Connect with us

Ekonomi & Bisnis

Starling ala Naning

Published

on

JIKA Anda warga Jakarta, pasti sering melihat penjual kopi keliling. Mereka disebut “Starling”, kependekan dari “Starbucks Keliling”. Ada yang memang menekuni bisnis itu sebagai tiang nafkah, ada pula yang menjadikannya sebagai penghasilan tambahan. Salah satunya, Naning.

Meski namanya Naning, tapi dia seorang pria. Sehari-hari, Naning berjualan kopi keliling di depan Pendopo Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. “Semua serba mahal sekarang, jadi yaaa… biar sajalah, kerja jadi ‘Starling’, yang penting halal,” ujarnya.

Pagi sampai siang, ia menjadi tenaga honorer dis ebuah perusahaan. Sore sampai malam, jualan kopi di TMII. Orang mungkin anggap sebelah mata profesi pedagang “Starling”. Padahal menurut Naning, justru dari jualan kopi perekonomian keluarga bisa dibilang stabil.

Hanya bermodal dua termos air panas, pop mie, aneka kopi instan dan beberapa bungkus rokok, setiap malamnya ia berhasil membawa pulang rata-rata Rp100-150 ribu. Jumlah itu, katanya, tidak termasuk malam minggu atau saat TMII menggelar even di malam hari. Hari ramai, ia bisa membawa pulang Rp 300 ribu – Rp 400 ribu. “Saya mulai jualan jam empat sore, sampai jam sebelas malam,” tambahnya.

Pada malam tahun baru, ia bisa membawa pulang duit Rp 1,5 juta. ”Sungguh saya nggak mengira, pengunjung yang datang menikmati malam tahun baru di sini sampai membludak. Tadinya saya hanya bawa barang sedikit, terpaksa berkali-kali belanja tambahan karena banyaknya pembeli,” tuturnya senang.

Beda dengan Maman. Meski melakoni profesi yang sama dengan Naning, tapi ia berjualan di tengah kota, tepatnya di sekitar perkantoran Kebon Sirih,

Hal yang sama juga diakui Pambudi, tukang kopi keliling yang biasa mangkal di lokasi wisata Museum Fatahillah, Jakarta Barat. Menurutnya, dari semua pekerjaan yang pernah dilakoninya di Jakarta, menjadi penjual kopi keliling adalah yang terbaik dari sisi penghasilan. “Modalnya tak banyak, juga tak secapai ketika menjadi kernet angkot. Cuma duduk sambil menunggu pembeli. Saya jualan hanya pada sore sampai malam hari. Karena kalau siang, PKL tidak boleh buka lapak sembarangan,” tuturnya.

Menurutnya, sejak kawasan kota tua direvitalisasi, pengunjung yang datang pada malam hari cukup banyak, bahkan kalau malam minggu pengunjung bisa membludak. Penghasilan di malam minggu bisa mencapai Rp400-500 ribu. “Lumayan banget,” tambah Pambudi yang pada siang hari bekerja serabutan di sekitar Pasar Asemka.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *