Feature
Sambo Ibarat Daun yang Luruh
JAYAKARTA NEWS – Dua bulan lalu Irjen Ferdy Sambo masih mengenakan uniform Polri, lengkap dengan tanda dua bintang di krah bajunya. Melangkah gagah bersama ajudan yang setia mendampinginya. Beberapa minggu kemudian, pemandangan yang “fantastis dan tragis” terjadi. Sang jenderal itu jadi pesakitan.
Ketika melakukan rekonstruksi atas aksi bengisnya, Sambo juga memakai baju “kebesaran”. Ia, laiknya desperado lainnya meski itu disamarkan seperti costum casual biasa. Kedua tangannya pun diborgol. Istrinya, Putri Candrawathi yang juga tersangka mengenakan celana putih dan baju warna senada. Memegang tangan suaminya dengan muka yang selalu menunduk.
Tatapan mata Sambo nanap. Demikian pula Putri, sorot matanya layu. Meski sebagian tertutup masker, paras jelitanya masih nampak. Adegan rekonstruksi itu bukan hanya dalam tatapan mata para penyidik dan kamera awak media. Moment itu juga disaksikan orang lain yang berkepentingan. Berkat teknologi komunikasi dan informasi, serta riuhnya jagat sosial media, dunia menyaksikan mereka.
Inilah “tatapan” berharga bagi kita semua. Utamanya para pejabat, para pemimpin, para tokoh masyarakat. Kita posisikan andai kita jadi mereka, betapa terluka, pedih, sakit, dan malu hati anak-anak dan juga keluarga lainnya. Betapa kacau balau pikiran mereka.
Emosi yang tak terbendung, luapan amarah yang melampaui batas meski sesaat akan berakibat fatal. Ungkapan bijak mengatakan, jangan bertindak apa-apa ketika kau sedang marah. Pun jangan bicara karena kemungkinan banyak ngawurnya, tak terkontrol. Maka, lebih baik diamlah saat amarah menguasai diri.
Ancaman Hukuman Mati
Aksi sekejap itu – beberapa detik melepas tembakan– harus ditanggung sepanjang hayat. Ancaman hukuman atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua itu cukup berat. Hukuman mati atau seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Jika kini usia Sambo dan Putri sekitar 50 tahun, sisa umur akan dijalani di penjara.
Tragedi pembunuhan yang didalangi Sambo cukup lama menjadi perhatian publik. Hampir dua bulan, sejak peristiwa itu terjadi, 8 Juli 2022. Kini dia seperti daun yang luruh. Dari ketinggian sebuah bukit bisa jatuh terjerembab ke jurang yang dalam. Caci maki, kutuk dan segala nista telah ditujukan kepadanya. Eksistensinya seperti hilang. Tiada lagi. Ibaratnya sudah mati sebelum ajal tiba.
Dari singgasana kemuliaan dan kehormatan yang diamanahkan kepadanya, ujungnya merosot ke tempat dan situasi yang rendah. Mendapat perlakuan sama seperti bromocorah. Perlakuan demikian tentu sebangun dengan tuntutan publik.
Kita tahu, sebelum rekonstruksi dilakukan, publik dan media pun membahasnya. Apakah mantan Kadiv Propam yang sudah dinonaktifkan ini akan memakai baju dinas dalam rekonstruksi ? Layak tentunya jika publik berharap agar sang jenderal pun diperlakukan sebagaimana tersangka lain yang melakukan tindak kejahatan.
Memang, publik sungguh serius mengawalnya. Pantas, jika banyak tokoh berpendapat, kasus ini merupakan taruhan besar atas kepercayaan khalayak terhadap Pori. Wajar tentunya, Kadiv Propam,oleh Menko Polhukam Mahfud MD disebut sebagai “polisinya polisi”. Alhasil, ketika melakukan tindak kejahatan harus ditangani serius. Transparan, adil, dan bijaksana.
Intrik Asmara
Ia menghilangkan nyawa orang, ajudannya sendiri, tanpa proses pengadilan, lalu dilengkapi pula dengan tindakan obtruction justice, dan pelbagai skenario kebohongan. Ibarat sebuah cerita, tragedi terkait Sambo ini cukup “sempurna”. Dilakukan di rumah negara, menyeret banyak perwira lain, dan terkait motif yang menimbulkan banyak sepekulasi. Dan intrik seputar asmara pun terus berkembang.
Isu awal yang berkembang, telah terjadi pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J. Dan prasangka-prasangka itu pun masih merebak. Liar, dan menimbulkan pro dan kontra. Namun bukti tak pernah dikantongi penyidik.
Sebelum, hingga sesudah ditetapkan Sambo sebagai tersangka bersama perwira lain yang disangkakan pula sebagai obtructon of justice (menghalang-halangi proses peradilan). Gaung atas peristiwa ini tidak serta merta mereda. Publik seakan ingin terus mengawal sampai palu terakhir diketuk. Apakah ganjaran yang dikenakan terhadap para penegak hukum yang melakukan tindak kejahatan bengis ini setimpal ? Apakah memenuhi rasa keadilan masyarakat ?
Bukan hanya itu. Sebagian kita dan juga masyarakat luas, seperti dibuat penasaran. Ingin tahu motif pembunuhan yang mirip aksi gangster itu. Serem memang, berkonotasi seperti monster. Gambaran desperado yang dideskripsikan pengacara keluarga Brigadir J merepresentasikan aksi yang kejam. Terkesan sadis.
Dari derasnya pemberitaan terkait Sambo, juga melahirkan banyak komentar warga net. Dan berseliweran pula imajinasi publik yang liar atas peristiwa ini, yang tentu saja dilandasi referensi masing-masing. Lantas yang tercuat kemudian pertanyaan; Adakah bersinggungan dengan dunia LGBT? Adakah bersentuhan pula dengan mafioso? Dengan bandar-bandar narkoba? Bandar-bandar judi? Dan kemungkinan kasus lainnya? Jadi bukan semata-mata pelecehan seksual, intrik cinta segi tiga atau isu perselingkuhan.
Cuap-cuap dan pelbagai komentar di sosial media (sosmed) jangan disepelekan, pun jangan diragukan semuanya. Karena kadang memang ada informasi penting yang hanya bisa dikais di sosmed. Ada beberapa chanel yang bisa membuat orang bicara blak-blakkan. Dhanel itu pun kerap menghadirkan para tokoh / pejabat tinggi yang berkompeten di bidangnya dengan pendapatnya yang tetap elegan.
Lantas, terkait motif, yang sebenar-benarnya barangkali tak kan tersingkap di mahkamah terakhir sekalipun. Akan menjadi rahasia batin pelaku, di batas mana seseorang mampu bertahan. Bertahan dalam menjaga kata-kata jika lidah pun kelu tak bisa bersuara.
Tanpa Aling-aling
Jadi wajar tentunya jika publik kemudian juga merangkai-rangkai pelbagai informasi yang masif tersebut. Terutama lewat sosial media. Di sosmed, segala rupa komentar muncul, dan dengan kata, istilah, ungkapan, bahkan ucapan yang bebas, tanpa aling-aling. Bahkan sepertinya tanpa sungkan membahasakannya. Orisinal. Di tempat lain mungkin kurang santun, dan kurang “aman” dikemukakan.
Istilah yang berputar di sekitar warung-warung kopi, bisa tumpah liar lewat sosmed. Termasuk obrolan di kaki lima, di komunitas anak jalanan, dan komunitas sopir bus dan truk. Karena itu, mengapa kasus Sambo ini jadi perhatian publik. Agaknya bukan semata kasus Sambo an sich yang kudu ditangani serius. Banyak hal yang terkait profesi polisi yang belum menjadi harapan masyarakat. Jadi tampaknya ada ujung penyelesaian yang ditunggu. Mungkin semacam revolusi mental. Atau mungkin reformasi total guna membangun citra yang lebih apik.
Publik sangat merindukan citra Polri yang benar-benar mengayomi. Karena itu, langkah Kapolri Listyo Sigit Prabowo didukung banyak pihak. Ia diminta benar-benar serius agar masalah Sambo ini ditangani setransparan mungkin. Tekadnya untuk transparan, merupakan statemen emas yang didukung masyarakat.
Banyak pejabat dan tokoh masyarakat mendukung langkah Kapolri, bahkan dikatakan, “Saatnya kini Polri berbenah diri. Membersihkan oknum-oknum yang mencoreng nama institusi.”
Rakyat menaruh harapan besar pada Polri. Bertindak tegas! Investasi mental memang mahal, dan terkadang dalam prosesnya terkesan tidak humanity. Kita tak pernah lelah berharap. Karena itu, maju terus Pak Kapolri! Rakyat di belakangmu! ** iswati