Connect with us

Feature

Musik Baru

Published

on

Oleh Joko Intarto

BANYAK hal baru yang saya dapatkan di Mangga Dua Square, Sabtu sore. Salah satunya: Munculnya genre musik baru.

Mengapa pusat perdagangan Mangga Dua Square alias Mangdu Square begitu sepinya? Kali terakhir saya berkunjung ke mal ini awal tahun lalu. Suasananya masih ramai. Hampir semua toko buka. Pengunjungnya ramai. Sampai mencari saya kesulitan memarkir mobil.

Sabtu sore saya kembali mampir ke Mangdu. Ternyata sepinya bukan main. Mungkin hanya 10 persen toko yang buka. Selebihnya tutup.

Mungkinkah karena terimbas Covid-19? Atau karena bertepatan dengan masa cuti bersama?

Saya pikir suasana sepi hanya terjadi di blok pusat penjualan busana muslim. Ternyata tidak. Suasana di blok penjualan alat elektronika dan komputer pun begitu juga.

Tidak ada lagi toko yang menyetel musik. Termasuk panitia bazaar di lantai dasar.

Yang terdengar ramai justru genre musik baru. Bunyi lembaran isolasi dilepas dari gulungannya.

Sreeek…. Sreeek….

Dari sebelah kanan dan kiri saya.

Sreek…. Sreek…

Dari arah depan dan belakang saya.

Itulah suara ‘musik’ baru di Mangdu Square. Musik yang dimainkan para penjaga toko yang sedang mengemas aneka barang ke dalam dus yang dibungkus plastik hitam.

Saya tidak melihat ada pembeli di toko-toko yang berisik itu. Tetapi para penjaga terus saja sibuk membungkus. Walau paket siap kirim sudah bertumpuk-tumpuk.

Ada puluhan paket di setiap toko yang buka. Mungkin ada ribuan paket kalau seluruh paket itu disatukan.

Dari model bahan pembungkusnya, saya bisa menebak: Penjualan itu berasal dari marketplace dan online shop.

Order masuk secara online. Pelayanan dilakukan secara offline. Mulai pengepakan, pelabelan hingga pengirimannya. Semua dilakukan di toko-toko yang berfungsi ganda: show room dan gudang stok.

Dua jam saya mengamati kegiatan di toko-toko itu. Sebentar-sebentar datang driver ojol mengambil paket. Driver satu berlalu, datang lagi driver yang baru. Kian sore kian banyak. Driver ojol ini mengambil barang pesanan pembeli yang butuh cepat. Ongkos kirimnya lebih mahal.

Menjelang magrib, datang petugas dengan keranjang besar yang mengangkut semua paket tersisa. Rupanya pasukan sapu jagat itu berasal dari beberapa perusahaan jasa ekspedisi dan city courier yang membuka konter pelayanan di mal itu. Di lantai yang sama.

Konter-konter itu hadir untuk melayani para pembeli yang tidak terburu-buru mendapatkan barang. Ongkos kirimnya lebih murah. Bahkan sering gratis, kalau operator marketplace sedang ‘bakar uang’.

Saya lihat di konter JNE begitu sibuknya. Begitu pun konter J&T dan Si Cepat. Tapi saya tidak melihat konter PT Pos Indonesia ada di sana. Konter BUMN yang sudah hadir sejak zaman Belanda itu, entah di mana.

Tiba-tiba saya teringat pada Pak Syahrul Rusli, CEO PT Pesonna Optima Jasa. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *