Connect with us

Kabar

Inikah Resep Mujarab Pemusnah Wabah?

Published

on

JAYAKARTA NEWS—Memasuki pekan ketiga Februari 2020, berarti sudah satu bulan berlalu sejak pertama virus Covid-19 menjangkiti manusia. Para ahli bekerja siang dan malam demi menemukan vaksin penangkal atau obat penyembuh penyakit akibat virus itu.

Didera penyakit yang mengakibatkan suhu tubuh melonjak hingga mencapai 39 derajat Celsius, seorang mahasiswa berusia 21 tahun di Tiongkok sempat mengira dirinya sudah tiada. “Saya pikir, saya sedang mengetuk pintu neraka,” katanya seperti dikutip dari Mirror.

Namanya mahasiswa itu adalah Tiger Yee. Dia berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, tempat pertama kali ditemukannya penyakit akibat virus Covid-19, pada akhir Desember 2019. Wuhan merupakan sebuah kota pelabuhan dengan 11 juta orang.

Pada 1 Januari 2020, Pasar Grosir Makanan Laut Huanan di Kota Wuhan ditutup. Penyebabnya, beberapa pekerja di pasar itu diketahui terjangkit virus tersebut.

Yee merupakan penyintas penyakit akibat virus mematikan itu. Nyawanya selamat setelah mengkonsumsi kaletra, yakni obat yang biasa digunakan untuk mengobati HIV.

Yee sembuh setelah sepanjang tiga pekan terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit dan rumah akibat terinfeksi virus Covid-19.

Foto dok pkk kemenkes

Ditengarai, sebagaimana dituturkan Yee, dikutip dari Express.co.uk, virus Covid-19 mulai menembus pertahanan tubuhnya tatkala dia mengikuti kursus bahasa di sebuah sekolah, pada awal Januari 2020. Sekolah itu lokasinya berdekatan dengan pasar ikan Wuhan.

Pada pertengahan Januari, dalam kurun waktu inkubasi, Yee mulai merasakan gejala terserang virus tersebut. Yang pertama dirasakannya adalah sakit di bagian perut. Dan lantaran rasa sakit itu disertai dengan gejala flu, maka dia pun mulai mengonsumsi obat flu.

Alih-alih sembuh, kian hari kondisi kesehatan Yee diketahui makin menurun. Gejala sakit yang dirasakannya kian parah. Hingga sekira hari keempat meringkuk di tempat tidur, ayah Yee mulai menyadari sesuatu yang serius tengah menimpa anaknya itu.

“Ketika itu, tubuh saya demam lumayan tinggi. Tak hanya itu, saya juga merasakan nyeri yang menyiksa setiap bagian tubuh saya. Saya juga menderita batuk yang sangat parah, seperti orang yang akan mati,” katanya.

Menyadari kondisi Yee sudah sangat buruk, keluarganya segera melarikannya ke Rumah Sakit Tongji untuk mendapatkan perawatan. “Saya takut ketika itu. Sebab, setiap dokter di rumah sakit itu mengenakan pakaian aneh, seperti pelindung tubuh, yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” papar Yee.

Di rumah sakit itu, Yee menjelaskan, kemudian dirinya diminta untuk menjalani pemeriksaan menggunakan CT scan. Hasilnya, Yee diduga terinfeksi virus Covid-19. Persoalannya menjadi semakin serius karena ditengarai, virus itu sudah menyebar ke paru-parunya.

Kendati dari hasil pemeriksaan itu kuat dugaan bahwa Yee menderita penyakit akibat virus mutan tersebut, tim dokter di rumah sakit itu menolak melakukan tes diagnostik terhadap Yee.

Alasan yang diperoleh pihak keluarga Yee ketika itu adalah rumah sakit sedang kehabisan tes kit.

Menghadapi situasi serupa itu, Yee tidak memiliki pilihan selain menjalani pengobatan secara mandiri di rumahnya. Sambil terus meminum obat ala kadarnya yang dimilikinya. Hingga pada suatu malam, suhu tubuh Yee melonjak hingga mencapai 39 derajat Celcius.

Merespons kondisi kesehatannya yang kian mengkhawatirkan, Yee kembali dilarikan ke rumah sakit. Ketika itulah, dokter di rumah sakit tersebut pun meresepkan “obat mujarab” yang kelak menyelamatkan nyawa Yee. Nama obah itu adalah Kaletra. Obat itu biasa digunakan untuk mengobati para penderita HIV.

Selain diberi Kaletra, dokter di rumah sakit juga memberi bekal Yee, cairan infus. Setelah  menjalani perawatan selama sembilan hari, Yee pun mulai merasakan kesembuhan menghampiri dirinya. Dan akhirnya, pada 7 Februari 2020, Yee dinyatakan bersih dari virus Covid-19 yang menyebabkan masalah kesehatannya selama lebih dari tiga minggu.

Yee sendiri merupakan satu diantara ribuan pasien yang dapat dipulihkan dari virus corona. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Hubei, Senin (17/2/2020) pagi, korban virus corona yang tewas sudah tembus 1.700 lebih jiwa.

Pemerintah Tiongkok juga melaporkan 1.933 kasus baru. Jadi total pasien terinfeksi corona di seluruh dunia menjadi 70.400 orang.

salah satu kegiatan teman-teman kita dari Wuhan yang sedang dilakukan observasi kesehatannya oleh tim medis di Natuna–foto dok pkk kemenkes

Berlomba Menemukan

Selama hampir 1,5 bulan sejak virus jahanam itu kedapatan menghantui warga dunia, beragam inovasi dilakukan demi bisa melumpuhkannya. Sebagaimana ditegaskan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tendros Adhanom Ghebreyesus, ilmu pengetahuan menjadi bagian yang sangat penting dalam pengendalian wabah virus Covid-19.

Bertolak dari kesadaran itulah, WHO mengadakan forum penelitian dan inovasi global demi  memobilisasi aksi internasional sebagai respons terhadap virus Covid-19.

“Memanfaatkan kekuatan sains sangat penting untuk mengendalikan wabah ini,” kata Ghebreyesus, dikutip dari laman WHO.

WHO berperan menyatukan bidang ilmiah demi mengidentifikasi dan mempercepat penelitian. Forum yang diadakan pada 11-12 Februari di Jenewa, Swiss, diselenggarakan dengan kolaborasi bersama Global Research Collaboration and Infectious Disease Preparedness (GLOPID-R). GLOPID-R merupakan jaringan internasional yang memfasilitasi respons cepat dan efektif terhadap wabah penyakit menular.

Forum itu mempertemukan banyak ahli, termasuk ilmuwan terkemuka dari lembaga kesehatan masyarakat, kementerian kesehatan, dan penyediaan dana dalam pengembangan vaksin Covid, terapi, dan diagnostik (ilmu untuk menentukan jenis penyakit berdasarkan gejala).

Pertemuan itu juga membahas beberapa bidang penelitian, termasuk mengidentifikasi sumber virus, sampel biologis, dan urutan genetik.

Memang tak seperti wabah sebelumnya yang dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan vaksinnya, riset untuk mengatasi virus Covid-19 sudah berlangsung beberapa jam sesudah virus itu dikenali. Pemerintah Tiongkok telah menyebarkan kode genetiknya dengan cepat.

Perkembangan teknologi dan komitmen dari berbagai pemerintah untuk mendanai riset soal penyakit baru membuat banyak fasilitas riset yang bisa memulai pekerjaan mereka dengan kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya.

Di laboratorium Inovio di San Diego, misalnya, ilmuwan menggunakan teknologi DNA baru untuk membuat potensi vaksin.

Vaksin yang diberi nama sementara “INO-4800 ” ini rencananya akan diujicobakan kepada manusia pada musim panas tahun ini. “Saat Tiongkok menyediakan rangkaian DNA virus ini, kami bisa memeriksanya di komputer kami dan merancang vaksinnya dalam tiga jam,” kata Kate Broderick, wakil presiden riset dan pengembangan di Inovio.

Kate menambahkan, “Mesin vaksin DNA kami ini baru karena memakai rangkaian DNA dari virus untuk menyasar bagian khusus patogen yang kami yakini akan direspons oleh tubuh manusia dengan cara terbaik. Lalu kami pakai sel dari pasien sendiri untuk menjadi pabrik vaksin itu, memperkuat mekanisme respons alamiah tubuh.”

Pengembangan virus ini didanai Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), yang terdiri dari organisasi pemerintah dan lembaga amal dari seluruh dunia.

Lembaga ini dibentuk setelah wabah Ebola di Afrika Barat, menyediakan dana untuk mempercepat pengembangan vaksin bagi penyakit baru.

Dr Melanie Saville, Direktur Riset Vaksin di CEPI, mengatakan, “Misinya adalah untuk memastikan bahwa wabah ini tidak lagi jadi ancaman bagi manusia dan mengembangkan vaksin bagi penyakit menular yang muncul.”

Sementara itu, University of Queensland sedang mengerjakan vaksin “capit molekuler” yang disebut memungkinkan produksi vaksin cepat dan terarah untuk melawan beberapa virus patogen sekaligus. Satu lagi adalah Moderna Inc di Massachusetts yang bekerja sama dengan US National Institute of Allergy and Infectious Diseases dan tengah mempercepat riset mereka.

WHO kini mengkoordinasikan upaya global pencarian vaksin baru. Mereka menyatakan mengikuti perkembangan sejumlah lembaga riset, termasuk tiga yang didukung oleh CEPI. Sekalipun upaya pengembangan vaksin ini dipercepat, riset-riset ini masih dalam tahapan awal. WHO akan segera memutuskan vaksin mana yang akan diuji coba kepada manusia dalam beberapa hari ini.

Obat Antimalaria

Masih terkait upaya memberangus aksi virus itu, langkah maju juga dilakukan para pakar Tiongkok. Mereka mengonfirmasi bahwa berdasarkan hasil uji klinis, obat antimalaria, Chloroquine Phosphate, memiliki efek penyembuhan tertentu pada penyakit akibat virus Covid-19.

Wakil Kepala Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional Tiongkok Sun Yanrong, di bawah Kementerian Sains dan Teknologi, dalam konferensi pers seperti dilansir kantor berita Xinhua, Selasa (18/2/2020), menyebutkan bahwa para pakar “sepakat” mengusulkan agar obat tersebut dimasukkan dalam versi baru panduan pengobatan Covid-19 dan diterapkan dalam uji klinis yang lebih luas secepat mungkin.

Sun mengatakan, Chloroquine Phosphate yang telah digunakan sebagai obat antimalaria selama lebih dari 70 tahun, dipilih dari puluhan ribu obat yang telah ada setelah melewati beberapa putaran screening.

Menurut Sun, obat tersebut telah digunakan dalam uji klinis di lebih dari 10 rumah sakit di Beijing, serta di Provinsi Guangdong, Tiongkok Selatan dan Provinsi Hunan, Tiongkok Tengah, dan menunjukkan khasiat yang cukup baik. Kita tunggu saja hasil penemuan obat antivirus dari berbagai belahan dunia itu dan harapannya ampuh melawan penyakit mematikan tersebut.***sumber: indonesia.go.id/ebn

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *