Feature
Danau Toba Seribu Rupa
Jayakarta News – Jika judul tulisan ini menggunakan kata “Seribu”, sejatinya hanya kiasan. Jumlah pastinya, hanya puluhan. Ya, puluhan lukisan Danau Toba dan budayanya, dipajang di Toba Hall hotel Inna Parapat, Simalungun – Sumatera Utara, 9 – 11 Desember 2019, bertepatan event North Sumatera Music Festival.
Acara yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara (Disbudparsu) ini ditanggungjawabi Martina Silaban, Kepala UPT Museum Negeri Medan. Acara ini selarik dengan gelar Festival Danau Toba (FDT) yang tahun ini diselenggarakan di Kota Parapat.
Ruang Toba Hall tak pelak menyedot perhatian para pemerhati lukisan. Ia menjadi event yang memperkaya corak FDT yang berakhir keesokan harinya, 12 Desember 2019. Selain display puluhan lukisan berbagai corak dan aliran, juga dipajang aneka ulos, kain khas Batak, serta sejumlah alat musik tradisional seperti gondang, dan lain sebagainya.
Selagi menikmati lukisan, mendadak tampak seorang pria berperawakan tinggi memasuki galeri Toba Hall. Pria berkemeja putih dan berkacamata itu, tampak serius mencermati karya-karya seniman lukis Sumatera Utara yang terpajang rapat di atas easel atau standing yang berderet-deret. Ternyata, pria itu adalah Direktur Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo.
“Saya sudah melihat semua lukisan yang dipamerkan, dan hampir semua lukisan menarik. Ketepatan, saya memang penyuka lukisan,” ujar Arie Prasetyo kepada Jayakarta News. Siang itu, Arie didampingi Kasi Promosi Bidang Pemasaran (Disbudparsu), Kurnia Utama.
Lelaki kelahiran 24 September 1979 itu menambahkan, masing-masing lukisan menampakkan teknik tinggi para pelukisnya. Objek yang diangkat pun beragam. Ada yang melukis keindahan Danau Toba, ada pula yang memotret kehidupan sehari-hari di pasar serta budaya Batak lainnya dalam sapuan kuas warna-warni.
Dalam kesempatan itu, Arie Prasetyo membeli satu lukisan yang paling berkenan di hatinya. Pelukis yang beruntung karyanya diminati Direktur BPODT adalah Khairul Saleh. Lukisan yang dibeli Arie berjudul “Singa Singa”. “Saya hanya penyuka lukisan, tapi bukan kolektor,” ujarnya.
Dalam banyak kunjungan, jika punya kesempatan ia rajin mengunjungi galeri-galeri lukisan. Seperti halnya di Bali, Arie merasa senang jika bisa menyaksikan karya-karya lukis baik yang dipajang di galeri maupun yang ada di pasar-pasar seni. Arie kagum atas kejelian para pelukis menangkap objek dan menuangkan ke dalam kanvas.
Seperti itu pula yang ia bayangkan jika di sekitar Danau Toba juga tersebar banyak pelukis yang mengekspresikan keindahan Toba dalam kanvas. Karenanya, demi melihat pameran lukisan di Toba Hall, ia yakin masih banyak angle lain yang bisa diangkat para pelukis peserta pameran.
Seperti objek ulos khas Tanah Karo yang ada dalam pameran itu. Menurut Arie, orang yang mengerti budaya di sekitar Danau Toba, pasti akan tahu hakikat objek yang dilihat. “Kesimpulannya, event ini sangat bagus. Danau Toba perlu kita angkat dan perkenalkan lebih luas melalui karya seni, khususnya seni lukis,” ujarnya.
Arie menambahkan, acara-acara seperti ini harus diperbanyak. Termasuk, perlu digagas festival seni, termasuk seni lukis. Dalam acara itu, diadakan kegiatan melukis on the spot, real time. Ditambah lomba membuat sketsa Danau Toba. Pesertanya, tidak hanya para pelukis dari Sumatera Utara, tetapi terbuka untuk pelukis daerah lain di seluruh Indonesia, bahkan dari manca negara.
“Kita bisa memberi fasilitas bagi para perupa yang hadir. Panitia menyediakan juri dan kurator. Hasil karya mereka menjadi milik panitia, yang kelak bisa kita jual kepada para pecinta lukisan. Uang yang didapat, bisa digunakan untuk pengembangan potensi kreatif masyarakat sekitar Danau Toba. Dari seni kembali ke seni. Dari kreativitas kembali ke kreativitas,” papar Arie yang sarjana arsitektur ITB Bandung itu.
Arie bahkan membayangkan kehadiran para pelukis Eropa atau pelukis manca negara lain. Mereka yang belum pernah ke Danau Toba sebelumnya, dipastikan melahirkan goresan lukisan yang fresh. “Akan banyak lukisan tentang Danau Toba dalam perspektif yang berbeda dari yang sudah ada,” ujar Arie yang menggondol gelar masternya di National University of Singapore itu.
Ia menambahkan, kalau saja panitia bisa mengalokasikan waktu antara dua sampai tiga hari, bukan tidak mungkin satu pelukis bisa melahirkan beberapa karya sekaligus. Arie melihat, gagasan ini bisa menjadi salah satu bentuk media promosi yang efektif.
Terlebih, dengan momentum ditetapkannya geopark kaldera Toba menjadi Unesco Global Geopark, bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelukis manca negara. Bukan tidak mungkin, melalui event tersebut, akan banyak menarik minat para pelukis lokal maupun manca negara, tinggal dan berkarya di sekitar Danau Toba. Arie membayangkan Danau Toba bisa seperti Bali yang terangkat oleh banyak pelukis manca negara, selain para pelukis lokal yang berkarakter. (Monang Sitohang)