Sebelum saya bertugas ke Palu, Sulawesi Tengah. Memimpin koran ‘’Mercusuar’’. Tahun 1993. Saat saya masih bujangan, 24 tahun.

Kini Mas Karmanto punya usaha. Jualan kopi sachet. Kopi jitu. Berkongsi dengan seorang kawannya. Mantan orang yang pernah bekerja di pabrik kopi ternama. Kelas jitu juga.

Mas Karman punya kebiasaan baik. Selalu mengunjungi teman-teman lama. Di mana saja. Pas ia berada di kota itu.

Walau sering ke Jakarta, Mas Karman baru sempat menemui saya. Setelah membuka akun Facebook. Beberapa bulan lalu. Ia begitu senang. Dari Facebook ia bertemu lagi dengan teman-teman lama. Bersilaturahmi. Sampai akhirnya menemukan saya. Temannya meliput berita hukum dan kriminalitas. Di Surabaya maupun di Jakarta.

Hampir berbarengan, datang pula Mas Rico Satria dan Mas Eko Wahyu. Yang siang tadi hanya saya kasih waktu 15 menit. Karena kantor saya harus tutup. Semua mesti berangkat presentasi. Ke kantor pusat PT Telkom dan kantor pusat BPOM.

Rupanya niat keduanya begitu kuat. Untuk membuka kedai kopi di kawasan Cawang. Di dekat kantor beberapa BUMN Karya. Apalagi setelah mencoba kopi racikan saya: Arabica Gayo Sipirok + Arabica Gayo Sipirok Luwak. Produksi Pondok Pesantren Darul Mursyid SD Hole. ‘’Kami ingin menjadikan kopi Arabica Gayo Sipirok sebagai kopi utama. Yang lain melengkapi,’’ kata Mas Rico, yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi pengusaha property berbasis dana syariah itu.

Kebetulan pula, sohib saya: Jos Granados datang. Barista Toekang Sedoeh itu langsung saya todong. Memberi pelatihan untuk ketiga tamu tersebut. Pelatihan menyeduh kopi dengan saringan bambu.

Belum juga pelatihan dimulai, sahabat saya lainnya: Bu Dipa, mengirim pesan pendek. Lewat whatsapp. ‘’Besok saya akan ke kantor Pak JTO. Mau mencoba membuat resep kue brownis dengan bahan kopi. Saya pinisirin dengan cerita kopi Arabica Gayo Sipirok produksi Pesantren Darul Mursyid,’’ kata wali santri Pondok Pesantren Darul Qur’an yang didirikan Ustadz Yusuf Mansyur itu.

‘’Gak boleh,’’ jawab saya. Bercanda.

‘’Kok gak boleh Pak?’’ tanyanya.

‘’Kecuali…’’ Saya tidak segera meneruskan kalimatnya. Sengaja.

‘’Kecuali apa Pak…’’ kejar Bu Dipa.

‘’Bawa bahannya. Bawa alat masaknya. Bikin di kantor saya,’’ jawab saya.

‘’Baik Pak. Saya akan bawa bahan dan alat masaknya. Pukul 10:00 sudah di kantor Pak JTO,’’ jawab Bu Dipa.

Terus terang saya tidak tahu apa bahan baku brownis yang membuatnya bisa berwarna gelap itu. Saya kira bubuk coklat. Ternyata kopi. Atau saya salah? Memang sebenarnya coklat. Tapi Bu Dipa mau bereksperimen dengan kopi?

Ups. Kok jadi kepo? Biarlah itu menjadi urusan Bu Dipa. Yang penting, saya bisa menyediakan kopinya. Syukur-syukur diberi seloyang. Sebagai tester. Dibarter tulisan. Lumayan kan?***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *