Connect with us

Entertainment

Webinar FFWI: Buku Best Seller, Film Box Office

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Buku novel dan film sangat berbeda jauh. Novel dikerjakan 1 orang, sedangkan film oleh banyak orang. “Film sering dibilang karya kolektif, bersama. Ya sutradara, penulis skenario, penata musik, penata suara dan seni peran pemainnya,” ujar sineas Setiawan Hanung Bramantyo dalam webinar 2 Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) XII bertema ‘Buku Best Seller – Film Box Office’ baru-baru ini.

Menurut Hanung yang film terbarunya bertajuk ‘Satria Dewa Gatotkaca’ beredar di bioskop ini mengatakan sebagai film maker, ia tidak ingin melencengkan cerita dari novel yang diadaptasi ke film. “Struktur novel best seller beda dengan struktur baku penulisan skenario. Tiga bab novel bisa jadi 8 sequences di film,” ucapnya.

Dengan kata lain, film bukan ‘new message’ dari novel. Penonton acap punya mindset bahwa film yang diadaptasi dari novel harus sama. “Film adalah karya baru dari novel. Dan ini enggak jadi soal lagi. Kita sering dengar ada perdebatan kenapa filmnya lebih jelek dari novel yang diangkatnya ke film,” ungkap  sutradara yang pernah memfilmkan novel-novel laris ke film, seperti ‘Ayat Ayat Cinta’, ‘Perempuan Berkalung Sorban’ dan ‘Bumi Manusia’ ini.

Asma Nadia (FFWI)

Ditambahkan, kalau mau nonton film yang diadaptasi dari novel sama persis, lihat saja series. “Nonton film seperti kita nonton opera. Sekali tonton, selesai, walau kini banyak dibuat lanjutan atau spin off nya. Sebaliknya, nonton series mengikuti alur seperti membaca buku. Kita bisa lihat series kapan saja dan sambil tiduran. Lanjut nonton besok, boleh,” timpal Hanung yang jebolan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini.

Segendang sepenarian Asma Nadia, yang dari menulis 68 novel sudah 12 yang diangkat ke film. “Kebutuhan visual beda dengan kebutuhan penulisan. Tapi semangatnya tetap ada,” urai Asma Nadia yang beberapa novelnya seperti ‘Assalammualaikum Beijing’ dan ‘Jilbab Traveller’ telah sukses difilmkan.

“Sebagai penulis novel, saya enggak ingin mengintervensi kerja sutradara. Ranah film adalah  karya film maker. Ending novel saya ketika difilmkan berbeda jauh seperti di buku karya saya, enggak apa. Asal saya diberitahu lebih dulu dan ada konsultasi,” beber Asma Nadia yang juga menulis cerpen dan sinopsis film (sekitar 6-8  halaman) yang difilmkan.

Terakhir, paparan Jujur Prananto, penulis skenario tak kalah asyik. “Beberaps novel sudah bernuansa filmis. Suasana dan strukturnya oke banget. Jadi saya enggak sulit memindahkannya ke skenario,” kata Jujur yang menulis skenario ‘Ada Apa dengan Cinta’ di tahun 2002. 

Jujur Prananto (FFWI)

Diungkapkannya, novel selalu ada ruang untuk cerita tokohnya secara detil. Sebaliknya, media film sangat terbatas. “Tapi keduanya sama-sama menarik dan mengasyikkan,” pungkas Hanung yang juga menulis cerpen di beberapa media cetak.

Dimoderatori pengarang Noorca Marendra Massardi, acara yang dihelat  oleh Panitia FFWI dan Direktorat Perfilman, Musik dan Media (PMM) Kemdikbud Ristek ini sungguh bermakna dan berkontemplasi. Tak kurang sekitar 55 wartawan budaya dan film ikut bergabung secara virtual. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *