Connect with us

Kabar

Ini Hasil Investigasi KNKT atas Musibah Bus Pariwisata Ardiansyah

Published

on

Sopir Benar-benar Tidur Lelap Saat Mengemudi

JAYAKARTA NEWS – Berita kecelakaan lalu lintas hampir setiap hari terjadi. Belakangan yang cukup fatal adalah kecelakaan bus Pariwisata Ardiansyah  di ruas tol Surabaya – Mojokerto, 18 Mei lalu. Sebanyak 14 penumpangnya tewas dan puluhan luka-luka. Tak sampai sepekan, giliran bus pariwisata Pandawa, mengalami  nasib serupa. Empat orang meninggal dan 15 lainnya luka-luka.

Bus pariwisata jadi sorotan. Ketika destinasi wisata mulai dibuka  setelah masa pandemi, kegiatan pariwisata pun meningkat. Ironinya kecelakaan lalu lintas acap terjadi. Banyak faktor penyebab,  umumnya kelelahan. Data KNKT menyebutkan, faktor kelelahan menjadi penyebab dominan (80 persen). Yang  miris terjadi pada bus Ardiansyah sopir bus benar-benar tertidur saat mengemudikan kendaraannya.

Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)  Ahmad Wildan mengisahkan hasil investigasinya dalam webinar Edukatif Keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Kamis (26/5).

Bus pariwisata Ardiansyah itu berangkat dari Surabaya  malam hari menuju Dieng, Jawa Tengah. Tiba di Dieng pagi hari  dan mereka pun menikmati kegiatan berwisata. Pada pukul 4 sore rombongan menuju Yogyakarta. Setelah di Yogya, mereka berangkat lagi ke Surabaya pada pukul 12 malam, dan sampai di Surabaya pagi hari. Sekitar pukul 04.30 pagi mereka istirahat di rest area Wilangan. Di sana pengemudi kelelahan dan tidur di bagasi belakang. Pada saat semua penumpang sudah naik sekitar pukul 5.30, pembantu pengemudi tidak tega untuk membangunkannya,  lalu yang bersangkutan berinisiatif membawa mobil tersebut.

Pembantu pengemudi  sekalipun belum punya SIM tapi dia sudah bisa mengemudi sejak 1918. Jadi secara kemampuan, dia sudah punya kompetensi memadai  dalam mengemudikan bus.

Menjawab pertanyaan,  saat perjalanan dari rest area Wilangan tidak ada masalah. Benar, dan ketika dilihat melalui  CCTV pengelola jalan tol pun  bus tersebut tampak melaju normal. Kecepatannya masih di bawah kecepatan maksimal. Kecepatannya 90 km/ jam, sedangkan maksimum di sana 100 km/ jam. Gerakan-gerakannya juga normal. Namun, sekitar dua menit menjelang titik tumbuk yang bersangkutan ngantuk dan tertidur.

Wildan memastikan, sopir ini tertidur namun sambil pengemudi. Saat menyerempet pagar pengaman jalan, pengemudi juga tidak merasa apa-apa, jadi belum sadar. Ketika menabrak kanstin yang tingginya 20 Cm itu hingga ban pecah, juga yang bersangkutan belum sadar. Yang bersangkutan baru sadar setelah menabrak tiang GMS ( Global System for Mobile).

“Jadi dia bukan lagi tidur sesaat tapi tidur lelap, karena menabrak pagar pengaman jalan sekitar 100 meter (dengan suara) dar…der, dar…der sampai menabrak batu pun belum bangun. Berarti dia benar-benar tidur lelap, “ ujar Wildan.

Terkait dengan hal itu, kata Wildan, kita melihat beberapa faktor. Pada objek kendaraannya tidak ada masalah. Sistem rem pun tidak ada masalah. Kondisi  jalan juga tidak ada bermasalah. Itu jalan  lurus saja, tidak menurun  atau (menanjak) apa. Hanya ada tiang GMS di bahu jalan. Ini yang masalah, dan sudah kami rekomendasikan. Itu peningkatan fatalitasnya.

Penyebab kecelakaan ini murni human eror,  lost of control . Pengemudi kehilangan kendali saat mengemudi karena letih. “Kesimpulan ini wajar karena, mereka seperti menantang Tuhan, “  katanya. Ingat, tegas Wildan, kita diberi waktu 24 jam. Di antara 24 jam itu harus ada waktu untuk  istirahat. Sementara kegiatan ini lebih dari 24 jam, berarti itu (sama dengan ) menantang Tuhan.

Menurut Wildan, andai pengemudi dan pembantu pengemudi tidak mengantuk,  justru mengagetkan, karena kemungkinan mengonsumsi sabu. Sabu itu euforianya besar, staminanya tinggi. Inilah kecelakaan di Mojokerto. Ada pergerakan lebih dari 24 jam tanpa istirahat dengan satu pengemudi. Ini catatan penting.

Sementara kecelakaan di Ciamis, pihaknya  juga sudah memeriksa kendaraan, kondisi jalan, penumpang,  dan pengemudi. Di destinasi wisata, pengemudi istirahat sekitar 4 jam. Kemudian ketika jalan, sekitar 300 meter menjelang titik tubruk, pengemudi sempat kehilangan kendali sehingga menabrak. Pengemudi mengatakan pakai gigi tiga, kemudian menginjak pedal rem dari mulai turun sampai ke bawah. Lebih dari 10 injakan. Tekanan angin tampak tidak berfungsi.

Dikatakan, panjang  jalan dari destinasi wisata ke titik tumbuk sepanjang 2,8 km. Beda ketinggian 219 meter, di sana ada kemiringan sekitar 23 derajat. Ini cukup untuk memberikan daya dorong yang sangat besar. Energi potensial sangat besar. Sehingga ketika turun dari destinasi wisata pengemudi merasakan dorongan yang sangat besar. Dengan menggunakan gigi 3 maka pengemudi berkali-kali menginjak rem.

Ketika memindahkan posisi dari gigi 3 ke 2,  katanya berhasil, tapi para penumpang yang ditanya tidak mendengar suara dengung, sehingga diperkirakan tetap neral atau menggantung. Ini biasa dialami kasus rem blong.

Dari kasus yang terjadi belakangan ini, Wildan melihat adanya masalah dengan bus-bus wisata kita. Dari kasus Mojokerto, terlihat tidak ada kendali dalam jam operasional. Pengaturan waktu kerja, misalnya,  2-3 hari tidak tidur. Hal serupa ia  temukan di Panjalu, rata-rata 2-3 hari tanpa istirahat. Begitu pengakuan para sopir.  Berarti sebagian besar mereka melakukan kegiatan wisata semacam itu. 

Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka rekomendasi pertama KNKT ke Kemenhub, agar membuat pengaturan/ pengawasan terhadap waktu kerja, waktu istirahat dan waktu libur bagi  pengemudi. “Diatur secara jelas, berapa kerja maksimal dalam satu hari/ satu minggu. Selama ini belum ada yang jelas, dan yang mengawasi tidak ada. Sehingga kecelakaan sering terjadi terkait waktu operasionalnya, “ kata Wildan.

Yang kedua mengenai lintasannya. Kendaraan pariwisata itu termasuk yang tidak diatur, bisa pergi kemana saja. Sementara kondisi destinasi wisata kita substandar, turunannya tajam lebih dari 8 persen bahkan ada 3o persen,  tikungannya juga kecil atau tikungan yang patah.  Ini jadi masalah. Bus-bus itu masuk ke jalan yang bukan kelasnya.  Bus-bus yang panjangnya 12 meter itu masuk ke jalan-jalan yang mestinya hanya untuk bus yang panjangnya  8 meter.

Kebanyakan Mantan Kernet

KBP Aris Syahbudin, S.IK, M.Hum Kasubdit Audit & Inspeksi Ditkamsel Mabes Polri, terkait terjadinya kecelakaan mengatakan, ada tiga faktor penyebabnya. Human eror, kondisi kendaraan, dan kondisi jalan. Dari kecelakaan bus pariwisata ada beberapa hal yang dikemukakan.  Diantaranya tentang pengemudi. Umumnya, kata Aris,  tidak ada atau jarang orang bercita-cita jadi pengemudi. Kebanyakan pengemudi mobil-mobil besar itu mantan kernet, dan tidak melalui pendidikan ketrampilan khusus.

Dari beberapa kasus kecelakaan bus pariwisata, pemilik bus rata-rata tidak bertemu langsung dengan penyewa, hanya melalui semacam biro-biro perjalanan, atau pengemudinya kenal dengan penyewa. Jadi tidak melalui  prosedur yang benar, dan penyewa pun tidak tahu bagaimana kondisi kendaraan yang disewanya. Selain itu munculnya destinasi wisata baru dengan  kondisi jalan belum bagus, dan lain-lain.

Diakui Aris, pihaknya belum melakukan pelatihan-pelatihan dalam upaya meningkatkan kompetensi profesi pengemudi guna menghadirkan pengemudi-pengemudi yang benar-benar profesional. Pihak kepolisian akan terus melakukan pencegahan dengan pelbagai peningkatan kompetensi pengemudi.

Ke depan akan disediakan tempat-tempat untuk pelatihan pengemudi dan  bekerjasama dengan pemerintah daerah, untuk berbagai jenis kendaraan termasuk sepeda motor, agar dalam berlatih tidak langsung turun ke jalan, selain benar-benar melatih ketrampilan atau kompetensi dalam mengemudi. iswati  

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *