Connect with us

Feature

Ketupat, Ngaku Lepat, Laku Papat

Published

on

Penjual ketupat di lobby timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Foto: Roso Daras

JAMAK terdengar kalimat, “janur ingsenan boga, arane kupat”, yang artinya janur diisi makanan disebut ketupat. Jelang lebaran begini, tradisi makan ketupat dengan lauk opor ayam, menjadi santapan paling khas.

Untuk makan ketupat, ada cara sulit, ada cara mudah. Yang mau bersulit-sulit, tentu harus mencari daun kelapa yang masih kuning (janur) terlebih dahulu, sebelum mengayam dan menyulamnya menjadi ketupat. Jika di rumah tidak ada pohon kelapa, alternatifnya adalah membeli janur di pasar tradisional.

Bagi yang berpikir praktis, membeli ketupat jadi, adalah pilihan jitu. Tidak perlu ribet mengambil atau membeli janur lalu menganyam. Tinggal beli ketupat kosong, bawa pulang. Isi dengan beras dan rebus. Ketupat pun siap disantap. By the way, ada lagi yang berpikir lebih praktis: Membeli ketupat matang.

Perajin ketupat, selain menjual ketupat anyaman, juga menjual janur. Foto: Roso Daras

Apa pun pilihannya, lobby timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta menyediakannya. Tidak seperti biasa, hamparan lobby sejak kemarin hingga hari ini (14/6) dipenuhi para penjual ketupat. Ada yang menjual ketupat plus janur. Ada yang menjual ketupat kosong, dan ketupat matang. Tinggal pilih, mau beli janur, beli ketupat anyaman, atau ketupat matang.

Sepuluh ketupat kosong, diikat menjadi setandan, dibanderol lima ribu rupiah saja. Bagaimana kalau Anda membeli ketupat yang sudah matang? Tidak mahal, lima belas ribu untuk sepuluh buah ketupat dalam satu ikat. Berapa harga janur? Ada yang membayar lima ribu rupiah untuk seikat janur. Sejenak memperhatikan keadaan, transaksi janur ketupat kosong, dan ketupat matang begitu tinggi. Ada yang pakai tawar-menawar denga alot, ada yang datang, tanya harga, langsung bayar, bawa barang.

Alhasil, lebaran terasa lebih lengkap dengan hadirnya ketupat. Tidak peduli apakah masyarakat Arab mengenal ketupat atau tidak, yang pasti masyarakat di Pulau Jawa meyakini, tradisi ketupat yang diturunkan Sunan Kalijaga adalah tradisi luhur yang patut dilestarikan. Di sejumlah daerah bahkan ada yang membuat perayaan “Lebaran Ketupat”.

Ketupat adalah medium yang digunakan Sunan Kalijaga pada abad ke-14 untuk lebih mudah mengajarkan Islam. Sejak dahulu kala, janur adalah salah satu jenis “ubo rampe” atau perlengkapan ritual yang paling vital di tanah Jawa. Oleh Sunan Kalijaga, janur kemudian dijadikan perlambang cahaya (nur) Tuhan. Jadilah, janur seolah menjadi fardhu atau wajib dalam setiap ritual, lalu ke ritual Islam di Jawa.

Penjual ketupat di lobby timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ada yang menjual ketupat anyaman, ketupat matang, atau bahkan janur kuning. foto: Roso Daras

Referensi lama menyebut ketupat memiliki dua makna: “ngaku lepat” dan “laku papat”. Ngaku lepat, artinya mengaku salah. Tradisi bermaaf-maafan, sungkeman, pada hakikatnya adalah ungkapan permohonan maaf satu sama lain, agar di hari Idul Fitri, semua kesalahan antarmanusia tertuntaskan.

Adapun “laku papat” artinya empat tindakan: Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan. Lebaran dari kata “lebar” artinya usai. Lebaran sebagai penanda usainya ibadah puasa sebulan penuh. Luberan, dari kata “luber” atau tumpah. Maknanya adalah membayar zakat fitrah, memberi sedekah bagi kaum dhuafa.

Leburan dari kata “lebur” yang maknanya adalah meleburnya semua kesalahan antarmanusia di hari yang fitri. Terakhir, Laburan berasal dari kata “labur”. Sebuah cairan putih yang biasanya diambil dari batu kapur, dan digunakan sebagai pewarna dinding atau pagar. Warnah putih, melambangkan kesucian diri di hari Lebaran.

Jika begitu bagus filosofinya, mengapa kita tidak melestarikan? Mari, kita makan ketupat opor ayam. Jangan lupa, ayamnya ayam kampung, biar lebih nikmat. Tambahkan sambal goreng ati, kerupuk udang, dan sambal terasi sesuai selera. Selamat berlebaran. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *