Entertainment
“Susi Susanti: Love All’, Flop Total
Jayakarta News – Hingga hari ke-7 penayangan, film ‘Susi Susanti: Love All’ hanya menggaet 100.000 penonton. Penulis yang nonton pada hari ke 7 di CGV Slipi Jaya, cuma ditonton 9 orang. Flop total. Padahal, film biopic tentang atlet bulutangkis Susi Susanti karya Sim F ini tidak jelek. Ceritanya bagus dan promosi juga kencang.
Anak muda milenial lebih suka nonton genre horor. Lalu, apa? Jujur, film Susi dibuat seperti seadanya saja. Film biopic memang selalu mengundang pro dan kontra. Problem primordial dan politik identitas terhadap keturunan Cina saat Orde Baru yang disuguhkan di film ini sangat kental dan subtil serta banyak fakta mulai melenceng.
Misalnya MF Siregar yang duduk bersebelahan dengan Try Soetrisno (Ketum PBSI kala itu) di Olympiade Barcelona pada 1992 menyaksikan Susi bertanding melawan Bang Soo Hyung dari Korsel. Jelas adegan film ini salah. Kala itu, MF Siregar sehabis operasi jantung sedang istirahat di rumahnya di Cipayung.
Momen klimaks Susi yang meneteskan air mata ketika menang dan menyabet medali emas disetip. Lagu Indonesia Raya seusai kemenangan Susi di final, dipotong di tengah film. Ini jelas pemasungan sejarah olahraga dan harus ada pertanggungjawaban Daniel Mananta dan Reza Hidayat selaku produser.
Dari awal, penonton digiring ke masalah diskriminasi ras yang dialami Susi. Perjuangan sepak terjang dan rasa nasionalisme seorang Susi Susanti hampir dinomorduakan. Laura Basuki bermain apik dan mampu melakukan gerakan split. Namun, kelihaian Susi tidak diimbangi seni peran pemain lain, seperti Dion Wiyoko (Alan Budikusuma), Kelly Tandiono (Sarwendah Kusumawardhani), Jenny Zhang (Liang Chiu Sia) dan Chew Kin Fah (aktor Malaysia, sebagai Tong Sin Fu).
Di sisi lain, akibat sentimen anti Cina sebagai buntut G30S di tahun 1966, banyak atlet peranakan Cina kena imbasnya. Memang, Susi sangat vokal dan bicara di media ihwal dirinya yang masih state-less, namun puluhan atlet bulutangkis lain juga mengalami perlakuan sama : tak bisa mendapatkan SBKRI. Bahkan, KTP pun dibubuhi tanda-tanda khusus dan pasport lama tak keluar.
Catatan kecil, Ivana Lie (Ing Hoa) saat bertanding ikut Uber Cup di luar negeri, menggunakan paspor aspal berkat turun tangannya Menpora Abdul Gafur kala itu. Menyedihkan. Juga, teman-teman Susi di Pelatnas yang lain seperti Alan Budikusuma, Ardy B Wiranata, Sarwendah Kusumawardhani dll.
Bahkan, 2 pelatih PBSI yaitu Liang Chiu Sia dan Tong Sin Fu yang warga negara RRT dan eksil 1965 tak kunjung memperoleh SBKRI, sebagaimana dijanjikan Ketum PBSI, Try Soetrisno. Hingga keduanya pulang kembali ke Tiongkok. Padahal, banyak atlet peranakan Cina berkontribusi dan mempersembahkan medali emas untuk prestasi Indonesia dalam bidang olahraga bulutangkis.
Konflik ras dan ruwetnya persoalan etnis disela-sela pertandingan bulutangkis ini lihai digoreng sutradara Sim F. Namun, di sisi lain, cerita film ini banyak menyuguhkan fakta yang menyimpang. Sampai akhirnya film ini diakhiri dengan tragedi 1998 dengan lengsernya Soeharto dan maraknya kembali sentimen anti Cina. Rumah orangtua Susi di Tasikmalaya dibakar massa yang beringas yang anti mata sipit. Susi Susanti yang telah menikah dengan Alan Budikusuma di Jakarta hanya bisa pasrah dan menangis.
Mencari suaka? “Saya orang Indonesia. Walau saya mengundurkan diri dari dunia olahraga dan belum mendapat SBKRI, dari lahir sampai mati, saya tetap Indonesia,” papar Susi tenang dalam jumpa pers pengunduran dirinya dari olahraga. Adegan yang cukup menampar kita sebagai penonton. Bangga, marah atau kecewa? (pik)