Connect with us

Kabar

Korupsi dan Cuci Uang Lewat Sepakbola

Published

on

OPERASI Tangkap Tangan (OTT) pejabat negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hal baru. Tapi, yang menarik perhatian Save Our Soccer #SOS adalah ketika Walikota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, diciduk Komisi Anti Rasuah, Sabtu, 23 September 2017.

Maklum, Iman Ariyadi merupakan Ketua Umum Cilegon United, kontestan Liga 2 Kompetisi Sepak Bola Indonesia yang saat ini sedang beraksi di Babak 16 Besar. Iman ditangkap bersama 10 orang lainnya. Empat di antaranya pengurus Cilegon United, yakni Yudhi Apriyanto (Chief Executive Officer Cilegon United) dan bendahara Wahyu Ida Utama. Termasuk mengamankan R yang merupakan staf Yudhi dan AS, staf Wahyu. KPK mengamankan uang sejumlah Rp 1,152 miliar sebagai barang bukti.

Yudhi ditangkap di Bank BJB sore hari sesaat setelah menarik uang Rp 800 juta. Selanjutnya, KPK meluncur ke kantor Cilegon United, dan mendapati uang Rp 352 juta. Uang itu ditransfer dari PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT KIEC) yang merupakan bagian dari pemulusan izin Analisa Dampak Lingkungan (Amdal). Ada juga dana dari PT Brantas Abipraya (PT BA), berupa Coorporate Social Responsibility (CSR). Dana tersebut ditransfer dua kali ke rekening Cilegon United Football Club (CUFC). Pertama, Rp 700 juta dikirimkan PT KIEC pada 19 September 2017. Kedua dikirim oleh PT BA Rp 800 juta pada 22 September 2017. KPK menyebut ini sebagai modus baru korupsi dengan menggunakan melibatkan klub sepak bola.

Akmal Marhali

Sejatinya, menurut Save Our Soccer #SOS ini bukan modus baru. Tapi, modus lama yang dimodifikasi. Sebelum APBD dilarang digunakan untuk klub sepak bola profesional melalui Permendagri  No. 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012, banyak pejabat daerah yang menggunakan klub sepak bola untuk tujuan korupsi dan politik. “Dari kasus Tubagus Iman Ariyadi, KPK harus segera masuk ke klub-klub sepak bola profesional yang berkompetisi di Liga 1 dan Liga 2. Banyak pejabat publik yang terlibat sebagai pengelola,” kata Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer (SOS). “Ada potensi korupsi, pencucian uang, atau menggunakan sepak bola sebagai kendaraan politik pejabat publik. Ini harus mendapatkan perhatian serius KPK dan juga Pemerintah,” Akmal menegaskan.

Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) #SOS, setidaknya ada hampir 50 klub profesional (lihat data lampiran SOS: Daftar Pejabat Negara Pengelola Klub Profesional Sepak Bola Indonesia) yang dikelola oleh pejabat negara. Mulai dari Kepala Daerah, Anggota DPR/DPRD, tentara, polisi, dan pejabat BPK. Padahal, sesuai aturan Perseroan Terbatas (Entity Commercial) dilarang melibatkan pejabat negara. “Dulu sebelum ada Permendagri No 22/2011, klub jadi sarana pejabata daerah menggerogoti dana APBD untuk kepentingan pencitraan dan politik. Kini, modusnya bisa melalui CSR, tekanan politik, atau pencucian uang karena celah menggunakan APBD sudah ditutup,” Akmal mengungkapkan.

Permendagri No. 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012  dalam lampiran Bab V No. 23 menyebutkan telah menyebutkan bahwa: “Pendanaan untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD karena menjadi tanggungjawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 29 (2) Undang-Undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 3 Tahun 2005, didefiniskan  bahwa cabang olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran olahraga.” Permendagri Nomor 37 Nomor 2012 ikut menguatkan tentang pedoman penyusunan APBD 2013, secara tegas menyebut larangan APBD untuk olah raga profesional.

Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya ada sejumlah pejabat daerah yang ditangkap KPK punya keterikatan dengan klub sepak bola. Sebut misalnya, Eddy Rumpoko, Walikota Batu yang merupakan Pembina Persikoba. Achmad Syafi’i Yasiin, Bupati Pamekasan yang juga Ketua Umum Persepam Madura United. Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang punya keterikatan dengan PS Bengkulu.  Sebelumnya juga terindikasi korupsi seperti Fuad Amin (Bupati Bangkalan/Perseba Super Bangkalan), Bambang Irianto (Walikota Madiun/Madiun Putra), Thomas Ondy (Bupati Biak Numfor/PSBS Biak), bahkan Herry Noegroho, mantan Bupati Blitar menjadi tersangka kasus penyelewengan dana Konida.

“PSSI sebagai organisasi sepak bola Indonesia juga harus memberikan contoh. Transparansi keuangan baik PSSI maupun klub profesional. Juga harus pisahkan antara jabatan negara dan jabatan di klub sepak bola. Ini untuk menjaga marwah sepak bola Indonesia agar #bersih #profesional dan #bermartabat,” kata Apung Widadi, Pendiri sekaligus Presiden Save Our Soccer #SOS. “Semua kegiatan sepak bola profesional baik kompetisi maupun turnamen yang terindikasi menggunakan uang negara harus diaudit secara tuntas. KPK harus masuk segera karena sepak bola profesional rawan korupsi dan dalam kondisi siaga 1”.

“Kalau mau sepak bola berprestasi, syarat nonteknisnya adalah bersihkan korupsi dan pisahkan pengelolaan klub dari segala macam pejabat negara sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan,” Apung menegaskan. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *