Kabar
Perlakuan Diskriminasi Kaum Disabilitas

Perlindungan terhadap Penyandang Disabilitas Mental masih jauh dari kata adil. Banyak kaum rentan itu mendapat perlakuan diskriminasi, mulai dari tindakan kekerasan, pelecehan seksual hingga pemasungan. Bagaimana tanggung jawab negara melindungi kaum disabilitas mental.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitu nasib yang dialami para Penyandang Disabilitas Mental (PDM). Alih-aliah mereka mendapat perlindungan. Sebaliknya perlakuan diskriminatif, mulai dari tindakan kekerasan, pemasungan hingga pelecehan seksual kerap dialami kaum disabel itu. Ironisnya, perlakuan itu terjadi di sejumlah Panti Rehabilitasi.
Hasil investigasi yang dilakukan Perhimpunan Jiwa Sehat yang dikomandani Yenni Rosa Damayanti menunjukan hal tersebut. Sebelumnya, Yenni Rosa Damayanti, yang juga Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat telah melakukan investigasi di sejumlah panti rehabilitasi milik swasta di tiga kota. Yakni Kota Bekasi, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes.
Hasilnya menurut Yenni Rosa, kebanyakan penyandang disabilitas mental yang berada di Panti Rehabilitasi mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Tindakan kekerasan kerap dialami mereka. Mulai dari pengundulan kepala, mandi masal hingga dikurung dalam ruang isolasi, sudah menjadi pemandangan biasa di sejumlah panti rehabilitasi.
Di sebuah panti rehabilitasi di Kabupaten Bekasi misalnya, Yenni menemukan ada sebanyak 400 orang penghuni panti yang terkurung dalam sebuah ruangan mirip penjara. Mereka tidak boleh keluar. Akibatnya semua aktivitas termasuk membuang kotoran juga dilakukan di ruangan itu. “Mereka rata-rata sudah terkurung dipanti selama dua tahun,”kata Yenni saat menjadi panelis dalam Workshop bertajuk “Tanggungjawab Negara Terhadap Penanganan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam Prespektif HAM.”
Lain lagi temuan di Panti Rehabilitas di Kabupaten Cilacap. Disana kata Yenni, para penghuni panti yang menyandang disabilitas mental tinggal dalam kamar jeruji besi. Satu kamar diisi puluhan penghuni. Penghuni panti juga gunduli, termasuk perempuan. Bahkan Yenni Rosa juga menemukan ada sejumlah penghuni panti yang mendapat perlakuan pemasungan. Mereka berada di ruang isolasi dengan kedua kakinya dirantai besi.
Temuan lain, menurut Yeni, hampir sebagian panti yang dikunjungi tidak memiliki fasilitas layak. Mereka tinggal bersama dalam sebuah ruangan yang mirip penjara. Selain itu di sejumlah panti juga tidak petugas kesehatan. Bahkan Yeni menemukan ada sejumlah penghuni panti yang kebanyak penyadang disabilitas mental kerap mendapat perlakuan pelecehan seks oleh petugas panti. Bahkan Yeni juga menemukan ada penghuni panti yang dalam keadaan hamil. Biasanya bayi yang dilahirkan akan diserahkan ke orang lain. “Kebanyakan para penghuni panti ingin keluar dari panti, tapi tidak bisa,”kata Yenni.
Sebenarnya menurut Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Kemenkumham, Mualimin Abdi, pengesahan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas merupakan langkah maju bagi Indonesia, khususnya dalam mengubah stigma terhadap penyandang disabilitas. Dengan demikian, penyandang disabilitas wajib diberikan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya sesuai dengan amanah konstitusi.
”Kita semua menjamin bahwa Undang-undang tentang disabilitas dapat mewujudkan Indonesia ramah terhadap penyandang disabilitas baik dari sisi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan ini semua menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Mualimin saat membuka Workshop Tanggungjawab Negara Terhadap Penanganan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam Prespektif HAM, di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM, 6 Desember 2018.
Menurut Mualimin, perlindungan dan jaminan hak tidak hanya diberikan kepada warga negara yang memiliki kesempurnaan fisik dan mental saja. Sebaliknya, perlindungan hak juga perlu ditingkatkan bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas mental (PDM).
Hanya saja, selama ini dalam pandangan Mualimin, perlindungan terhadap penyandang disabilitas masih sangat jauh dari kata adil. Seperti masih minimnya penyandang disabilitas untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Begitu juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan. “Masih banyak penyandang disabilitas memperoleh perlakuan diskriminasi dalam pemenuhan hak baik pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas publik,” kata Mualimin.
Sebenarnya, perlindungan terhadap penyandang Disabilitas Mental (PDM) dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999, tentang HAM. Dalam Pasal 5 ayat 3 disebutkan, bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan negara dalam penghormatan, pemenuhan, perlindungan penegakkan dan pemajuan HAM bagi penyandang disabilitas.
Justru dengan adanya workshop ini, Mualimin berharap dapat meningkatkan perhatian atas permasalahan diskriminasi dan upaya penyelesaian, serta menampung masukan terkait pembentukan peratutan atau standar operasional prosedur yang komprehensif mengenai standar penanganan dan pelayanan pasien pasien di panti-panti rehabilitasi perspektif HAM.
Seperti diketahui, dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasioanl ke 26 pada tanggal 3 Desember 2018 dan Hari Hak Asasi Menunia Sedunia ke 70 yang jatuh pada 10 Desember 2018 mendatang, Direktorat Jenderal HAM, menyelenggarakan Workshop bertajuk “Tanggungjawab Negara Terhadap Penanganan Penyandang Disabilitas Mental (PDM) dalam Prespektif HAM.”
Acara yang gelar di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM pada 6 Desember 2018 ini menghadirkan sejumlah nara sumber. Seperti Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kemensos, Rahmat Koesnadi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kemekes, Fidiansjah dan ketua Perhimpunan Jiwan Sehat Yenni Rosa Damayanti.
Selain itu acara itu juga diikuti sebanyak 250 perserta. Mereka berasal dari perwakilan kementerian dan lembaga, Organisasi Penyandang Disabilitas, Pusat Study HAM, Kepala Panti serta sejumlah direktur Rumah Sakit Jiwa. Kegiatan itu juga diikuti sejumlah penggiat dan pemerhati Disabilitas Mental. (bw)