Connect with us

Entertainment

JIFFest Mati, Balinale sebagai Pengganti

Published

on

Rolland Joffe n Mooryati Soedibyo

MENYEDIHKAN memang. Sebagai negara besar dengan penduduk nomor empat  terbanyak di dunia, nyaris kita tak memiliki festival film bertaraf internasional.  Dalam sejarah festival film internasional, dulu kita memiliki Jakarta International Film Festival  {JIFFest} yang menayangkan film-film berkualitas yang tak mungkin diputar di bioskop.

Tahun 1999, seorang perempuan penyuka film bernama Shanty Harmayn mengajak kawan-kawannya yang  punya hobi menonton film mendirikan sebuah festival film bertaraf internasional.  Terbentuklah JIFFest di Jakarta  dan hal ini jelas membawa angin segar bagi penikmat film di Jakarta dan Indonesia.

Namun, memasuki tahun ke 12 yaitu tahun 2010, panitia JIFFest kalang kabut terbentur masalah dana.  Co Director Lalu Roisamri mengatakan, anggaran JIFFest harus tersedia Rp 6 Milyar. Dan itu pun sudah ditekan hanya Rp 2, 5 Milyar saja. Maklum, selama ini, panitia JIFFest kontrak dengan sponsor asing. Dan sesuai perjanjian di surat kontraknya, pada tahun 2010, panitia JIFFest harus mencari dana sendiri.

Ibu Mooryati Soedibyo terima award dari Triawan Munaf.

Apa daya. Respon nihil. Lalu Roisamri mengeluh tentang tidak ada jawaban dari pihak Pemda  Jakarta dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di tahun itu, JIFFest yang merupakan salah satu festival film terbesar di Asia harus tamat riwayatnya hanya karena masalah dana.  Meski mendapat dukungan dari para pecinta film, misalnya dengan menyebarkan  tagar #mari kita bersama selamatkan JIFFest, toh pada akhirnya JIFFest harus tamat. Tragis.

Padahal, hingga tahun 2009, JIFFest  ditonton lebih dari 350.000 orang dengan pemutaran 1500 judul film dari lebih 40 negara.

Satu hal yang perlu diacungi jempol tinggi-tinggi adalah keragaman budaya dan ide-ide pembaruan dari para sineas seluruh dunia. “Sebelum hari penayangan, tiket JIFFest sudah sold out dan jujur, banyak penikmat dan penyuka film berkualitas tidak kebagian tiket.

 

Memang, ada satu atau dua film dari luar negeri yang tidak bisa diputar di JIFFest, karena tidak lolos sensor. Toh walau panitia dan penonton kecewa, kita harus mafhum inilah keadaan yang sebenarnya.  Kita tidak punya Lembaga Klasifikasi Film, yang kita miliki adalah Lembaga Sensor Film,” papar Lalu Roisamri dalam perbincangan dengan penulis.

Kita akui, dari FIFFest lahir banyak sineas berkualitas. Sebut misalnya Salman Aristo (penulis skenario ‘Ayat Ayat Cinta’ dan sutradara ‘Satu Hari Nanti’), Lucky Kuswandi (sutradara ‘Madame X’ dan ‘Galih dan Ratna’), Hanny R Saputra (‘Heart’, ‘Love is Cinta’) dan masih banyak lagi sineas lain yang mengaku banyak memperoleh referensi dan pelajaran berharga saat menonton film-film asing yang diputar di JIFFest. Para volunteer alias sukarelawan pun mencuat lewat JIFFest, antara lain Dian Sastro dan Alex Abbad. Bahkan, Presiden Timor Leste Xanana Gusmao  dan sineas kawakan dari Iran, Jafar Panahi juga menyempatkan diri hadir menonton film di JIFFest. Melalui program diskusi dan workshop serta master class, JIFFest banyak melahirkan generasi baru perfilman Indonesia.

BALINALE DIIKUTI 34 NEGARA

Bertepatan dengan berakhirnya usia JIFFest ke-12, tahun ini (2018), sebuah festival film internasional lain yang diadakan di Indonesia baru memasuki usia ke-12.  Adalah Bali International Film Festival alias Balinale, juga didirikan oleh perempuan penyuka film berwarganegara Amerika, Deborah Gabinetti. Tahun 2007, Deborah atau akrab dipanggil Debby mengawali dengan mendirikan Bali Film Center guna mendukung komunitas lokal lewat program untuk anak dan program kunjungan ke sekolah

 

Pelajar-pelajar SMA antre nonton ‘NYAI’ dan film nasional lain

Dengan  komitmen dari para pembuat film dalam negeri untuk secara terus menerus memberikan workshop dan pengetahuan mengenai perkembangan film di Indonesia selain mengadakan special preview film-film nasional.

Balinale yang digelar setiap tahun di Kuta, Bali dikenal telah menyuguhkan keragaman program film, baik produksi dari dalam maupun luar negeri.  Yang surprise, banyak film independen yang ditayangkan di Balinale dan menjadi pemenang film terbaik di kategori film dokumenter, film utama dan film pendek.

“Balinale mengundang para pembuat film dunia untuk bersama-sama saling berbagi pengetahuan dan kreatifitas global, dalam waktu yang sama menggali kekayaan negeri pertiwi, utamanya sebagai tujuan pembuatan film secara umum dan kesempatan untuk melakukan co-production,” kata Debby kepada penulis saat pembukaan Balinale Film Festival di Hotel Aryaduta, September 2018,

Tahun ini, jumlah film peserta Balinale membludak, mencapai 105 judul film. Dari 34 negara, terbanyak  dari negara tuan rumah, Indonesia.  Hampir setiap hari, untuk pemutaran film-film tentang kepahlawanan dari Indonesia di Cinemaxx, Kuta, Bali, mayoritas pelajar SMA menyesaki bioskop, hingga banyak yang bersimpuh di lantai studio bioskop.  Sebut saja film ‘Sultan Agung’, ‘Nyai’ (Nyai Ahmad Dahlan), ‘Wage’ dan ‘Moonrise Over Egypt’ (biopic H. Agus Salim).

Ada dua kegiatan yang tidak ditemui di festival film lain, yaitu penghargaan untuk produser tertua dan produser termuda. Yang menerima adalah Mooryati Soedibyo, produser tertua yang tahun ini berusia 90 tahun dan  produser film ‘Sultan Agung’ dan Krisnawati, produser temuda yang membuat film ‘Jelita Sejuba’ yang seluruh syutingnya di Natuna, pulau terdepan Indonesia.  Yang mengesankan, kedua  perempuan produser tersebut sama-sama baru pertama kali membuat film.

Kehadiran banyak produser, sutradara, penulis skenario dan penikmat film dari komunitas-komunitas film juga menjadi ciri khas Balinale. Rolland Joffe, sutradara asal Inggris-Perancis yang pernah membuat film ‘Killing Field’ kali ini sengaja datang ke Bali buat menjajagi pembuatan film bertema spionase yang bertajuk ‘Mata Hari’. Kemudian ada Jhett Tolentino, Edward Gustely, Seiko Kato, Julian Glimmand selain beberapa sineas asal Indonesia seperti Mike Wiluan, Erwin Arnada, Sunnil Soraya, Krisnawati, Ody Mulya Hidayat dan masih seabreg sineas lain memberikan nuansa segar bagi perkembangan Balinale di masa depan.

Mereka saling berbagi ilmu dan pengetahuan tentang dunia perfilman di sesi workshop dan diskusi. Selain itu, juga hadir Direktur dari beberapa Pusat Kebudayaan negara-negara sahabat, wakil dari Komunitas Film, Pusat Pengembangan (Pusbang) Film Kemdikbud, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), DFI dan para pengamat/penyuka film.

Pada akhirnya, Balinale terus berkembang dan semakin jauh menayangkan lebih banyak program budaya dan pengalaman baru melalui alur cerita, seni dan film dan secara khusus memberikan peran yang sangat penting bagi perkembangan dunia film di Indonesia. Sebuah harapan yang tidak utopis.*** (Ipik Tanoyo)

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *