Connect with us

Feature

Greta dan Doni, Dua Generasi Satu Peduli

Published

on

Doni Monardo dan Greta Thunberg

JAYAKARTA NEWS – Yang satu, seorang gadis 15 tahun bernama Greta Thunberg. Satunya lagi, seorang letnan jenderal 56 tahun bernama Doni Monardo. Ini kisah manusia-manusia langka pada zamannya. Berteriak-teriak lantang menentang eksploitasi alam, di saat segelintir manusia menikmati materi berlimpah dengan cara mengabaikan lingkungan.

Tahukah Anda, dunia baru saja dibuat gempar dengan aksi Greta melakukan mogok sekolah tiap hari Jumat, dengan alasan kecewa kepada Parlemen Swedia yang tak pernah berbuat apa-apa kepada lingkungan. Aksi Greta meruyak menyebar hingga ke murid-murid lain di 270 kota di dunia pada Februari 2019.

Di Indonesia, Doni Monardo yang adalah Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berani tidak populer dengan mengkritik dan menerjang siapa pun yang ia kategorikan sebagai perusak lingkungan. Ia bahkan tidak peduli jika demi lingkungan harus berseberangan dengan penguasa atau pengusaha.

Di Swedia, Greta yang remaja membayangkan dirinya hidup di tahun 2078 dan berusaia 75 tahun. Ia membayangkan saat itu “Greta-Greta” remaja akan menggugat generasi tua dan bertanya mengapap tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan lingkungan padahal masih ada waktu untuk bertindak. Greta tidak mau tua dan menjadi generasi yang dihujat anak-cucunya kelak.

Greta yang remaja tidak mau kelak hidup menjadi orang tua yang mengaku sangat mencintai anak-anak di atas segalanya, tapi pada saat yang sama mencuri masa depannya di depan mata mereka sendiri. Mencuri masa depan anak-cucu dengan membiarkan perusakan lingkungan terjadi di depan mata, tanpa berbuat apa pun!

Menyimak concern Greta, mendadak seperti ada benang merah yang terjulur antara Swedia dan Indonesia. Antara Greta dan Doni. Dua manusia dengan satu kepedulian: Lingkungan hidup. Dalam banyak kesempatan, Doni selalu mengulang-ulang hakikat bencana alam yang timbul karena tiga faktor: Perbuatan manusia, peristiwa non alam, dan peristiwa alam.

Di antara tiga faktor, Doni selalu bicara keras dan blak-blakan ihwal bencana yang terjadi karena perbuatan manusia. Apa yang ia suarakan, terasa benar sebagai sebuah jawaban atas keprihatinan yang dirasakan Greta.

Dengan bentuk contoh yang kongkrit, ia menyoal sebuah lingkaran setan terjadinya banyak bencana banjir, akibat perbuatan manusia. Antara lain tidak adanya disiplin terhadap rencana tata ruang wilayah. Bentuknya, pemberian izin bangunan di pinggir sungai, pemberian izin di tempat-tempat yang relatif rendah. “Sudah tahu daerah resapan, tapi dipaksakan ditimbun dan dibangun perumahan. Akibatnya, banjir saat musim hujan,” ujar Doni dalam banyak kesempatan.

Setan pun melingkar. Rakyat memprotes gubernur, bupati atau walikota. Responsnya tentu saja, “salah sendiri, mengapa beli rumah di daerah yang rendah?” Atau alibi lain yang tak kalah jitu, “itu kan tanggung jawab pengembang.” Dan pengembang yang dituding pun berdalih, “apa yang salah? Kami membangun kan atas izin pemerintah.”

Tak pelak, kepada para penguasa daerah, Doni Monardo pun menyerukan agar pembangunan dilaksanakan dengan orientasi rencana tata ruang wilayah yang benar. Itu pula yang dipesankan Presiden saat Rakor BNPB, BNPD se-Indonesia, awal Februari 2019 di Surabaya.

Kalau benar penataannhya, niscaya tidak akan ada rakyat menjadi korban banjir. Sebab, musibah jenis ini terjadi karena faktor kelalaian manusia. Karena itu, Doni tak segan-segan meminta para kepala daerah termasuk para kepala dinas teknis untuk memperhatikan faktor alam. “Jangan melawan kekuatan alam. Tidak ada kekuatan manusia yang mampu menghadapi kekuatan alam,” berbicara begitu, Doni mengambil contoh Jepang. Negara yang membangun tanggul banjir dengan perhitungan sangat kokoh, tetapi tetap jebol ketika terjadi gempa skala tinggi, dan menewaskan ribuan orang.

Tidak berhenti di situ, kesatu-pandangan antara Greta di Swedia dan Doni di Indonesia. Greta geram dengan ulah manusia yang mengorbankan seluruh peradaban kehidupan demi terus menambang uang. Yang mereka korbankan adalah biosfer. Biosfer merupakan lapisan tempat tinggal makhluk hidup atau ruang lingkup yang ditempati oleh organisme.

Biosfer atau lingkungan hidup dikorbankan, sementara orang-orang kaya hidup dalam kemewahan. Padahal itu semua adalah penderitaan banyak orang untuk membiayai kemewahan sedikit individu.

Secara lebih kongkrit, Doni bicara berdasar data dan fakta yang terjadi di depan mata. Seperti saat ia berkunjung ke Riau awal Maret 2019. Ia bertanya kepada gubernur ihwal lahan kelapa sawit. Didapat keterangan, ada 4,4 juta hektare lahan perkebunan di Riau, dengan rincian 2,8 juta ha sawit, dan 1,6 juta ha HTI (Hutan Tanaman Industri).

Doni pun menghitung-hitung berapa nominal penghasilan kelapa sawit per hektare. Jika diasumsikan pendapatan paling rendah 3.000 dolar Amerika atau sekitar Rp 42 juta, maka total penghasilan dari perkebunan sawit di Riau tadi bisa mencapai lebih dari Rp 110 triliun. Jauh lebih besar dari anggaran pemerintah untuk sektor pertahanan kita.

Segelintir orang kaya saja yang menikmati hasil itu. Sementara, masyarakat Riau yang terkena dampak buruk. Doni mendapat data dari Setda Riau, jumlah penderita hipertensi meningkat 10 kali lipat dari tahun 2016 ke tahun 2018. Kemudian jantung koroner, tahun 2016 berjumlah 417 naik menjadi 10.574 di tahun 2018. Penderita diabetes tahun 2016 sebanyak 2300, sementara tahun 2018 melonjak drastis mencapai 45.000. Sedangkan penderita asma, tahun 2016 tercatat  3.189 orang, membengkak menjadi 28.008 di tahun 2018.

Masih banyak catatan Doni Monardo yang menggambarkan, betapa akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan terjadinya musibah atau bancana alam. Alhasil, seperti halnya Greta, maka Doni pun tak henti-henti dan tak bosan-bosan menyerukan seruan tidak populer, yakni seruan untuk menjaga alam.

Ia sadar, karena jumlah manusia yang peduli lingkungan jauh lebih sedikit dibanding yang tidak peduli, maka teriakan “jaga lingkungan” harus lantang dan berulang-ulang. Ia bahkan secara ekstrem menyebutkan, tanpa adanya kesadaran untuk menghentikan eksploitasi alam, maka entah lima tahun, 10 tahun, atau 20 tahun ke depan, bumi sudah lagi aman dan nyaman. Jika itu yang terjadi, Doni pun bertanya, “Apa kita mau pindah ke planet lain?” (roso daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *