Connect with us

Entertainment

Film ‘G30SPKI’, Riwayatnya Kini

Published

on

JAYAKARTA NEWS—-Setiap tanggal 30 September, dulu di TVRI selalu diputar film ‘Penumpasan Penghianatan G30SPKI’ yang berdurasi 271 menit (4, 5 jam). Itu dulu, era Orde Baru (Orba) dan Soeharto masih berkuasa.

Kala itu, film produksi Produksi Film Negara (PFN) dirilis pertama kali tahun 1984. Pasca lengsernya Soeharto 21 Mei 1998, film tersebut distop penayangannya di TVRI. Runtuhnya Orde Baru yang kemudian diikuti bangkitnya Orde Reformasi, memang tak ada larangan dan juga tak diwajibkan dari Menpen Yunus Yosfiah kala itu tentang larangan atau imbauan stop penayangan film tersebut. Tapi yang jelas, TNI AU meminta agar pemerintah Habibie melarang pemutaran film yang tak sesuai dengan fakta sejarah, termasuk sangat menyudutkan TNI AU.

Namun, ada perasaan tidak enak dan khawatir dari pihak TVRI kalau terus diputar. Bisa jadi TVRI bisa dituding sebagai antek Orba/Soeharto. Akan tetapi, tahun 2019 yang lalu, mendadak sontak stasiun televisi swasta SCTV menayangkan film ‘G30SPKI’ dan cukup diapresiasi oleh pemirsa. Tahun ini pun – tepatnya Minggu (27/9/2020 – pukul 12 siang, SCTV kembali memutar film tersebut. Dan respons cukup baik.

“Ratingnya tinggi. Dan diminati pemirsa. Makanya, kita pertahankan tahun ini,” alasan Direktur Program SCTV, David Suwarto yang menambahkan bahwa film karya sineas Arifin C Noer tersebut memang diminati penonton di SCTV, dan bukan karena alasan politik.

Sejak awal September 2020, ramai di media sosial dan kanal YouTube serta aplikasi lain ihwal kontroversi penayangan film ‘G30SPKI’. Yang jadi trending topic justru hebohnya berita bahwa dicopotnya Panglima TNI Gatot Nurmantyo dikaitkan dengan nobar film tersebut untuk prajurit-prajurit TNI AD di sebuah tempat.

Mencuat pula omongan Direktur Riset Setara Institute, Halili, bahwa fenomena penayangan kembali film ‘G30SPKI’ adalah bagian dari politisasi isu komunisme. Halili menuduh kehebohan film tersebut sebagai konsolidasi jaringan kelompok-kelompok politik kontra kekuatan nasionalisme sekuler.

Apakah kebangkitan PKI riil? “Tidak. Itu mainan sekelompok kecil politik yang bukan narasi yang kokoh untuk menciptakan musuh bersama,” tegas Halili. Ditambahkan, bangsa Indonesia enggak mau lagi diindoktrinasi dengan menonton film untuk mewaspadai komunisme. “Kita enggak mau lagi dicekoki film propaganda. Bangsa Indonesia yang semakin kritis hanya mau film yang masuk akal dan mendidik,” imbuh Halili.

Imbauan netral datang dari Menko Polhukam, Mahfud MD. “Mau nonton film ‘G30SPKI’ enggak harus bulan September. Kapan saja dan di bulan apa saja, bisa,” papar Mahfud MD yang mengaku baru nonton film tersebut setelah ribut-ribut di medsos.

Yang jelas, film ‘G30SPKI’ memang penuh kontroversial dan menimbulkan pro dan kontra. Dengan anggaran Rp 800 juta dari PFN (terbesar waktu itu) dan instruksi wajib tonton untuk anak-anak SD, SMP dan SMA, memecahkan rekor dengan 650.000 penonton. Diproduseri Gufran Dwipayana (Dirut PFN) dan dikenal dekat dengan Soeharto.

Kontroversi lain selama syuting film tersebut, tak boleh ditulis dan diliput oleh wartawan. Juru warta baru boleh mempublish setelah filmnya selesai dibikin dan ditayangkan terbatas di bioskop Megaria kala itu. Sutradaranya adalah Arifin C Noer berdasar skenario dari Arifin C Noer dan Prof Dr Nugroho Notosusanto, sejarawan yang merupakan anggota staf Soeharto.

Pemain-pemainnya termasuk bintang film dan teater andal, seperti Amoroso Katamsi (Soeharto), Prof Dr Umar Khayam (Bung Karno), Syu’bah Asa (Aidit, wartawan Tempo), Bram Adrianto (Letkol Untung), Didi Sadikin (Sarwo Eddy Wibowo), Adek Irawan (Yohana Nasution, isteri Jendral Nasution), Sofia WD dan seabreg figuran lain.

Kata salut memang patut dilayangkan ke Arifin C Noer, karena berhasil mengangkat kembali peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965. Bahkan, Arifin sangat teliti dan disiplin mencari pemeran film yang wajahnya persis atau mendekati tokoh-tokoh baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Hanya ada kekurangan kecil yang sangat mengganggu, Arifin abai terhadap riset dan data sejarah. Misalnya tokoh pimpinan PKI, DN Aidit divisualkan selalu merokok di film. Padahal yang sebenarnya, Aidit paling anti rokok. Selain itu, ada tarian masal Gerwani sembari melagukan Genjer Genjer, kenyataannya, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dari LIPI, faktanya tidak ada. Gerwani tak tahu ada pembunuhan 7 Jendral yang jenazahnya dimasukkan ke Lubang Buaya.

Yang fatal lagi atas kecerobohan film ini adalah tulisan Indonesianis Benedict Anderson di Jurnal Indonesia, April 1987 berjudul ‘How did the General dies’ bahwa di film ada adegan pemukulan, penyiletan wajah, penyundutan rokok, penusukan pisau belati, diinjak hingga penembakan berkali-kali itu kenyataannya tidak ada. Ini adegan sadis sekali dan tidak disensor. Begitu jenazah dibawa ke Lubang Buaya, langsung dicampakkan ke sumur. Terlebih lagi, tidak ada tarian massal dari Gerwani.

“Bahkan, pencongkelan mata dan pemotongan alat kelamin seperti ditulis di 2 koran pemerintah, juga enggak ada. Untung Arifin enggak memvisualkan adegan ini,” pendapat Benedict. Berdasar hasil otopsi, tidak ada penyiksaan yang berlebihan terhadap jenazah 7 Jendral. Memang, jenazah yang ditemukan sudah busuk dan tak utuh, karena sudah 5 hari dibuang ke sumur Lubang Buaya.

Alhasil, suka atau tak suka, akurat atau tak akurat, yang jelas ‘G30SPKI’ adalah film sejarah propaganda pesanan pemerintah rezim Orde Baru. Pesanan pemerintah? Yayang C Noer, isteri Arifin C Noer, membela pembuatan film ini. “Semua film adalah pesanan. Pesanan produser,” komentar singkat Yayang C Noer. Lalu, what next ? (pik).

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *