Connect with us

Feature

Selamatkan Indonesia, GenRengers Educamp Nordianto Stop Perkawinan Usia Anak

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Nordianto Hartoyo Sanan, pria kelahiran Kalimantan 10 November 1994 sering merasakan gundah. Ia memikirkan teman-teman sekolahnya  yang tiba-tiba ‘menghilang’.  Kala itu, usianya masih 14 tahun dan duduk di kelas 3 SMP.  Ia merasa aneh, sejak masuk  SMP, tiap kali semesteran, tiap kali itu pula ada temannya menghilang dan tidak mengikuti ujian.  

Berbagai cara Nordianto lakukan mencari tahu keberadaan teman bermainnya. Ternyata, teman-teman kecilnya telah dinikahkan orang tua mereka.  “Setiap semester, bisa 8 sampai 9 orang teman saya menghilang dari sekolah. Mereka tidak sekolah lagi, bahkan ada juga yang berdekatan dengan waktu ujian tiba-tiba menghilang. Setelah saya cari tahu,  ternyata mereka dinikahkan oleh orangtuanya,” ujar  Nordianto yang akrab dipanggil Anto, kepada Jayakarta News, awal Desember 2021.

Pernikahan anak, memang menjadi isu tersendiri di Kalimantan Barat. Bahkan hingga pada tahun 2014, menurut Anto, Kalimantan Barat termasuk  daerah yang angka perkawinan anaknya sangat tinggi. “Termasuk dalam tiga besar di Indonesia saat itu,” tandasnya.

Hatinya berontak. Teman-temannya itu harusnya belajar. Harusnya sekolah. Bukan dinikahkan.  Ia merasa sedih ketika melihat teman-temanya kemudian hari telah menggendong bayi. “Penampilan mereka sudah sangat berbeda. Tidak ceria lagi. Kelihatannya seperti  bukan dia lagi.”

Dalam pikirannya akan kah mereka bisa sekolah lagi. Apakah mereka akan tetap sehat setelah  melahirkan di usia muda? Apakah akan menyusul teman-teman lainnya seperti itu? Pertanyaan  ini timbul menggelayuti pikirannya seiring pengalamannya sendiri, yaitu pengalaman  ibunya yang menikah muda.

Kisah “Pahit” dari Ibu yang Menikah Muda 

Ibunya yang benama Nurhayati menikah di usia 16 tahun, sementara ayahnya hampir memasuki usia 40. Dalam perjalanannya, Anto kerap melihat ibunya menderita karena sakit di bagian rahimnya. Ibunya kerap keguguran. Bahkan sempat mengalami sakit yang parah di usia masih muda.

Nordianto Hartoyo Sanan (istimewa)

Ia mengisahkan, pernikahan orangtuanya didasari dengan perjodohan. Perjodohan ini diharapkan dapat mengubah kehidupan keluarga ibunya yang saat itu termasuk dalam kategori keluarga miskin.

“Ibu saya berasal dari desa, tinggal di kampung.  Ibu, orang Dayak dan Bapak dari Jawa. Ibu berharap  dengan menikahi ayah, bisa hidup lebih baik di kota bersama ayah. Padahal sebenarnya, ayah juga tidak kaya,” ujar Anto.

Keinginan  itu tidak terwujud. Malah, setelah menikah sang bunda menjadi sakit-sakitan. Beberapa kali mengalami  keguguran, sebelum dan sesudah melahirkannya. “Mungkin karena menikah usia muda, ibu saya sering keguguran,” ujar Anto.   

Ia menyaksikan ibunya terus menerus didera penderitaan. Bahkan pernah sakit parah di bagian reproduksinya. Itu lah sebabnya pada 2004, saat ibunya memasuki usia 30-an, harus dioperasi  angkat rahim. 

Setelah operasi, Anto agak berlega hati karena perlahan-lahan ibunya mulai sehat. “Jadi, saya dari kecil sudah melihat dan menjadi saksi bagaimana perjuangan ibu mengatasi sakitnya. Ibu saya tangguh dan survive. Kini ibu saya sudah berusia 50  tahun dan bapak 70 tahun,” ujarnya lagi.

Itu adalah pengalaman pahit baginya. Ia tidak ingin teman-temannya mengalami hal seperti itu.  Maka, Anto kecil yang masih belasan tahun itu, mulai belajar kesehatan reproduksi.  Ia sering mengikuti kegiatan-kegiatan kesehatan yang menyangkut reproduksi bukan hanya di sekolah. Jika ada seminar di luar sekolah, Anto pun berusaha mengikutinya.  

Dari belajar mengenai kesehatan reproduksi itu,  Anto mulai ‘mengumandangkan’ kepada teman-temannya untuk tidak menikah muda. Ia  mulai fokus pada masalah pernikahan usia anak dan pencegahannya. Dimulai dari daerahnya sendiri, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.

Konselor Muda

Anto yang terbilang sangat muda itu, mengetahui bahwa Provinsi Kalimantan Barat ternyata masuk dalam provinsi dengan angka perkawinan anak yang tinggi di Indonesia. Banyak  faktor yang menjadi penyebab angka perkawinan dini di Kalimantan Barat begitu tinggi diantaranya masalah sosial-budaya, desakan ekonomi, faktor geografi (perbatasan Indonesia-Malaysia), dan masalah perubahan gaya hidup generasi muda.

“Kasus menikah usia anak, bukan hanya karena dijodohkan dan keinginan orang tua.  Tidak jarang  juga  karena anak perempuannya telah hamil di luar nikah. Saya menyaksikan, sepertinya  normal saja,  anak perempuan dinikahkan muda,” ujar pemilik hobi menulis, membaca, hiking dan snorkeling ini.

Nordianto saat memberikan pedalaman isu kepada para remaja (istimewa)

Tentu saja, tidak mudah  menolong teman-temannya agar tidak mau menikah muda . Ia harus menghadapi banyak aturan dan kebiasaan yang berlaku yang tentu juga mengikat dalam kehidupan teman-temannya.  

Anto pantang menyerah.  Sejak 2009, saat  masih duduk di kelas 3 SMP, ia mulai konsern terhadap isu-isu seksualitas pada remaja. Ia mengikuti pelatihan-pelatihan tentang permasalahan dan isu-isu mengenai kesehatan reproduksi remaja. Ia juga mengikuti pelatihan mengenai masalah perkawinan anak. Ia meneruskan ketertarikannya mempelajari hal tersebut hingga SMA. Hal itu  yang menghantar Anto menjadi Konselor Muda untuk para remaja di Provinsi Kalimantan Barat.  

Setiap hari Kamis, Nordianto pergi ke kampung-kampung. Memberikan edukasi dan juga motivasi kepada anak-anak tentang kesehatan reproduksi dan pentingnya pendidikan. Kegiatannya ini  memang tidak seperti remaja seumurannya. Ia sempat ditentang oleh ibunya. Namun, pada akhirnya justru dia  mendapat dukungan dari keluarga. “Khususnya ibu saya, akhirnya sangat mendukung,” ujar Nordianto. 

Sebagai Konselor, Nordianto punya kesempatan  bertemu  banyak remaja di Kalimantan Barat.  Dalam pertemuan-pertemuan itu, Nordianto berbagi pengalaman dan pengetahuan,  menginspirasi, juga membantu mereka menyusun rencana kehidupan. Kesempatan tersebut  menjadi dorongan bagi para remaja ke arah yang lebih positif.  

Setelah lulus SMA, Anto semakin serius menangani permasalahan remaja ini. Ia memberikan informasi  yang diharapkannya mampu membentengi para remaja dari permasalahannya  yang dapat menganggu proses tumbuh dan berkembang mereka. Juga dari permasalahan  yang dapat menyebabkan mereka kehilangan kesempatan besar untuk masa depan mereka.  Ia melakukan  itu dengan mengunjungi para remaja  hingga ke pelosok desa.

Kawin Usia Anak, Janda Usia Subur     

Pada 2014, Anto mewakili Provinsi Kalimatan Barat dalam pemilihan Duta Mahasiswa GenRe (generasi remaja)  tingkat nasional dari BKKBN. Ini merupakan program BKKBN yang melibatkan anak-anak remaja agar mempersiapkan diri sebelum ke jenjang perkawinan. “Dan saya diberikan tanggung jawab menjadi pemenang ke dua dan duta mahasiswa genre kreator tingkat nasional,” ujarnya.

Sebagai pemenang, dia mendapatkan sejumlah uang.  Dengan uang tersebut dia mengadakan  touring selama 2 bulan ke desa-desa yang ada di Kalimantan Barat. Ia berkeliling dengan motornya setiap akhir minggu, setelah jam kuliahnya. 

“Saya bertemu ribuan pelajar dari seluruh kabupaten dan kota yang ada. Setiap akhir pekan saya selalu meluangkan waktu untuk bisa berkunjung ke desa-desa yang pernah saya kunjungi untuk melihat progres dari rencana aksi yang remaja-remaja desa sepakati.”  

Salah satu kegiatan Educamp (istimewa)

Dari hasil touringnya itu, dia mendapati di desa-desa, banyak anak perempuan usia 15 tahun sudah menikah.  Ia juga mendapati  bahwa  pernikahan anak itu tidak akan bertahan lama. Maka pada usia muda pun banyak yang sudah menjadi janda. 

“Pernikahan anak, biasanya juga akan berakhir di umur belasan. Jadi angka pernikahan anak tinggi, angka perceraian usia muda pun tinggi. Belum lagi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan seksual, tinggi.  Belum lagi masalah yang timbul karena perbedaan usia yang jauh antara anak perempuan dan pria yang menikahinya. Biasanya pihak pria sudah berusia di atas 30. Tentu saja ini dapat  menimbulkan masalah,” papar Anto.

Ia juga menemukan permasalahan serius lainnya ketika berkunjung ke suatu daerah yang mendapat julukan JUS atau Janda Usia Subur. Di daerah itu banyak sekali perempuan dengan status sebagai janda di usia mereka yang masih sangat muda, atau subur.  Namun, label JUS  itu justru menjadi kebanggaan bagi mereka.  Tentu saja ini aneh dan memprihatinkannya.

Di tempat itu, banyak anak yang masih berusia 16 tahun dan sudah mempunyai dua orang anak kemudian ia diceraikan oleh suaminya.  Ironisnya setelah berstatus janda, mereka akan merasa bangga. Perempuan belia yang sudah berstatus “JUS” sudah menganggap dirinya tidak mempunyai beban lagi dalam hidupnya.

“Mereka saat masih gadis, tidak boleh ke mana-mana. Mereka menganggap kalau sudah nikah dan jadi janda maka dirinya menjadi bebas kemana saja.  Karena beban menikah dari orang tua sudah hilang. Itu yang ada dalam pikiran mereka,” kisah Anto.

Kondisi  ini  menambah kompleksitas permasalahan perkawinan anak di Kalimantan. “Pemahaman anak maupun orang tua harus sama-sama diluruskan supaya masa depan anak Indonesia bisa terselamatkan,” tandasnya.

Di titik ini, Anto  merasa bahwa kehadirannya sendiri saja tidak cukup. “Saya harus menanamkan semangat perjuangan dan melahirkan pejuang-pejuang lokal di desa mereka untuk membantu teman-temannya di daerahnya.”

Para remaja ini menurut Anto pasti  mampu menjadi superhero bagi lingkungannya. “Saya tidak bermimpi anak-anak ini dapat menolong jutaan remaja lainnya. Mimpi saya, mereka dapat selamat dahulu dan kemudian dapat menjadi role model bagi sebaya mereka dan akhirnya remaja lain akan mengikuti apa yang mereka kerjakan,” harapnya.

Kegiatan edukasi dikombinasi dengan permainan (istimewa)

Berangkat dari keinginannya ‘melahirkan’ pejuang-pejuang lokal, Nordianto pun menggagas GenRengers Educamp pada akhir 2014. Educamp ini menjadi kegiatan edukasi remaja dibawah naungan Genre Indonesia. Melalui educamp ini Nordianto melakukan edukasi kepada remaja di pinggiran kota, bahkan sampai ke desa-desa di Kalimantan Barat mengenai dampak akibat menikah muda. Juga mengenai kesehatan reproduksi para remaja wanita yang rentan terhadap penyakit jika mereka kawin di usia anak.   

GenRengers Educamp “Stop Perkawinan Anak” 

Dengan adanya kegiatan  GenRengers Educamp, Anto tidak perlu lagi  datang setiap minggu dengan sepeda motornya untuk berkunjung ke daerah-daerah.  “Karena saya telah  memiliki remaja-remaja yang memiliki mimpi untuk memperbaiki diri, dan menolong teman-teman sebaya mereka yang ada disana. Mereka lahir sebagai relawan dari kegiatan educamp ini,” paparnya.

Selama dua tahun, dari 2014 hingga 2016, dengan GenRengers Educamp dilaksanakan kemah-kemah kesehatan reproduksi remaja yang massif. Dari kegiatan ini lahir banyak relawan atau pejuang lokal. Para remaja ini mau berkonstribusi untuk lingkungannya sendiri. Pada 2016 sudah tercatat sekitar 800-an relawan.

“Selama dua tahun Kamp ini berlangsung, telah lahir sekitar 800 relawan. Tentu, sekarang sudah jauh lebih banyak lagi. Mungkin sudah ribuan,” ujar Anto yang mengaku tidak mencatat  jumlah total relawan yang sudah dilahirkan dari proggramnya itu.

Saat pemberian edukasi oleh fasilitator (istimewa)

Fokus utama GenRengers Educamp adalah kemah atau kegiatan outdoor yang digabung  dengan kegiatan  fun-learning . Nama GenRengers sendiri, katanya, mempunyai dua makna. Yaitu, GenRe Rangers atau Pejuang GenRe (Generasi Berencana), dan Gen Rangers atau bibit alamiah pahlawan super. Maknanya, bahwa para remaja ini  bisa menjadi pahlawan untuk teman-temannya.  

GenRengers Educamp menstimulasi aktivitas yang positif dari remaja yang dilakukan melalui kegiatan Fun Games. Materi yang diberikan terkait kesehatan reproduksi remaja, kampanye stop perkawinan usia anak, penggalian informasi atau identifikasi masalah remaja, penggalian ide dan solusi kreatif, GenRepreneurs (Entreprenuers Remaja), Mini Talkshow, dan GenRe Minat Bakat. Semua dikemas dalam kegiatan outdoor atau camp. Kegiatan dilakukan di daerah-daerah perbatasan Indonesia-Malaysia dan 14 Kabupaten/Kotamadya di Kalimantan Barat.  Misi yang disampaikan adalah Kampanye Stop Perwakinan Usia Anak.  

Dalam kamp ini, para remaja juga berbicara bagaimana bisa menggapai apa yang diimpikan dan diinginkan untuk hidup mereka tanpa harus kawin muda. “Kami membicarakan apa yang bisa mereka lakukan untuk seattle, kami juga mengajarkan mereka agar menjadi enterpreneur-enterprenuer muda.”

Para peserta tidak mengeluarkan biaya karena memang tidak dipungut biaya untuk mengikuti kegiatan ini.  “Kegiatan ini dilakukan di desa peserta, maka mereka bisa makan dan istirahat di rumah masing-masing. Mereka akan kembali ke kamp ketika kegiatan dimulai lagi. Jadi ini betul-betul program swadaya. Dan, para relawan adalah mereka yang lahir dari kegiatan ini, jadi kami tidak keluar biaya lagi,” ulas Anto.   

Usia peserta antara 10-24 tahun. Mereka yang tersebar di 14 Kabupaten/Kotamadya di Kalimantan Barat. Pesertanya beragam. Ada pelajar, pekerja remaja, ataupun anak putus sekolah. Anto dan teman-temannya tidak pernah memaksa remaja untuk terlibat dalam acara ini. Ia ingin mereka dengan kesadarannya yang datang sendiri ke acara ini untuk mengapasitasi diri mereka, dan akhirnya mendapatkan jaminan akan hidup yang lebih baik. “Semua kembali pada pilihan mereka sendiri,” katanya lagi.

Lahirkan Role Model Anak Indonesia  

Sebelum educamp berlangsung, Kalimantan Barat termasuk dalam 3 besar tertinggi pernikahan anaknya. Namun, setelah kegiatan ini, angka itu telah lenyap.  Bahkan Kalimantan Barat telah keluar dari 10 besar provinsi yang terbanyak perkawinan anaknya. “Saya bersyukur sekali,” ujar Nordianto. 

Kegiatan edukasi oleh fasilitator dalam kemah (istimewa)

Hasil survei Susenas 2017, lanjutnya, Kalimantan Barat mengalami penurunan jumlah perempuan yang menikah di bawah umur 18 tahun dari 104/1000 perempuan menjadi 39/1000 perempuan. “Ada penurunan lebih dari 60 persen.”  

Dan, dari 400 remaja yang setiap tahunnya terpapar program GenRengers Educamp, kata Anto, mereka telah mampu melewati transisi kehidupan yang pertama, yaitu mendapatkan pendidikan. Hal ini dibuktikan melalui hasil survey RPJMN 2017 di mana angka perkawinan usia dini (kelompok usia 15-19 tahun) di Kalimantan Barat  yang tinggi telah menurun.  “Saya optimis GenRengers Educamp sebagai salah satu yang berkonstribusi terkait hal tersebut,” ujarnya senang.  

Menurut Anto, kegiatan Educamp, masih terus berlangsung sampai saat ini. Kegiatan yang digagasnya sejak 2016 itu telah mendapat perhatian pemerintah setempat. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya mengajaknya bekerja sama dalam menuntaskan perkawinan usia anak di Kalimantan Barat. “Sekarang ini sudah banyak provinsi yang menyiapkan kegiatan ini. Maka kegiatan itu masih  berlangsung sampai saat ini di provinsi masing-masing.”

Mereka yang sudah mengikuti program GenRengers Educamp tidak berhenti begitu saja. Akan dibentuk Champion atau kordinator kabupaten/kota. Hal ini supaya dapat mengikat kebersamaan dan kekeluargaan yang telah dibangun selama kamp berlangsung.

“Harapan saya, mereka yang sudah ikut dapat menjadi role model. Ketika ia menjadi role model, anak-anak lain akan mengikutinya tanpa dipaksa. Ini yang menjadi dasar  GenRengers bagi anak-anak Indonesia,” tuturnya lagi.

GenRengers Educamp memberikan pendampingan untuk mencetak remaja yang unggul. Setelah pendampingan maka peserta masuk dalam Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) dan Forum Genre yang dibantu BKKBN atau Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Adanya kerja sama dengan pemerintah, kata Anto,  sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan sosial tersebut.

Pemerintah bisa mengatur dasar-dasar kuat dalam mengatasi kondisi ini melalui BKKBN yang ada di perwakilan provinsi dan daerah-daerah di Indonesia. “Semakin banyak daerah yang mendapatkan dampak program GenRengers Educamp, semakin banyak remaja yang peduli akan masa depan anak Indonesia,” tandasnya.

Dari semua yang dilakukannya itu, Anto telah menjadi delegasi Indonesia Youth Meeting ECOSOC UNHQ di New York pada 2016. Ia juga menjadi delegasi Indonesia End Child Marriage di Malaysia tahun  2016. Kemudian delegasi International Conference on Family Planning di Nusa Dua, Bali tahun 2017.

Educamp yang melahirkan banyak relawan menjadi role model (istimewa)

Apa yang telah dilakukan Anto terhadap anak-anak Indonesia, juga telah membuat Astra memberikan penghargaan kepadanya sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2018. Keberhasilan ini, katanya, adalah semangat dari seluruh remaja dan GenRengers di Kalimantan Barat untuk menyelamatkan anak Indonesia dari Kawin Muda.

Pada November 2019, Anto menjadi perwakilan  Indonesia ke Polandia untuk mengikuti program EuroWeek Youth Leader Poland 2019. Kemudian, sejak 2021  ia menerima  Beasiswa Erasmus dan  kuliah di tiga negara di Eropa (Poland, Portugal, Croatia) hingga 2022. Bidang yang ditekuninya adalah International Business and Management. “Spesifik di management waktu luang atau gaya hidup,” ujarnya.      

Apa yang dipelajari saat ini, katanya, akan menjadi masukan baginya di Indonesia kelak. “Pendidikan saat ini memang punya tujuan ke arah itu. Bahkan, setelah kuliah mungkin saya ingin buat platform yang lebih besar dan berdampak di Indonesia,” kata Anto.  

Nordianto tetap kosisten menangani pernikahan anak di Indonesia. Ia tetap berfikir bahwa pernikahan anak harus ditangani secara serius demi menyelamatkan anak-anak Indonesia. “Bagi saya, perkawinan anak adalah hal yang paling jahat. Dari sini bisa muncul kemiskinan baru dalam keluarga, kemiskinan yang telah tersruktur. Karena itu harus ditangani dengan serius,” tandasnya.

Maka, katanya lagi, “Menikahlah dengan rencana, karena yang punya masa depan itu kita dan jangan salahkan orang lain jika kita tidak merasakan masa depan yang kita idamkan.”

Sesungguhnya, hasil yang telah dicapai Nordianto Hartoyo Sanan, pemuda asal Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat itu adalah dari perjuangan sekuat tenaganya menyuarakan kekhawatirannya tentang perkawinan anak di Kalimantan sejak dia masih duduk di bangku SMP. Tersenyumlah Indonesia dengan adanya Nordianto. Semoga akan muncul Nordianto-Nordianto lain yang akan lebih mengembangkan senyum Indonesia karena akan semakin banyak anak Indonesia diselamatkan dari Perkawinan Usia Anak. *** (Melva Tobing)   

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement