Connect with us

Kabar

Komunikasi Politik Pencapresan Gaya Jokowi dan Ma’ruf

Published

on

Oleh Achmad Fachrudin

JAYAKARTA NEWS— Pada Oktober 2022, sekurangnya terdapat dua narasi penting terkait pencapresan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma’ruf Amin. Keduanya melakukan komunikasi politik dengan menggunakan kata, istilah, leksikal atau idiom yang kemudian sempat menjadi viral dan trending topics di sejumlah media cetak, online atau media sosial. Narasi Jokowi tersebut awalnya dilontarkan pada Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-58 Partai Golkar di Jakarta, 21 Oktober 2022. Sedangkan pernyataan Ma’ruf disampikan pada  acara Hari Santri Nasional 2022 yang disiarkan di kanal YouTube Wakil Presiden RI, Jumat (28/10/2022).

Narasi Jokowi dimaksud selengkapnya: “Saya yakin Golkar akan dengan cermat, akan dengan teliti, akan dengan hati-hati, tidak sembrono dalam mendeklarasikan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024”. Sedangkan Ma’ruf mengingatkan, masyarakat agar jangan sampai saling bermusuhan meskipun berbeda-beda pilihan partai politik serta Capres dan Cawapres.  “Kalau berbeda Capres, lakum Capresukum, walana Capresuna (untukmu Capresmu, untukku Capresku),” canda Wapres.

Leksikal atau narasi dua petinggi negara ini bisa dimaknai atau dipahami secara multitafsir. Tergantung dari sudut pandang, dan bahkan kepentingan masing-masing. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk membantu kita dalam memahami pernyataan presiden dan Wapres tersebut adalah perspektif komunikasi.  Dalam khasanah komunikasi, terdapat sejumlah kata atau istilah seperti teks, wacana, konteks dan sebagainya yang mempunyai makna atau pengertian berbeda-beda. Sekalipun ada juga yang maknanya mirip.

Teks dan Wacana

Lalu apa arti atau definisi dari teks, wacana ataupun konteks. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan teks sebagai berikut: 1. Naskah yang berupa: a. Kata-kata asli dari pengarang; b. Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan; c. Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya. 2. Wacana tertulis.

Sementara menurut kamus Merriam-Webster, teks berarti antara lain: 1a (1): the original words and form of a written or printed work, (2): an edited or emended copy of an original work, b: a work containing such text;  2a: the main body of printed or written matter on a page, b: the principal part of a book exclusive of front and back matter, c: the printed score of a musical composition; 3a (1): a verse or passage of Scripture chosen especially for the subject of a sermon or for authoritative support (as for a doctrine), (2): a passage from an authoritative source providing an introduction or basis (as for a speech), b: a source of information or authority. (https://www.merriam-webster.com/dictionary/text).

Ahli komunikasi lain bernama De Beaugrande dan Dressler berpendapat, teks adalah sebuah peristiwa komunikatif yang harus memenuhi beberapa syarat, yakni tujuh kriteria teks yang akan dikaji pada pembahasan selanjutnya. Sedangkan Alex Sobur mengartikan teks sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu atau kode-kode tertentu. Adapun Recoeur mendefinisikan, teks sebagai wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan.

Teks bermacam-macam jenis. Di antaranya: a.  Diskursif teks, yakni: mengaitkan fakta secara bernalar; b. Ekspresif teks yakni: mengungkapkan perasaan dan pertimbangan dalam diri pengarang; c. Evaluatif teks, yakni: untuk mempengaruhi pendapat dan perasaan pembaca; d. Informatif teks yakni: yang hanya menyajikan berita faktual tanpa komentar; e. Naratif teks yakni: yang tidak bersifat dialog, dan isinya merupakan suatu kisah sejarah, deretan peristiwa, dan sebagainya; f. Persuasif teks yakni: yang fungsi utamanya mempengaruhi pendapat, perasaan, dan perbuatan pembaca.

Konteks dan Makna

Sementara istilah konteks (context) menurut KBBI berarti: 1. Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; dan 2. Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Istilah lain yang maknanya mirip dengan konteks menurut Deddy Mulyana adalah tingkat (level), bentuk (type), situasi (situation), keadaan (setting), jenis (kind), cara (mode) dan pertemuan (encounter).

Pakar komunikasiRichard West dan Lynn H. Turner dalam buku “Introducing Communication Theory: Analysis and Application” (2007) berpendapat, dalam komunikasi, konteks diartikan sebagai lingkungan tempat terjadinya proses komunikasi. Konteks komunikasi tidak hanya mempermudah manusia dalam mempelajari proses komunikasi, namun juga menjadi latar belakang bagi para peneliti serta teoretikus untuk menganalisis sebuah fenomena.

Adapun konteks komunikasi, menurut Verderber (2007) terdiri dari   konteks fisik, konteks sosial, konteks historis, konteks psikologis  dan  konteks kultural. Sebagian ahli komunikasi membagi dengan berbagai bentuk, yakni: komunikasi komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa, komunikasi organisasi, dan lain-lain.

Makna menjadi bagian penting dalam kajian komunikasi. Chaer misalnya  membagi makna ragam semantik menjadi 8 kelompok, yaitu:  (1) makna leksikal dan makna gramatikal, (2) makna referensial dan makna nonreferensial, (3) makna denotatif dan konotatif, (4) makna kata dan makna istilah, (5) makna konseptual dan makna asosiatif, (6) makna idiomatikal dan peribahasa, (7) makna kias, dan (8) makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Sejumlah ahli membagi makna dalam komunikasi secara sederhana menjadi dua macam, yakni: yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas, polos, dan apa adanya. Sedangkan, makna konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).

Kekerasan Verbalistik

Manakala perspektif komunikasi tersebut digunakan untuk menganalisis pernyataan Presiden dan Wapres tentang Capres dan Cawapres pada Pemilu Serentak 2024, dapat diperoleh sejumlah opini atau pandangan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Terutama penggunaan kata ‘sembrono’ sebagai teks dari Jokowi yang dialamatkan kepada Partai Golkar dalam memutuskan nama Capres.

Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sembrono berarti: 1.  Kurang hati-hati; gegabah: kerjakan baik-baik;  2. Kurang sopan; agak kurang pantas (perbuatannya); berjenaka (tapi kurang sopan); ceroboh; 3. Secara sembarangan saja.  Dari pengertian ini, sembrono dapat dimaknai sebagai sesuatu keadaan yang tidak ideal; keadaan yang tidak baik-baik saja; keadaan yang tidak diinginkan, dan sebagainya.

Secara makna leksikal, gramatikal, referensial,  denotatif, konseptual, idiomatial, lokusi, dan sebagainya, penggunaan istilah sembrono, bisa saja mengesankan akan kepolosan dari Jokowi dalam berkomunikasi.  Tetapi secara asosiatif, konotatif, kias, ilokusi, dan perlokusi dan sebagainya, ekspressi komunikasi politik Jokowi tersebut mengirim pesan adanya hambatan (noise) dan sekaligus  kegusaran Jokowi terhadap partai politik atau elit politik pengusungnya.

Apalagi secara kontekstual mengiringi pernyataan Jokowi dengan diksi sembrono saat HUT Golkar, diberitakan oleh banyak media bahwa terdapat sejumlah tokoh Golkar seperti Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung mendukung pencapresan Anies Baswedan yang sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdam.  Jika tidak ada indikasi kegusaran semacam itu, tentu Jokowi tidak perlu dan tidak akan menggunakan kata atau istilah sembrono untuk mengekspressikan narasi politiknya tentang Capres pada Pemilu Serentak 2024.

Sebaliknya, cukup dengan mendiksikan atau menarasikan: “Saya yakin Golkar akan dengan cermat, akan dengan teliti, akan dengan hati-hati, dalam mendeklarasikan Capres dan Cawapres 2024” (tanpa kata sembrono). Dalam kontek komunikasi politik atau politik komunikasi, penggunakan leksikal ‘sembrono’ bisa dikategorikan sebagai aktualisasi kekerasan verbalistik dan penggiringan opini kepada Golkar agar mencapreskan figur tertentu yang sesuai dengan keinginan, skenario dan kepentingan politik Jokowi. 

Saat melontarkan pernyataannnya di HUT Golkar, Presiden Jokowi tidak menyebut secara eksplisit nama Capres tertentu yang sesuai dengan kepentingan Jokowi. Tetapi bisa saja ditafsirkan bahwa sebenarnya Presiden sudah mengantongi nama Capres dan menginginkan (memaksa secara psiko komunikasi politik) agar Partai Golkar seirama dengan keinginan Jokowi. Siapa itu nama Capres yang diinginkan Jokowi, bisa jadi sudah ada dalam kantong Jokowi.

Jokowi pernah menyebut nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo sebagai Capres pada Pemilu 2024, pada Jum’at (12/8/2022). Meskipun dibarengi dengan kata-kata bersayap khas budaya politik Jawa dari Jokowi:  “Istilahnya, saya kira karena menyampaikan kepada saya, masa saya bilang jangan, ndak, kan enggak gitu mestinya, ya silakan”.

Politik Permusuhan

Berbeda dengan Jokowi yang ‘berani’ menggunakan istilah atau diksi sembrono yang bisa dikategorikan  sebagai kekerasan verbalistik dan sekaligus terindikasi adanya politik personal (political personalizaed). Wapres Ma’ruf Amin lebih memilih diksi yang bijaksana (wise), lembut (soft) dan tidak mengesankan kepentingan politik pribadi dan kelompok. Ma’ruf tidak menyebut nama Capres atau Cawapres, Melainkan lebih memilih mengingatkan agar masyarakat jangan sampai saling bermusuhan meskipun berbeda-beda pilihan partai politik serta Capres dan Cawapres jelang Pemilu 2024.

Begitupun pernyataan semacam itu saja tidak cukup, melainkan harus mampu memberikan literasi dan edukasi kepada masyarakat dan bangsa Indonesia akan problema dan tantangan di masa depan yang empirik disertai data-data yang konkrit dan valid. Kemudian dari problema dan tantangan  tersebut, Ma’ruf bisa merumuskan dan mengidealisasikan kira-kira sosok pemimpin Indonesia di masa depan seperti apa kriterianya?

Ma’ruf juga perlu mendorong agar Capres dan Cawapres dan para pendukungnya lebih massif lagi menjual ide, gagasan, konsep, narasi dan programnya yang visioner dan cerdas. Bukan menjual isu-isu bernuansa kepentingan personal dan cenderung mengedepankan politik pencitraan (political branding). Atau isu-isu yang dianggap seolah-olah krusial dan seksi, seperti isu politik identitas. Tetapi isu politik identitas tersebut kemudian ditafsirkan secara longgar, meluas dan malah cenderung dipolitisasi.

Padahal UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati Pasal 69 huruf b secara jelas mengatur larangan pada kampanye, yakni: menghina seseorang berdasar agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu lain.  Begitupun UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau ras masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Peran Ma’ruf dalam memberikan memberikan pencerahan yang sebenarnya mengenai politik identitas, sangat penting dan ditunggu oleh berbagai elemen dan komponen bangsa yang menginginkan Pemilu Serentak 2024 lebih kondusif, serta bangsa yang lebih aman dan damai.  Dengan kekiaian dan keulamannya, berbagai elemen masyarakat  dan bangsa mengharapkan dan membutuhkan kehadiran Ma’ruf menjadi bagian penting dari solusi  untuk memecahkan problem bangsa (a part of problem solver) saat ini yang demikian masih banyak dan kompleks. Bukan malah menjadi bagian dari pembuat masalah (not a part of trouble maker).Yang berpotensi mengakibatkan bangsa kian terpuruk.

***Penulis adalah Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Institut PTIQ Jakarta

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *