Connect with us

Feature

Mereguk Malioboro, Menanti Purnama

Published

on

Malioboro basah di dinihari

Hilang pikuk, lengang melenggang

Aku duduk menepi

Menanti purnama datang

SEPENGGAL jalan di jantung kota Yogyakarta ini, betapa pun kondisinya, tetap sarat muatan magis. Berabad-abad lamanya, jalan ini menjadi jalur spiritual, penghubung alam ghaib pantai selatan (Parangtritis) dan keagungan Gunung Merapi di utara. Ada tugu pal putih dan keraton kasultanan Ngaujokarto Hadiningrat di antara kedua sumbu tadi.

Masyarakat Yogya, umumnya percaya, garis sakral itu adalah penyeimbang sekaligus denyut nadi. Sebagai ilustrasi, dalam sejarah berkali-kali gunung Merapi,meletus, tidak pernah sekalipun menyemburkan abu vulkanik ke arah selatan. Merapi seolah tak mau mengotori jalur Malioboro hingga keraton. Kisah-kisah ajaib itu melegenda hingga hari ini.

Syahdan, Jalan Malioboro berbenah. Bulan April 2016, Walikota Haryadi Suyuti meresmikan revitalisasi Malioboro, yang selesai akhir 2016. Sisi timur jalan, kini steril dari parkir. Pedestrian menjadi lebar, dengan penataan street furniture yang apik. Sejak itu pula, foto-foto pedestrian Malioboro yang legendaris itu pun viral. Ia nampang dengan anggunnya di berbagai media sosial, dengan –tentu saja—figur wisatawan berselfie.

Sayang, masih banyak wisatawan yang tidak maksimal mereguk indahnya Malioboro dengan wajahnya yang baru. Percayalah, Malioboro kini, jauh lebih cantik kalau dinikmati dinihari menjelang pagi. Pergilah ke sana di atas pukul 01.00. Anda akan mendapati Malioboro yang tenang, dan trotoar yang kesepian.

Nikmatilah suasana Malioboro dalam keheningan. Siapa pun diri Anda, jaminannya adalah, akan jadi sastrawan seketika. Jiwa itu akan luruh bersama aura spiritual yang bekerja di larutnya malam. Duduk dan tengadahkan wajah ke langit. Nantikan purnama datang. Dan Yogya pun akan menjadi kekasih yang selalu dirindu. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *