Connect with us

Profil

Remy Sylado: Buat Apa Bakat kalau tak Punya Otak ?

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Apakah bakat masih diperlukan di masa kini ? Lantas, apa manfaatnya bakat kalau orang tak punya intelektualisme ?

Budayawan, pemain drama/film dan perupa, kritikus musik, dosen dan wartawan senior Remy Sylado (74 tahun) mempertentangkan kedua hal tersebut.

“Jika mau sekedar bakat, toh pelukis pinggiran Jalan Braga (Bandung) tak perlu diragukan bakatnya dibanding pelukis ITB. Tapi buat apa bakat kalau tak punya otak ? Dan buat apa otak kalau hanya menjadi tong sampah filsafat luar-luar ? Miliki soliloquy (percakapan dengan diri sendiri) dan jadilah mandiri, itu yang penting,” komentar Remy Sylado dalam artikel bertajuk ‘23761 (baca : Remy Sylado) dan Intelektualisme’ oleh Seno Gumira Ajidarma, Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dalam buku pengantar ‘Pameran Maestro Remy Sylado’ di Balai Budaya, Jakarta , 11-19 Juli 2019.

Memang, Remy Sylado alias Japi Tambayong kini sudah tua. Tak seperti dulu kala, ketika Remy semasa muda merajalela di Bandung, di era maraknya majalah Aktuil (tahun 70an). Ia mendirikan Dapur 23761 dan menjadi dosen di IKIP Bandung. Remy kemudian menggegerkan jagad susastra Indonesia ketika memproklamirkan dan mendirikan Puisi Mbeling di majalah Aktuil.

“Siapa saja bisa menjadi penyair kiwari. Puisi kini bukan lagi milik penyair menara gading. Puisi cukup ditulis disecarik kertas bungkus rokok dengan balpoin dan kirimkan ke saya, Redaktur Puisi Mbeling Majalah Aktuil. Kalau memenuhi syarat, pasti dimuat,” teriak Remy kala itu.

Dan siapakah saja konco-konco pertama Remy yang menulis puisi mbeling di Aktuil ? Ada Abdul Hadi WM (penyair, budayawan), Jeihan (perupa) dan Sutardji Calzoum Bachri (penyair, ‘Presiden’ Penyair Indonesia). Semua seniman-seniman hebat sahabat Remy. Lalu kemudian masuk penyair-penyair muda dari seluruh Indonesia.

Tak berapa lama kemudian, Remy menggegerkan lagi dunia kesenian. Ia menulis cerita bersambung berjudul ‘Orexas’ (Organisasi Sex Bebas) di majalah Aktuil yang kemudian dipentaskan. Akibat pentas ini, Remy sempat diinterogasi aparat keamanan di Bandung.

Namun, kreatifitas Remy tak berhenti sampai di situ. Bersama siswi-siswi cantik St Angela Bandung, Remy yang kala itu berambut panjang sebahu tampil dengan gitar akustik dalam Pesta Folk Song se Jawa di Gedung Asia Afrika, Bandung yang diadakan oleh majalah Aktuil. Kala itu, tampil beberapa grup lagu rakyat (folk song) dari Jakarta (Prambors), Semarang (grup pimpinan Daniel Alexey), Jogjakarta (grup Teater Alam pimpinan Azwar AN), Surabaya (Vraliyoka dan Lemon Trees) dan Bandung (Grup Pencinta Lagu Unpad dan Remy Sylado Company).

Tak hanya di kesenian Remy berulah. Ia tiba-tiba hengkang ke majalah musik TOP pimpinan Zaenal Abdy, penulis novel ‘Bernafas Dalam Lumpur’. Majalah TOP di Jakarta ini pesaing majalah musik Aktuil, otomatis menyebabkan CEO Aktuil menjadi gerah. Wartawan sekaligus pemusik ini merekam kaset perdananya yang menggaet biduanita Betty Juhara dan beberapa pemusik muda berambut gondrong yang tergabung dalam Remy Sylado Company. Corak atau genre musik yang dimainkan Remy Sylado Company disebutnya ‘gulayak cadas’ (lagu khalayak rock). Kritik, satire yang dibumbui lirik mbeling nan kocak yang berjumlah 10 lagu ini direkam tanpa halangan apapun. Namun, tatkala diedarkan dan dijual, bermasalah. Penjualan kasetnya dihambat. Bahkan, beberapa radio amatir (kini radio swasta) di Jogjakarta ketika penulis memberikan gratis pun (penulis menerimanya dari Robani Bawie, sohib Remy Sylado), tak mau menyiarkan. Takut dibredel, alasan beberapa radio amatir.

Di usianya kini, 74 tahun (11 Juli 2019), Remy menggelar Pameran 33 lukisan cat minyak, 31 buku novel dan kumpulan puisi serta 6 kaset di Balai Budaya, Jakarta. Ternyata, usia tua tak menyebabkan ia berhenti berkarya. Remy tetap dan terus berkreatifitas dan berkarya. Kini, Remy fokus ke dunia susastra. ‘Namaku Mata Hari’ adalah novel terbaru yang diterbitkan oleh Gramedia/Kompas dan mendapat penghargaan Sastra tahun 2015 dari Kemendikbud. “Kerudung Merah Kirmizi’ yang dimuat sebagai cerbung dan diterbitkan sebagai novel oleh Republika menggaet penghargaan dari Pusat Bahasa (Sastra Terbaik) tahun 2006. Entah berapa puluh penghargaan yang diterima Remy, baik sebagai sastrawan/budayawan, pemusik, maupun tokoh pers. Dari MURI, Gubernur Jawa Barat, SEA Write Award dari Kerajaan Thailand , Khatulistiwa Literary Award, Tirto Adhi Soerjo Award, Masyarakat Budaya Minahasa, Satya Lencana Kebudayaan dan terakhir yang paling bergengsi dari Presiden RI, Joko Widodo (2018) untuk kepeloporan bidang media, Tokoh Penulisan Kritik dan Puisi di Media berkaitan dengan HPN 2018.

Beberapa novel karya Remy pun banyak yang difilmkan, antara lain ‘Duo Kribo’, ‘Ca Bau Kan’ dll. Remy pun berkali-kali masuk nominasi di FFI.

Lukisannya bercorak naturalis. Lukisan tentang ‘Bunga Bangsa (1) dan ‘Bunga Bangsa (2)’ tentang Soekarno dan Soeharto,mengenakan jas bercorak kembang-kembang dan dasi sama, kopiah sama. Kenapa enggak ada lukisan tentang Presiden Jokowi ?

“Saya belum bertemu orangnya langsung. Nanti sekitar Agustus, kelompok perupa dari Solo (Remy pernah studi di HSBI Solo) berencana bertemu pak Jokowi, termasuk saya. Baru nanti saya lukis,” jawab Remy. “Saya melukis atas apa yang saya rasa dengan hati sebagai keindahan, dan enggak hirau atas apa yang Anda pikirkan dengan akal tentang kesenian,” imbuh Remy.

Ihwal sebutan Maestro untuk Remy Sylado, Ketua Balai Budaya Jakarta, Syahnagra Ismail mengakui bahwa betapa banyak bidang seni yang digeluti oleh Remy. Makanya, wajar kalau Remy digelari sebagai Maestro dalam bidang kesenian di Indonesia. “Kami yakin bahwa peristiwa kesenian dan kebudayaan akan menjadi peristiwa yang menarik dalam membangun bangsa dan menciptakan perdamaian,” papar Syahnagra Ismail yang semasa di Jogjakarta aktif di Teater Alam.

Mendikbud Prof. Dr. Muhadjir Effendi sependapat. “Dalam konteks ini, sebutan Maestro untuk Remy Sylado tidaklah berlebihan. Dia sangat pantas menyandang predikat Maestro,”. Sebenarnya Mendikbud Muhadjir Effendi akan membuka pameran Remy Sylado di Balai Budaya, tetapi batal, karena malam itu, Mendikbud ada tugas mendadak ke Selandia Baru. Keterlibatan Muhadjir Effendi di pameran Remy Sylado adalah berkat ‘turun’ nya Wina Armada Sukardi (Dewan Pers). Kemudian pameran dibuka oleh Arie Budiman (Kepala Dinas Kebudayaan Kemdikbud) yang semasa remaja/mahasiswa, adalah fan berat karya-karya Remy Sylado.

Lain lagi pendapat Jaya Suprana (musikus, kelirumolog, pemilik Jamu Jago). “Mahasastrawam Remy Sylado ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Selain menguasai banyak bahasa (termasuk bahasa Latin, Arab dan Ibrani), penulisan novelnya didukung riset yang radikal intensif dan komprehensif,” ungkap Jaya Suprana.

Dan bagaimana pendapat Kiai Gus Mus (Mustofa Bisri) yang hadir dan membacakan puisi karya Remy Sylado ? . “Remy Sylado adalah makhluk langka. yang mungkin stoknya sudah habis,” celetuk Gus Mus.

Namun, orangnya sendiri tak hirau dengan seabreg sebutan tersebut. “Yang jelas, saya tetap wartawan.,”.

Beberapa hari yang lalu, Anda masuk Rumah Sakit, kok sekarang sehat walafiat ?

“Saya dari dulu tetap sehat. Cuma rambut saya yang putih (termasuk Golongan Putih), dan enggak dicat. Kalau sakit ya beberapa kali sih…tapi kalau sakit-sakitan, sih enggaklah…,” tandas Remy Sylado diplomatis.

Tetap sehat terus bung Remy Sylado ! (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *