Connect with us

Feature

Tarian Memori di Hari Idul Fitri

Published

on

Rumah “Tabon” keluarga mbah Somo di Dukuh Bendosari, Wonogiri, Jawa Tengah (foto : nanang s.)

Jayakarta News – Rabu pagi sepulang sholat Idul Fitri, sebagian keluarga Mbah Somo berkumpul di rumahnya di Dukuh Bendosari, Wonogiri, Jawa Tengah. Mereka melakukan sungkeman, bersimpuh mencium tangan dan lutut kedua orang tua. Isak tangis tak bisa dibendung, tetesan air mata seakan telah melepas dan menghapus segala kesalahan dan dosa di antara mereka. Semua kesalahan anak kepada orang tua atau sebaliknya, maupun kesalahan kepada sesama manusia terlebur di hari yang fitri dan mengharap ridho Sang Illahi, Allah SWT.

Naufal dan Farhan, cucu mbah Somo yang belum sepenuhnya mengerti apa itu artinya dosa, ikut larut dan menangis dalam pelukan suci. Sesaat kemudian suasana rumah mbah Somo jadi hening dan haru. Setelah itu mereka merayakan hari kemenangan dengan menyantap makanan lebaran yang telah tersaji, sambil menunggu kedatangan tamu para tetangga sekitar dan kerabat lain yang hendak berlebaran.

Saling bersalam-salaman dengan saudara dan ketemu teman-teman masa kecil, menjadi obat rindu, banyak kenangan masa lalu seolah bangkit kembali tatkala bertemu mereka. Rumah akan selalu mengingatkan kita tentang masa kecil yang indah, yang akan selalu kita kangeni terutama suasana desa yang ramah dan guyub rukun.

Sebagian Keluarga mbah Somo saat akan berangkat melaksanakan shollat Idul Fitri di kampung halamannya. (foto : nanang s.)

Jadi teringat saat bermain gobak sodor dan petak umpet bersama teman-teman dulu. Belum lagi masakan yang sedap hasil olah tangan simbok, walaupun hanya dengan bumbu dapur seadanya, tapi menghasilkan cita rasa masakan yang selalu ngangeni. “Menu besengek adalah salah satu jenis makanan yang selalu kami cari,” ujar Mulyono, putra bontot mbah Somo.

Adalah Suroto (47 tahun), pria kelahiran Bendosari yang merantau dan tinggal di wilayah Cengkareng Jakarta Barat, lebaran tahun ini mudik sendirian karena anak-anak dan istrinya lebih memilih lebaran di Jakarta. Ia mudik bareng rombongan keluarga mbah Somo yang dari Bekasi karena rumahnya bersebelahan dengan rumah mbah Somo.

Dalam momen mudiknya, selama berada di kampung halaman, terutama di malam hari ia habiskan waktu untuk saling ngobrol dan bercerita masa kecilnya dulu bersama teman-teman. Di atas balai teras mbah Somo, ditemani secangkir kopi hitam kesukaannya dan cemilan ala kampung, ia betah ngobrol hingga larut malam.

Di rumah mbah Somo ini dulu setiap harinya termasuk yang paling ramai. Rumah tempat berkumpul anak-anak, karena halaman rumah yang luas. Biarpun dikenal galak, simbah dulu sangat sayang sama anak-anak kecil yang lagi bermain di rumahnya. Kalau simbah punya makanan sering dibagi-bagikan kepada anak-anak. Saya masih ingat dulu pinggiran halaman rumah ini dikelilingi tanaman palawija dan pohon melinjo, jadi anak-anak pada betah kalau main di sini.

Jika bulan purnama datang, anak-anak bisa bermain di halaman luar mbah Somo hingga larut malam. “Ingat waktu dulu ketika bermain petak umpet, saya suka kerjain teman-teman sampai ada yang menangis, saat giliran teman saya yang jaga, terkadang saya kerjai ngumpet pulang ke rumah dan tidur. Dicari ke mana-mana ya tidak ketemu, lha wong saya tidur di rumah,” ujarnya sambil tertawa.

Saat itu bila malam hari di kampung suasananya sangat gelap, belum ada penerangan listrik seperti sekarang ini. Jarak rumah satu dengan yang lain juga masih jarang, ditambah rerimbunan pohon bambu dan pohon jati berderet di sepanjang jalan kampung.

Makanan tradisional khas Wonogiri seperti besengek, tahu bacem dan urap adalah beberapa jenis makanan yang paling dicari para pemudik ketika sampai di kampung halamannya. (foto : nanang s.)

Ada satu pengalaman yang masih saya ingat, sewaktu mau pulang usai bermain dengan teman-teman, di tengah perjalanan saya pernah jumpa makhluk halus atau memedi, bentuknya putih tinggi besar, bila dilihat semakin lama semakin menjulang tinggi ke atas. Ya, seperti pocong. Di kampung saya, namanya hantu wedon.

Pernah juga tatkala melewati rerimbunan pohon bambu, tiba-tiba ada yang roboh persis di depan saya, lalu pohon tersebut berdiri kembali seperti semula. Tetapi hal-hal seperti itu bagi saya dan anak-anak di kampung sini sudah biasa.

Sedangkan bagi Ani (40 tahun) mengibaratkan mudik itu sebagai napak tilas, mengingat dan mengarungi jalan penderitaan. Ia mengenang saat-saat hidup susah dulu di kampung. Di sini dulu untuk makan aja sulit, terutama untuk makan nasi putih (nasi beras). Ia ingat, makanan sehari-hari ketika itu adalah nasi tiwul, nasi yang terbuat dari gaplek yang bahan bakunya dari singkong. Dulu simbok kalau masak nasi putih dan nasi tiwul pasti selalu dipisah. Jumlah nasi putihnya sedikit dan nasi tiwulnya lebih banyak. Jatah nasi putihnya setiap orang hanya sedikit, jadi kalau belum kenyang, nambahnya pakai nasi tiwul, kenangnya.

Ani bercerita, orang tuanya dulu kerja di sawah. Tiap hari simbok selalu menyuruhnya mengirim bekal makanan untuk bapak di sawah atau ladang. Dengan mengendong tenggok berisi makanan dan menenteng minuman di tangan, Ani berjalan kaki dari rumah ke sawah yang jaraknya puluhan kilometer. Ia mengaku, tak jarang ia menangis karena jarak yang jauh, ditambah malu jika jumpa kawan yang suka mengolok-olok. Mbah Somo manggut-manggut mendengar penuturan Ani, putrinya.

Waktu bergulir, zaman berubah. Lain dulu, lain sekarang. Kini daerahnya sudah banyak mengalami perubahan. Depan rumah yang dulu dipenuhi pohon gembili dan singkong, kini berpagar semen. Jalanan yang dulu berbatu, sekarang sudah halus. Kebutuhan air yang dulu harus diambil dari sumber yang jaraknya puluhan meter, sekarang sudah mengalir sampai rumah. Dulu bila keluar rumah pada malam hari harus pakai senter atau obor, sekarang sudah terang benderang teraliri listrik. Sepede ontel yang dahulu menjadi barang mewah, kini berganti motor dan mobil yang banyak terlihat parkir di depan rumah. Tak pelak, tiwul yang dulu sebagai makanan pokok, sekarang sudah jarang ditemui. Para petani sudah tidak mau lagi menanam singkong dan lebih memilih menanam pohon jati sebagai investasi yang lebih bernilai tinggi.

Farhan, salah satu cucu mbah Somo sedang memberi makan seekor sapi, menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak tatkala mudik ke kampung halaman, Hal ini jarang ditemukan bagi anak-anak yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. (foto : nanang s.)

Singkat kata, mudik tahun ini cukup mengobati kerinduan dan menghadirkan lagi ingatan-ingatan tentang asyiknya bermain di halaman rumah bersama teman-teman dulu, sekaligus memanggil kembali memori indah bersama keluarga. Melihat anak kecil bermain petasan, manyaksikan keponakan-keponakan lucu yang menagih lembaran uang kertas baru, memamerkan pakaian baru untuk lebaran, membuat kita seperti menatap adegan-adegan masa kecil diri sendiri.

Mudik membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk perindu sejati. Setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman mencari nafkah, mengadu nasib atau melanjutkan studi, di kota-kota besar, tidak akan pernah melupakan tanah kelahirannya. Mengunjungi orang tua atau sanak keluarga di kampung halaman menjadi saat yang tepat untuk membangkitkan kembali memori indah masa kecil, sekaligus menuntaskan rasa rindu setelah sekian lama bergumul dengan kepenatan jiwa dalam kehidupan kota yang melelahkan. (nanang s.)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *