Connect with us

Kabar

Sruti Respati, Tampil di Penutupan SIPA 2020 Hari Ini

Published

on

Jayakarta News – Ada mula, ada akhir. SIPA 2020 memang berakhir hari ini, Sabtu (12/9/2020), tapi yakinlah, ini bukan event terakhir. SIPA 2021 akan hadir lagi tahun depan dengan mengedepankan harap: Pandemi Covid-19 sudah teratasi.

Di hari ketiga ini, Solo International Performing Arts (SIPA) menggandeng 20 penampil. Salah satunya adalah seniman keroncong cantik asal kota Solo: Sruti Respati.

Ia akan menggenapi sajian karya ke-20 seniman dalam negeri maupun mancanegara, sekaligus menandai penutupan SIPA 2020. Setelah mampu menghadirkan total lebih dari 50 ribu penonton pada hari-hari sebelumnya, virtual festival SIPA hari ketiga kembali digelar mulai pukul 17.00 – 22.00 WIB secara live streaming di Youtube Channel: SIPA FESTIVAL.

Diawali karya “Feeling The Present” oleh Cristina Duque, tampilan virtual festival hari Sabtu ini merepresentasikan kolaborasi Indonesia dengan mancanegara, salah satunya negara Ecuador. Tak kalah, berbagai penampil dalam negeri dari berbagai daerah juga turut membawa karya asli Indonesia untuk diperkenalkan melalui SIPA 2020. Para seniman tersebut adalah WaJiwa dari Bandung, Sanggar Pesona Rumpun Pesisir Bencoolen dari Bengkulu, Tri Anggoro dari Yogyakarta, dan lain sebagainya. Adapun delegasi dari Karanganyar, Enno Dance akan menyajikan karya berjudul “WOMB” secara langsung di studio.

Beberapa delegasi luar negeri juga ikut serta memeriahkan hari terakhir pelaksanaan SIPA tahun ini. Negara-negara seperti Malaysia, Cina, Taiwan, Korea, hingga Ecuador turut menyuguhkan sajian khasnya secara virtual.

Maskot SIPA 2010 sekaligus seniman keroncong asli Solo, Sruti Respati kembali menjejaki panggung SIPA sebagai penampil penutup. Sruti akan menampilkan karyanya secara live di studio. “Tahun 2020 ini saya kembali ke rumah saya, yaitu SIPA. Seperti halnya orang yang bekerja merantau, ketika kembali ke rumah tentu ada perasaan suka cita, perasaan bahagia,” ungkapnya. Sruti juga berharap, SIPA di masa depan dapat menjadi rumah dan ruang bagi seniman-seniman lain untuk menyalurkan ide kreatifnya dan menjadi alternatif suguhan dunia.

Dengan ditutupnya SIPA 2020, maka berakhir pula rangkaian acara dalam memeriahkan virtual festival ini, seperti lelang barang seni, pojok donasi, serta SIPA Mart 2020. Melalui tema “Recognition and Acceleration”, SIPA 2020 memberikan apresiasi kepada para seniman yang terus berupaya melestarikan seni di tengah percepatan dan kemajuan zaman. (*/rr)

Cristina Duque (Kolaborasi Ecuador-Indonesia), menampilkan “Feeling The Present”, sebuah tarian tentang kehidupan dan bagaimana mendapatkan cara lain untuk semangat dan merasa tenang. (ist)

Delegasi SIPA 2020, Sabtu – 12 September 2020

  1. Cristina Duque (Kolaborasi Ecuador-Indonesia), menampilkan “Feeling The Present”, sebuah tarian tentang kehidupan dan bagaimana mendapatkan cara lain untuk semangat dan merasa tenang.
  2. Ensambel Stone (Sragen), Menggambarkan “Sidhem Manekung” sebagai suatu aktivitas doa dalam keheningan atas rasa syukur dan harapan manusia terhadap Tuhan.
  3. WaJiwa (Bandung), Melalui karya “Ibu Anak Cigantiri”, menceritakan kampung yang hilang dan berubah menjadi kota.
  4. Ferry Alberto Lesar (Jakarta), Menampilkan karya berjudul “Tempat yang Tenang”, terinspirasi dari Matius 7:1-2.
  5. Anak Seni Asia X Supersede Entertainment (Malaysia), Menyajikan “Angin”, suatu karya musik dengan perpaduan suara biola dan selo yang berasal dari angin, memberikan energi padanya dan ruang melalui media virtual.
  6. Woro Mustiko Siwi (Semarang), Seniman yang menggeluti seni vokal hingga pedalangan.
  7. Tri Anggoro (Yogyakarta) Menampilkan karya tari berjudul “Japa”.
  8. Satwika (Surakarta), Melalui “Bumiku Telah Tersenyum”, menyampaikan perasaan pilu dan keluh kesah atas lumpuhnya peradaban manusia dengan adanya pandemi.
  9. Burki&Com (Czech Republic), Menampilkan karya berjudul “Pink Samurai, The Story of Ferocious Wind” dan “The Wild: The Vanity of Plumage”.
  10. Gao Ping (Republic of China), Menggubah “Ode to Lotus Blossoms” untuk suara wanita, xiao (seruling bambu vertikal Cina), dan qin (sitar meja Cina).
  11. Irfan Setiawan/Ali Dance Company (Bangka Belitung), Menampilkan karya berjudul “In Spirit, in Reality” yang terinspirasi dari sastra tutur kuno Melayu Bangka “Bedaek” yang memiliki banyak makna, wasiat, dan kritik.
  12. Park Na Hoon Company (Republic of Korea), Menyajikan “Scissor-tail Sergeant” untuk menyampaikan pesan sosial dari sebuah tari yang berdoa untuk hidup perdampingan, dari generasi muda hingga tua.
  13. Sanggar Pesona Rumpun Pesisir Bencoolen (Bengkulu), Menampilkan sebuah karya berjudul “Tabik Beredok”.
  14. Retno Sulistyorini/Enno Dance (Karanganyar), Menampilkan karya “WOMB”, suatu penghormatan kepada semua ibu terkhusus ibu pertiwi
  15. Lee-Yun Dance Group (Taiwan), Mempersembahkan karya “The Twelve Grannies’ Blessings”, diadopsi dari cerita Parade Dua Belas Nenek oleh seni tradisi Tainan, Taiwan.
  16. Jamaluddin Latif (Yogyakarta) Dengan karya “Babad Dermayu” yang menveritakan asal-usul berdirinya Daerah Indramayu.
  17. MOU Dance Company (Bandung), Mengeksplorasi estetika feminitas dan maskulinitas secara bersamaan melalui karya “W”.
  18. Sanggar Binsaloart Desa Sawah (Kuansing, Teluk Kuantan), Menampilkan karya teater berjudul “Surak Rang Kuantan”, terinspirasi dari kisah di Tepian Narosa sebagai tempat wisata budaya Pacu Jalur kebanggaan Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
  19. Edgar Freire & Adriana Herrera (Ecuador), “Ishkay”, karya tari tentang konsep dualitas di dalam Andean Cosmovision, sebagai tanggapan dari pertanyaan identitas di waktu sulit ini.
  20. Sruti Respati (Solo), Seniman keroncong asli Solo dengan Keroncongisasi Sruti Respati.
Lee-Yun Dance Group (Taiwan), Mempersembahkan karya “The Twelve Grannies’ Blessings”, diadopsi dari cerita Parade Dua Belas Nenek oleh seni tradisi Tainan, Taiwan.
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *