Connect with us

Entertainment

Peringatan 100 Hari Wafatnya Pendiri Teater Koma

Published

on

kalau maut menjemputku
aku tidak penasaran lagi.
Hidupku kini lengkap
(Norbertus Riantiarno dalam ‘Tanda Cinta’).

Para budayawan, seniman, pemusik dan penggemar setia Teater Koma memenuhi kursi Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dalam acara memperingati 100 hari wafatnya Norbertus (Nano) Riantiarno, baru-baru ini.

Acara dibuka dengan tarian topeng Cirebon, daerah kelahiran Nano yang wafat dalam usia 73 tahun tanggal 30 Januari 2023 yang lalu.

Trio Aning Katamsi, Gabriel Harvianto dan Nani Cirebon menyuguhkan sebuah komposisi musik nan menyayat.

Dilanjutkan pemutaran monolog oleh Nano (sebelum wafat) berjudul ‘Pulang’ secara mantap dan meyakinkan. Lalu empat tokoh membacakan monolog disertai pengalaman pribadi bersama Nano. Taufiq Ismail, Putu Wijaya yang berkursi roda dan duet Slamet Rahardjo dan Butet Kertaredjasa.

Ke empat penyair ini unjuk diri dengan gesture dan improvisasi memukau.
“Ada bangku dan dipan besar di belakang rumah papa di Bintaro. Papa kerap duduk di situ sambil baca koran,” kata Rangga Bhuana (anak pertama Nano hasil pernikahan dengan Ratna Madjid Riantiarno) mengenang papanya.

“Saat saya kangen, saya duduk di situ. Tak biasa kursi kosong,” ucap Rangga yang menambahkan, belum merasakan kehilangan karena sejauh ini Teater Koma belum berpentas.
Rangga memaparkan biasanya ada evaluasi dan briefing setelah latihan. “Papa selain sutradara, juga motivator” beber Rangga.

Anda nantinya akan menggantikan posisi Nano sebagai sutradara ?

“Mungkin. Yang jelas, kami sedang menyiapkan naskah sandiwara bertajuk ‘Matahari dari Papua’ karya papa yang menang dalam sayembara naskah teater oleh Dewan Kesenian Jakarta. Semoga November kami bisa berpentas lagi,” timpal Rangga.
Puncak acara peringatan 1000 hari wafat Nano adalah peluncuran buku ‘Nano & Ratna Berdua Melintas Masa’ yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu dengan editor Budi Ros, JJ Rizal dan Logo Situmorang.

Buku setebal 406 halaman ini ditulis oleh 60an penulis dan sahabat-sahabat dekat Nano. Antara lain Adyaksa Dault, Afizal Malna, Agus Noor, Peter Saerang, Sudjiwo Tedjo, Laksamana Sukardi, Tommy F Awuy, Tarsan Srimulat, Widyawati dan masih banyak lagi.

Malam itu juga, Ratna Riantiarno menyerahkan buku ini kepada 3 anak Nano yaitu Rangga Bhuana, Ra Sapta Candrika dan Gagah Tridharma Prasetya. Juga kepada cucu Nano dan Ratna Riantiarno yaitu Kiefa.

Nano juga seorang jurnalis. Dia Redaktur di majalah Zaman (1979) dan majalah gaya hidup Matra (1986). Selama hidupnya, Nano yang pernah duduk selaku Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini pernah berkeliling Jepang, Skandinavia, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Cina. Ia juga mempelajari teater rakyat dan teater tradisi yang ditulisnya dalam sebuah buku.

Sejak Maret 1977 bersama 12 tokoh, Nano mendirikan Teater Koma dan drama pertama yang dipentaskan berjudul ‘Rumah Kertas’. Sampai sekarang, Teater Koma sudah mementaskan 111 judul sandiwara, baik di panggung maupun di TVRI.

Selain memanggungkan karya-karya dunia dari Bertolt Brecht, William Shakesperare dan Aristophanes, Teater Koma juga mementaskan naskah karya Nano.
Beberapa karya Nano pernah dilarang mentas di era Orde Baru antara lain ‘Opera Kecoa’, ‘Suksesi’ dan ‘San Pek Eng Thay’.

Kini, usia Teater Koma sudah 46 tahun. Belum titik, baru koma. Dan harapan kita, semoga Teater Koma terus eksis. Biarlah seribu bunga berkembang. Nano boleh berpulang, tapi Nano Nano lain akan bertunas. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *