Kolom
Ibnu Battuta: Penjelajah Muslim Terbesar dalam Sejarah Dunia

JAYAKARTA NEWS – Di pagi yang cerah pada tahun 1304 M, di sebuah keluarga berpengaruh di kota Tangier, Maroko, lahirlah seorang bayi laki-laki yang kelak akan dikenal sebagai salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah manusia. Namanya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah Al-Lawati Al-Tanji Ibn Battuta. Kelak, dunia akan mengenalnya cukup dengan nama Ibnu Battuta. Saat itu, tak seorang pun di keluarganya yang menyangka bahwa bayi ini akan menjelajahi hampir seluruh dunia Islam yang dikenal pada masanya, menempuh perjalanan lebih dari 120.000 kilometer, melampaui jarak yang ditempuh oleh Marco Polo.
Ibnu Battuta tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah seorang hakim (qadi) yang dihormati di Tangier. Sejak kecil, ia telah dididik dalam tradisi Islam yang kuat, mempelajari Al-Quran, hadits, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ia juga dibekali dengan pendidikan hukum Islam yang mendalam, mengikuti jejak ayahnya sebagai ahli hukum. Kelak, pendidikan inilah yang akan membantunya mendapatkan posisi terhormat di berbagai negeri yang ia kunjungi.
Tangier, kota kelahiran Ibnu Battuta, adalah sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai utara Maroko. Terletak di persimpangan antara Laut Mediterania dan Samudra Atlantik, serta menjadi salah satu pintu gerbang antara Afrika dan Eropa, kota ini menjadi tempat pertemuan berbagai budaya, bahasa, dan cerita-cerita dari para pedagang dan pelaut. Cerita-cerita tentang negeri-negeri jauh dan keajaiban dunia yang dibawa oleh para pendatang ini tak pelak lagi menumbuhkan benih kecintaan akan petualangan dalam diri sang bocah Ibnu Battuta.
Pada masa itu, dunia Islam berada dalam cakupan yang sangat luas, membentang dari Spanyol di barat hingga India di timur. Meskipun secara politik terpecah menjadi beberapa kerajaan dan kesultanan, namun kesatuan budaya, agama, dan bahasa Arab sebagai lingua franca menjadikan seluruh wilayah ini seperti satu “tanah air” bagi umat Islam. Hal ini memungkinkan para cendekiawan, pedagang, dan penjelajah seperti Ibnu Battuta untuk berpindah dengan relatif mudah dari satu wilayah ke wilayah lain.
Awal Perjalanan: Mekah sebagai Tujuan Pertama
Ketika menginjak usia 21 tahun pada tahun 1325, Ibnu Battuta memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Ini adalah perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dengan hanya mengenakan jubah, membawa bekal secukupnya, dan menunggang kuda, ia memulai perjalanan yang semula hanya direncanakan untuk beberapa bulan saja. Namun, siapa sangka, perjalanan ini akan berubah menjadi petualangan yang berlangsung selama hampir tiga dekade, menjelajahi tiga benua, dan mengunjungi lebih dari 40 negara modern saat ini.
Dari Tangier, Ibnu Battuta menyeberangi Afrika Utara, melewati kota-kota seperti Tlemcen, Miliana, Algiers, dan Bijaya (sekarang di Aljazair). Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Tunis, sebelum bergerak ke arah timur menuju Alexandria di Mesir. Di setiap kota yang ia kunjungi, Ibnu Battuta bertemu dengan para ulama dan cendekiawan terkemuka, belajar dari mereka, dan seringkali tinggal di madrasah atau zawiya (pusat sufi) setempat.
Di Alexandria, ia kagum melihat Menara Pharos, salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno, meskipun saat itu menara tersebut sudah tidak utuh lagi akibat gempa bumi. Ia juga bertemu dengan seorang wali sufi yang konon meramalkan bahwa Ibnu Battuta akan menjelajahi dunia. Ramalan ini menjadi salah satu motivasi bagi Ibnu Battuta untuk melanjutkan perjalanannya lebih jauh.
Dari Alexandria, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, pusat peradaban Islam saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk. Ia menggambarkan Kairo sebagai “ibu dari semua kota, tempat duduknya kerajaan Firaun yang lalim, kota dengan jalan-jalan yang luas dan taman-taman yang indah, tempat orang kaya dan miskin, orang bijak dan bodoh, orang baik dan jahat, orang yang serius dan yang suka bercanda, serta orang yang lembut dan yang keras kepala berkumpul.”
Setelah beberapa minggu di Kairo, Ibnu Battuta melanjutkan perjalanan ke Damaskus (Suriah), kemudian menuju Madinah dan akhirnya tiba di Mekah pada tahun 1326. Di Mekah, ia menunaikan ibadah haji, berkeliling Kaabah, mencium Hajar Aswad, dan melakukan semua ritual yang wajib dilakukan oleh jamaah haji. Setelah menyelesaikan ibadah haji, ia memutuskan untuk tidak kembali ke Maroko, melainkan melanjutkan perjalanannya untuk menjelajahi lebih banyak negeri Islam.
Menjelajahi Timur Tengah dan Afrika Timur
Setelah tinggal selama hampir satu tahun di Mekah, Ibnu Battuta memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Irak. Ia bergabung dengan kafilah yang menuju ke Kufah, kemudian melanjutkan ke Baghdad, yang saat itu masih dalam masa pemulihan setelah dihancurkan oleh serangan Mongol pada tahun 1258. Meskipun tidak segemilang masa jayanya, Baghdad tetap merupakan pusat ilmu pengetahuan yang penting.
Dari Baghdad, Ibnu Battuta melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Tabriz di Persia, kemudian kembali ke arah barat menuju Mosul dan Mardin. Ia kemudian melakukan perjalanan ke selatan menuju Damaskus untuk kedua kalinya, sebelum melanjutkan ke Yerusalem dan Hebron. Setelah itu, ia kembali ke Mekah untuk menunaikan haji untuk kedua kalinya pada tahun 1328.
Setelah ibadah haji kedua, Ibnu Battuta memutuskan untuk menjelajahi pantai timur Afrika. Ia berlayar dari Jeddah ke Pelabuhan Aden di Yaman, kemudian menyusuri pantai timur Afrika, mengunjungi Zeila (Somalia), Mogadishu, Mombasa, dan Kilwa (Tanzania). Di Kilwa, ia terkesima melihat kota yang dibangun dari batu karang hitam dengan bangunan-bangunan bertingkat yang megah.
Selama perjalanannya di Afrika Timur, Ibnu Battuta mencatat secara detail tentang masyarakat muslim di wilayah ini, perdagangan yang berkembang, sistem pemerintahan lokal, dan berbagai adat istiadat yang ia temui. Ia juga menyaksikan sekaligus berpartisipasi dalam jaringan perdagangan Samudera Hindia yang menghubungkan Afrika Timur dengan Timur Tengah dan India.
Petualangan di Asia: Persia, Anatolia, Asia Tengah, dan India
Pada tahun 1330, setelah menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya, Ibnu Battuta memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke arah timur. Ia berlayar dari Jeddah menuju Persia melalui Teluk Persia, mengunjungi kota-kota seperti Shiraz dan Tabriz. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke Anatolia (Turki modern) yang saat itu dikuasai oleh berbagai kesultanan Turki Seljuk.
Di Anatolia, Ibnu Battuta mendapat sambutan hangat dari para penguasa lokal. Ia sering menerima hadiah, tempat tinggal, dan jamuan mewah selama kunjungannya. Ia memuji keramahan orang-orang Turki, menggambarkan mereka sebagai “orang-orang terbaik di dunia dalam memperlakukan orang asing.”
Dari Anatolia, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Laut Hitam, kemudian ke timur ke wilayah Khanate Emas (Golden Horde) di Asia Tengah yang dikuasai oleh keturunan Mongol yang telah memeluk Islam. Di sini, ia melakukan perjalanan melalui stepa yang luas dengan kereta beroda yang ditarik oleh kuda atau unta, mengalami dinginnya musim dingin di wilayah tersebut.
Setahun kemudian, pada tahun 1333, Ibnu Battuta tiba di Konstantinopel (sekarang Istanbul), ibu kota Kekaisaran Bizantium. Meskipun Konstantinopel adalah kota Kristen, namun Ibnu Battuta mendapat izin dan sambutan baik dari Kaisar Andronikos III Palaiologos, berkat surat pengantar dari penguasa Golden Horde.
Setelah kembali dari Konstantinopel, ia melanjutkan perjalanan ke timur menuju India melalui Afghanistan. Perjalanan ini penuh dengan bahaya, termasuk ancaman perampok dan kondisi alam yang keras. Namun, tekad kuat Ibnu Battuta membawanya akhirnya tiba di Delhi, India, pada tahun 1334.
Di Delhi, ia menemukan kesempatan besar untuk berkarir. Sultan Muhammad bin Tughlaq, penguasa Delhi saat itu, sangat terkesan dengan pengetahuan hukum Islam Ibnu Battuta dan pengalamannya yang luas di berbagai negeri. Sultan kemudian mengangkatnya sebagai qadi (hakim) di pengadilan kerajaan, posisi yang ia pegang selama tujuh tahun.
Selama menjadi qadi di Delhi, Ibnu Battuta hidup dalam kemewahan dan memiliki pengaruh besar di istana. Ia mendapat gaji yang besar, rumah mewah, dan sejumlah budak. Namun, ia juga menyaksikan sisi kejam dari pemerintahan Sultan Muhammad bin Tughlaq, yang dikenal karena sikapnya yang tidak dapat diprediksi dan hukuman kerasnya terhadap para pembangkang.
Setelah tujuh tahun di Delhi, posisi Ibnu Battuta di istana mulai goyah karena intrik politik. Ia kemudian meminta izin kepada Sultan untuk menunaikan ibadah haji lagi. Sultan menyetujui, tetapi justru menugaskannya sebagai duta ke Tiongkok untuk mengantarkan hadiah kepada Kaisar Mongol di sana.
Eksplorasi Asia Tenggara dan Tiongkok
Dengan tugas baru sebagai duta ke Tiongkok, Ibnu Battuta berangkat dari Delhi pada tahun 1341. Namun, nasib buruk menimpanya di perjalanan. Kapal yang membawa hadiah-hadiah untuk Kaisar Tiongkok tenggelam dalam badai di lepas pantai India. Rombongan Ibnu Battuta juga diserang oleh pemberontak Hindu. Ia berhasil melarikan diri, namun kehilangan semua harta benda dan hampir semua anggota rombongannya.
Meskipun misi diplomatiknya gagal, Ibnu Battuta memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Tiongkok. Ia berlayar dari India ke Maldives, di mana ia tinggal selama sembilan bulan dan diangkat sebagai qadi. Di Maldives, ia menikahi beberapa wanita lokal dan terlibat dalam politik lokal, meskipun akhirnya meninggalkan pulau tersebut karena konflik dengan penguasa setempat.
Dari Maldives, ia melanjutkan perjalanan ke Sri Lanka, kemudian ke Bengal (sekarang Bangladesh). Dari sana, ia berlayar ke Sumatra, di mana ia menggambarkan masyarakat muslim lokal dan sistem perdagangan rempah-rempah yang ramai. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke utara menuju Melaka, lalu ke daratan Asia Tenggara (sekarang Thailand dan Vietnam).
Akhirnya, sekitar tahun 1345, Ibnu Battuta tiba di Tiongkok selatan, yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan (Mongol). Ia mengunjungi kota-kota pelabuhan seperti Quanzhou dan Guangzhou (Canton), serta mungkin juga Beijing, meskipun beberapa sejarawan meragukan klaim ini. Di Tiongkok, Ibnu Battuta terkejut melihat keramahan orang-orang Tiongkok terhadap para pedagang muslim, serta keberadaan komunitas muslim yang berkembang di kota-kota pelabuhan utama.
Setelah menghabiskan waktu sekitar satu tahun di Tiongkok, Ibnu Battuta memutuskan untuk kembali ke tanah airnya. Ia telah mendengar kabar bahwa ayahnya telah meninggal dan merasakan kerinduan untuk kembali ke kampung halaman setelah hampir 20 tahun berkelana.
Kembali ke Barat: Andalusia dan Afrika Barat
Ibnu Battuta kembali ke Mekah melalui jalur yang kurang lebih sama dengan perjalanannya menuju timur. Setelah menunaikan ibadah haji untuk kelima kalinya, ia akhirnya kembali ke Maroko pada tahun 1349, setelah 24 tahun meninggalkan tanah kelahirannya.
Namun, kedatangannya di Tangier diwarnai dengan kesedihan. Ia mendapati bahwa ibunya telah meninggal beberapa bulan sebelum kedatangannya, sementara wabah Kematian Hitam (Black Death) sedang melanda Maroko dan sebagian besar dunia pada saat itu.
Meskipun telah kembali ke kampung halaman, jiwa petualang Ibnu Battuta tidak pernah padam. Setelah beberapa saat beristirahat, ia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Andalusia (Spanyol muslim) pada tahun 1350. Di sana, ia mengunjungi kota-kota seperti Granada, yang saat itu menjadi benteng terakhir Islam di Spanyol di bawah kekuasaan Dinasti Nasrid.
Setelah kembali dari Andalusia, ia melakukan perjalanan terakhirnya ke selatan melewati Gurun Sahara menuju Kerajaan Mali di Afrika Barat pada tahun 1352. Dalam perjalanan ini, ia menyaksikan perdagangan emas dan garam yang ramai di wilayah Sahel, serta keberadaan kerajaan-kerajaan Afrika yang makmur seperti Mali di bawah pemerintahan Mansa Sulayman, saudara dari Mansa Musa yang terkenal.
Di Mali, Ibnu Battuta terkagum-kagum dengan kekayaan kerajaan tersebut dan kepatuhan penduduknya terhadap ajaran Islam, meskipun ia juga mengkritik beberapa praktik lokal yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat Islam. Ia mencatat secara detail tentang kota Timbuktu dan Gao, pusat-pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan Islam di Afrika Barat.
Akhir Hidup dan Warisan: Rihla
Setelah menyelesaikan perjalanannya ke Mali, Ibnu Battuta kembali ke Maroko sekitar tahun 1354. Kali ini, ia memutuskan untuk menetap. Sultan Abu Inan Faris dari Dinasti Marinid yang memerintah Maroko saat itu, terkesan dengan kisah perjalanan Ibnu Battuta yang luar biasa. Sultan kemudian memerintahkan seorang penulis istana bernama Ibn Juzayy untuk mencatat semua kisah perjalanan Ibnu Battuta.
Selama dua tahun berikutnya, Ibnu Battuta mendiktekan kisah perjalanannya kepada Ibn Juzayy, yang kemudian menyusunnya menjadi sebuah kitab yang berjudul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar” (Hadiah bagi Mereka yang Memperhatikan Keajaiban Kota-kota dan Keajaiban Perjalanan), yang lebih dikenal dengan nama singkat “Rihla” (Perjalanan).
Rihla adalah sebuah karya yang luar biasa, tidak hanya karena cakupan geografisnya yang sangat luas, tetapi juga karena detail pengamatannya tentang masyarakat, budaya, politik, ekonomi, dan agama di berbagai belahan dunia Islam. Buku ini menjadi sumber informasi yang tak ternilai bagi para sejarawan modern tentang dunia abad ke-14.
Setelah menyelesaikan penulisan Rihla, tidak banyak lagi yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Battuta. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia diangkat sebagai qadi di sebuah kota kecil di Maroko. Ia diperkirakan meninggal sekitar tahun 1368 atau 1369, pada usia sekitar 64 tahun.
Warisan Ibnu Battuta terletak pada karya Rihla-nya yang luar biasa. Selama berabad-abad, karya ini kurang mendapat perhatian di dunia Barat dibandingkan dengan catatan perjalanan Marco Polo. Namun, pada abad ke-20, karya Ibnu Battuta mulai mendapat pengakuan yang layak sebagai salah satu catatan perjalanan terpenting dalam sejarah.
Rihla memberikan gambaran yang kaya tentang dunia Islam abad ke-14 dari sudut pandang seorang cendekiawan muslim. Ia menggambarkan sebuah dunia yang terhubung oleh perdagangan, bahasa, dan agama, di mana seorang penjelajah seperti dirinya bisa berpindah dengan relatif mudah dari satu wilayah ke wilayah lain, dan di mana kesamaan identitas Islam menjembatani perbedaan budaya, bahasa, dan ras.
Kontribusi Ibnu Battuta dalam Ilmu Pengetahuan
Meskipun Ibnu Battuta lebih dikenal sebagai penjelajah daripada ilmuwan, namun kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan tetap signifikan, terutama dalam bidang geografi, etnografi, dan sejarah.
Dalam bidang geografi, catatan perjalanan Ibnu Battuta memberikan informasi yang berharga tentang topografi, iklim, flora, dan fauna dari berbagai wilayah yang ia kunjungi. Ia seringkali mencatat jarak antar kota dengan teliti, mendeskripsikan rute perjalanan dengan detail, dan menggambarkan kondisi geografis suatu wilayah. Informasi ini sangat berharga bagi pemetaan dunia Islam pada masa itu.
Dalam bidang etnografi, Ibnu Battuta merekam dengan cermat berbagai adat istiadat, tradisi, pakaian, makanan, dan praktik sosial dari masyarakat yang ia temui. Ia juga mencatat berbagai bahasa yang digunakan, sistem mata uang, dan praktik perdagangan. Pengamatannya yang detail memberikan gambaran yang kaya tentang kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai belahan dunia pada abad ke-14.
Dalam bidang sejarah, Ibnu Battuta mencatat peristiwa-peristiwa penting yang ia saksikan atau dengar selama perjalanannya. Ia juga menulis tentang sistem politik, struktur pemerintahan, dan hubungan diplomatik antar negara. Catatan tentang kerajaan Mali di Afrika Barat, misalnya, menjadi salah satu sumber tertulis yang paling berharga tentang kerajaan ini. Deskripsinya tentang kemakmuran Mansa Sulayman dan Timbuktu yang menjadi pusat ilmu pengetahuan memberikan bukti penting tentang peradaban Afrika yang maju pada masa itu.
Selain itu, Rihla juga memberikan informasi berharga tentang jaringan intelektual dan pendidikan di dunia Islam pada masa itu. Ibnu Battuta sering mencatat nama-nama ulama yang ia temui, buku-buku yang ia pelajari, dan institusi pendidikan yang ia kunjungi, memberikan gambaran tentang bagaimana pengetahuan disebarkan dan dilestarikan dalam dunia Islam medieval.
Refleksi: Ibnu Battuta dalam Pandangan Modern
Dalam pandangan modern, Ibnu Battuta dianggap sebagai salah satu penjelajah terbesar sepanjang masa. Jarak yang ia tempuh — sekitar 120.000 kilometer — belum ada yang menandinginya hingga era transportasi modern abad ke-19. Lebih mengesankan lagi, sebagian besar perjalanannya dilakukan dengan berjalan kaki, menunggang kuda atau unta, atau berlayar dengan kapal yang relatif sederhana dibandingkan dengan standar modern.
Catatan perjalanannya memberikan kesaksian tentang sebuah dunia yang terhubung dan kosmopolitan jauh sebelum era globalisasi modern. Ia menggambarkan sebuah dunia di mana orang-orang, ide, dan barang bergerak dengan bebas melampaui batas-batas politik, meskipun tentu saja dengan tantangan dan bahaya yang lebih besar dibandingkan masa kini.
Kisah Ibnu Battuta juga menggambarkan peran Islam sebagai kekuatan pemersatu di berbagai wilayah dan budaya yang berbeda. Sebagai seorang muslim yang berpendidikan, ia mampu mendapatkan penerimaan dan seringkali posisi terhormat di hampir semua masyarakat muslim yang ia kunjungi, dari Maroko hingga Tiongkok.
Dalam konteks akademis modern, Rihla menjadi sumber primer yang tak ternilai bagi para sejarawan, antropolog, dan ilmuwan sosial yang meneliti tentang dunia Islam abad pertengahan. Meskipun beberapa bagian dari catatannya mungkin dilebih-lebihkan atau didasarkan pada informasi dari orang lain, namun sebagian besar pengamatannya telah diverifikasi oleh sumber-sumber lain dan penelitian arkeologis modern.
Ibnu Battuta juga menjadi lambang semangat eksplorasi dan kecintaan akan pengetahuan yang menjadi ciri peradaban Islam klasik. Di masa ketika perjalanan adalah usaha yang berbahaya dan penuh ketidakpastian, ia didorong oleh rasa ingin tahu yang tak terpuaskan dan keinginan untuk melihat keajaiban dunia dengan mata kepalanya sendiri.
Catatan Akhir
Perjalanan hidup Ibnu Battuta adalah kisah yang luar biasa tentang keberanian, ketekunan, dan semangat eksplorasi. Dari seorang pemuda yang berangkat untuk menunaikan ibadah haji, ia berubah menjadi salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah manusia. Selama hampir tiga dekade, ia menjelajahi hampir seluruh dunia Islam yang dikenal pada masanya, meninggalkan catatan yang berharga tentang masyarakat, budaya, dan sejarah dari berbagai belahan dunia.
Warisan terbesar Ibnu Battuta adalah Rihla, kitab yang mendokumentasikan perjalanannya yang luar biasa. Kitab ini tidak hanya menjadi catatan perjalanan yang menakjubkan, tetapi juga merupakan sumber informasi yang tak ternilai tentang dunia Islam abad ke-14. Melalui karya ini, kita mendapatkan gambaran yang kaya dan beragam tentang masyarakat, budaya, politik, dan ekonomi dari Maroko hingga Tiongkok pada masa itu.
Meskipun Ibnu Battuta tidak sepopuler Marco Polo di dunia Barat selama berabad-abad, namun jasanya mulai mendapat pengakuan yang layak pada abad ke-20. Hari ini, ia diakui sebagai salah satu penjelajah terhebat dalam sejarah manusia, yang perjalanannya melampaui jarak yang ditempuh oleh Marco Polo maupun penjelajah Eropa lainnya pada era sebelum transportasi modern.
Ibnu Battuta mengajarkan kepada kita tentang semangat eksplorasi, keterbukaan terhadap budaya yang berbeda, dan kecintaan akan pengetahuan. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, kisahnya mengingatkan kita tentang sebuah masa ketika dunia Islam merupakan ruang yang relatif terbuka di mana orang-orang dari berbagai latar belakang dapat berpindah, berinteraksi, dan berbagi pengetahuan dengan relatif bebas.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa Ibnu Battuta lebih dari sekadar seorang penjelajah atau cendekiawan Muslim. Ia adalah saksi mata dan kronik dari sebuah era penting dalam sejarah dunia, seorang kosmopolitan sejati yang hidup di masa ketika batas-batas budaya dan geografis lebih mudah ditembus daripada yang sering kita bayangkan. Dalam sosoknya, kita melihat etos eksplorasi dan pencarian pengetahuan yang menjadi ciri peradaban Islam klasik, sebuah warisan yang terus menginspirasi hingga hari ini. (Heri)