Connect with us

Kabar

Kerawanan Kampanye Pilkada 2020

Published

on

Oleh Husin Yazid
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indomatrik

Husin Yazid

Mulai Sabtu (26/9/2020) hingga 71 hari ke depan, tahapan Pilkada memasuki masa kampanye. Sejatinya tahapan kampanye paling ditunggu-tunggu karena pada fase inilah kesempatan terbuka dan luas bagi partai politik, tim kampanye dan kandidat untuk bertemu langsung maupun tidak langsung dengan pemilih guna menyampaikan visi, misi dan program kerjanya. Namun karena saat bersamaan Pilkada 2020 digelar di tengah trend pandemi Covid-19 yang masih tinggi, aktualisasi dan efektivitas kampanye sulit terwujud.

Hampir semua ahli komunikasi politik, seperti Rogers E. M. dan Storey, Antar Venus, Changara, dan lain-lain secara umum memberikan definisi kampanye sebagai upaya terencana dan sistematis untuk mempengaruhi, membentuk opini dan menciptakan perubahan dan efek tertentu dan pada kurun tertentu  bagi khalayak/masyarakat.

Sementara UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, kampanye Pemilu sebagai kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU Pasal 63 menyatakan, kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.

Dari pandangan ahli komunikasi dan UU tersebut dapat disimpulkan, kampanye merupakan ikhtiar sistematis untuk mempengaruhi opini atau persepsi publik agar sesuai dengan apa yang dikampanyekan. Meskipun demikian, dalam mencapai tujuan kampanye politik harus mengedepankan unsur pendidikan, etika, dan keadaban politik yang dilaksanakan secara bertanggungjawab.

Potensi Pelanggaran

Potensi ketidakefektifan kampanye dikontribusi oleh pengetatan aturan dalam kampanye sebagaimana tertera pada PKPU No. 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Substansi PKPU tersebut mewajibkan kampanye harus mengikuti protokol kesehatan (Prokes) Covid-19.

Pada Pasal 63 misalnya diatur, kampanye didorong agar dilaksanakan lebih banyak menggunakan media sosial dan media daring.  Peraturan ini sekaligus melarang kampanye dalam bentuk rapat umum,  kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai, perlombaan, kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; dan/atau peringatan hari ulang tahun Partai Politik.

Sementara bagi bagi daerah yang tidak bisa mengakses atau di luar jangkauan media sosial dan media daring dapat memanfaatkan  pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog di dalam ruangan atau gedung dengan mengikuti ketentuan Prokes Covid-19 dengan peserta   maksimal 50 orang dan memperhatikan protokol kesehatan, yaitu: menjaga jarak paling kurang 1 meter; menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)  paling kurang berupa masker yang menutupi hidung, mulut hingga dagu; menyediakan sarana sanitasi fasilitas cuci tangan dengan perlengkapannya dan wajib mematuhi ketentuan protokol kesehatan lainnya.

Seperti yang sudah terbiasa selama ini, aturan tinggal aturan. Sementara dalam pelaksanannya banyak terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data Bawaslu RI yang mencatat, terdapat 237 dugaan pelanggaran terhadap protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19 selama 10 hari masa kampanye Pilkada 2020. Temuan pelanggaran merupakan hasil pantauan Bawaslu selama kurun waktu kampanye 26 September-5 Oktober 2020.

Dari 272 daerah yang menggelar Pilkada, Bawaslu menemukan 256 kabupaten/kota masih yang menggelar kampanye tatap muka. Dari 256 kabupaten/kota tersebut, terdapat 9.189 kegiatan kampanye dengan metode tatap muka. Dengan hanya enam kabupaten/kota yang tidak terdapat kampanye tatap muka pada 10 hari pertama tahapan kampanye Pilkada. Atau sebanyak 94 persen wilayah masih menggelar kampanye tatap muka.

Selain pelanggaran Prokes, terdapat beberapa temuan dugaan pelanggaran di media sosial sebanyak 17 kasus, 8 kasus pelanggaran politik uang, dan 9 kasus penyalahgunaan fasilitas pemerintah. Dugaan pelanggaran di media sosial berbentuk Aparatur Sipil Negara atau pejabat yang ikut berkampanye hingga kampanye di akun media sosial (Medsos) yang tidak didaftarkan di KPU. Termasuk pelanggaean dalam penyebaran konten hoaks, dan konten berbayar (sponsor).

Kendatipun Bawaslu RI mengklaim telah melakukan tindakan pembubaran terhadap sebanyak 48 kegiatan dan melayangkan 70 surat peringatan tertulis. Diperkirakan intensitas pelanggaran Prokes Covid-19 dalam kampanye masih akan terus meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Termasuk modus-modusnya yang diperkirakan akan makin canggih seiring dengan makin meningkatnya pengetahuan tim  kampanye akan kelemahan dari Prokes Covid-19.

Modus Kampanye

Dengan tetap memperhatikan kemungkinan Pilkada khususnya tahapan kampanye menjadi klaster baru penularan Covid-19, mau tak mau kandidat dan tim kampanye Pilkada akan banyak memanfaatkan media online, khususnya Medsos dalam kampanye Pilkada 2020. Media daring seperti: Instagram, Facebook, WhatApp, zoom meting atau google meet dan sebagainya memiliki tingkat kerawanan pelanggaran tinggi.

Namun demikian, penggunaan teknologi digital untuk kampanye politik bukan tanpa kendala dan kelemahan. Kendala dan kelemahannya terutama pengguna media virtual khususnya Medsos tidak banyak tertarik dengan isu atau agenda politik praktis. Pun demikian segmentasi sosialnya, lebih menyasar pada kelas menengah atas. Sehingga berharap meraup ceruk pasar pemilih secara lebih banyak, sangat kecil. Selain itu, penggunaan media virtual melalui kampanye secara empirik tidak mudah untuk memantau dampak dan efektivitasnya.

Menyadari keterbatasan media virtual, sejumlah kandidat/tim sukses kini lebih banyak memanfaatkan Alat peraga Kampanye (APK) untuk kampanye secara massif, khususnya melalui spanduk atau baliho. Terlebih, pada PKPU No. 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19, memberikan tambahan batasan jumlah APK yang dibuat secara mandiri oleh pasangan calon (Paslon) kepala daerah yang maju di Pilkada 2020, sebagai dampak dari pandemi virus corona (Covid-19). Jumlah bisa mencapai 200% (dua ratus persen) dari jumlah Alat Peraga Kampanye (APK).

Pelonggaran ini pula yang dimanfaatkan oleh sejumlah Paslon dan tim kampanye pada Pilkada kali ini. Karena itu tidak mengherankan manakala saat ini di berbagai ruas jalan utama ataupun di pelosok kantong-kantong penduduk yang daerahnya tengah menggelar Pilkada 2020, ramai atau marak dengan berbagai APK, khususnya dalam bentuk spanduk dan baliho. Kampanye melalui spanduk atau baliho menembus semua lapisan sosial pemilih: bawah, menengah hingga atas. Hanya problem atau kelemahannya lebih pada efektivitas yang mampu langsung mempengaruhi prilaku dan pilihan politik pemilih.

Maka modus kampanye paling potensial adalah tetap yang konvensional. Yakni dengan cara membeli suara secara tunai (cash), pra bayar (sebelum pemungutan suara), ataupun paska bayar (setelah pemungutan suara). Selain modus menawarkan iming-iming proyek, perbaikan dan penyediaan fasilitas umum dan sosial,  pemberian sembako (sembilan bahan pokok) gratis dan lain sebagainya. Singkatnya, di level permukaan atau wacana marak akan dilakukan kampanye virtual. Tetapi di bawah permukaan atau level praktis, yang dominan tetap politik uang dengan beragam modus.

Argumen kemungkinan politik uang akan ngetrend di Pilkada 2020 sederhana saja. Karena situasi sekarang ini masyarakat tengah dilanda kesulitan ekonomi, terutama sebagai dampak berkepanjangan dari Covid-19. Dalam situasi semacam ini, urusan perut menjadi nomor satu atau perioritas daripada urusan politik. Urusan perut adalah nyata dan tidak bisa ditunda, sedang urusan politik bisa sekadar wacana belaka.

Karena itu sangat mungkin kandidat yang paling berpeluang menang dan terpilih pada Pilkada 2020 adalah mereka yang dukungan logistiknya gemuk, serta mampu memberikan bukti-bukti konkrit kepada pemilih. Bukan yang paling hebat visi, misi dan program kerjanya namun ‘kurang gizi’ dan tidak konkrit dalam berkampanye. Tetapi tentu saja ‘gizi’ saja tidak cukup. Strategi kampanye pemenangan yang sistematis, efektif dan terukur, tidak kalah andilnya mengantarkan kandidat menang di Pilkada.

Menunggu Sanksi

Dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diatur sejumlah larangan dalam kampanye disertai dengan ancaman sanksi pidananya. Pada Pasal 77 ayat (1) dari UU tersebut misalnya menyebutkan, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Penyelenggara Pemilihan dan/atau pemilih.

Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Putusan Bawaslu dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan Calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Jika politik uang tersebut dilakukan secara terstuktur, sistematis dan massif (TSM) dilakukan paska Pilkada dan kemudian terbukti di pengadilan bersalah, terancam terkena diskualifikasi atau pembatalan sebagai pemenang Pilkada—jika kandidat tersebut menjadi pemenang Pilkada.

Sedangkan Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain Calo atau Pasangan Calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga Negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk: (a) mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih; b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

Kerawanan dan atau pelanggaran kampanye menjadi tugas paling berat jajaran Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mencegah dan menindaknya, jika terbukti melanggar. Hal ini berbeda dengan pelanggaran terhadap terhadap Prokes Covid-19 saat kampanye maupun pelibatan kelompok rentan yang hanya dikenakan paling banter peringatan tertulis. Untuk kegiatan politik uang, ancamannya jauh lebih berat, yakni: sanksi pidana dan administrasi hingga diskualifikasi.

Masalahnya, tinggal kembali kepada jajaran Bawaslu untuk melakukan penegakan hukum dan keadilan terhadap pelangggaran Pilkada. Apakah kali ini, taji jajaran Bawaslu akan semakin tajam? Masih seperti pengalaman Pemilihan sebelumnya? Atau justeru mengalami penumpulan? Kita tunggu saja. Apakah akan banyak orang terkena sanksi administrasi dan pidana karena melanggar kampanye Pilkada di tengah pageblug Covid-19? (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *