Connect with us

Feature

Purna Yudha Jakob Oetama

Published

on

Catatan Roso Daras

Jayakarta News – Sebagai wartawan, saya tidak seberuntung teman-teman yang pernah atau masih bergabung di kelompok Kompas Gramedia. Tapi rasa duka cita yang sangat dalam, sungguh menusuk perasaan, demi mendengar warta lelayu Jakob Oetama, sosok manusia “Kompas”, Rabu (9/9/2020).

Dari pertemuan yang tak lebih dari bilangan jari, sudah mampu melekatkan kharisma Jakob Oetama jauh di lubuk hati. Itu terjadi saat mantan Pemred Harian Umum Jayakarta, Suryohadi, mengajak saya sowan almarhum.

Tujuan sowan adalah mewawancarai Jakob Oetama. Tepatnya, meminta testimoni Jakob Oetama atas sosok jurnalis senior lain, Aristides Katoppo yang sedang kami bukukan biografinya. Itu terjadi 13 Agustus 2009 pukul 10.00 WIB.

Serangkaian wawancara dengan Jakob Oetama –tanpa saya sadari—mengubah persepsi saya terhadap profesi jurnalis. Kesederhanaan ruang kerjanya di lantai 6 Gedung Kompas Gramedia, linier dengan kesederhanaannya.

Jurnalis senior yang saya anggap “empu” itu, masih tetap humanis, humble, dan inspiratif. Berbicara dengannya, selalu saja ada tekanan berat, yang membuat siapa pun, termasuk saya, harus membuka mata batin, mata hati, dan mata nalar. Tanpa melakukan itu, kisa bisa melewatkan sebuah wejangan maha penting dari seorang “suhu”.

Perlu usaha keras menyamakan “frekuensi” dengan seorang Jakob Oetama, agar kita bisa menangkap semua mutiara hikmah yang mengalir dari kedung hati yang bening. Sekalipun mengaku “mulai pikun”, faktanya, memori pria kelahiran Borobudur, Magelang (Jawa Tengah), 27 September 1931 itu masih bagus.

Ia masih lancar bertutur tentang hakikat jurnalis sebagai sebuah profesi. Ia masih runtut bertutur tentang keasyikan menjadi wartawan, karena setiap hari melakukan perang. Perang batin seorang wartawan, terjadi nyaris setiap hari.

Akan tetapi, melalui peperangan batin setiap hari itulah, profesi wartawan menjadi begitu menantang. Saya pribadi menyimpulkan, dalam urusan perang yang dimaksud, maka Jakob Oetama adalah seorang ksatria wijaya, yang kini bahkan sudah menjelma menjadi pertapa sakti.

Sambil menikmati alunan pitutur dan petuah Jakob Oetama, saya meramunya dengan bayang-bayang Sukarno. Sosok lain yang saya kagumi. Binar-bayang Sukarno seketika menari-nari di benak saya saat Jakob Oetama meriwayatkan kelahiran suratkabar paling bersinar di Indonesia, yang ternyata memiliki keterkaitan erat dengan sang proklamator.

Terus terang, topik “Kompas” dan Bung Karno, adalah “improvisasi” saya. Maksud hati, sekali mendayung, dua-tiga topik tulisan bisa saya dapat. Testimoni tentang Aristides Katoppo di satu sisi, dan testimoni tentang Bung Karno di sisi lain.

Materi tentang Aristides Katoppo saya dedikasikan untuk penyusunan buku. Materi tentang Bung Karno, saya niatkan untuk mengisi konten personal web (blog) saya: www.rosodaras.wordpress.com.

Di luar dugaan, Jakob antusias menyambut peralihan topik wawancara, dari Aristides Katoppo ke Bung Karno. Kisah itu pun kemudian saya tuang sebagai berikut:

Adalah dua nama: Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong, dua dedengkot pendiri Harian Kompas yang dikenal masyarakat. Dan tahukah Anda, di antara dua nama itu, Bung Karno konon lebih suka kepada Jakob Oetama. Karenanya, saat Harian Kompas terbit, Jakob-lah yang memegang kemudi redaksi. Sementara, PK Ojong berkutat di bagian tata usaha.

Sambung kisah antara Kompas dan Bung Karno, sejatinya memang cukup erat. Sebab, nama “Kompas” itu sendiri adalah nama pemberian Bung Karno. Tentu saja, kisahnya tidak sesederhana itu.

Bermula dari suatu kurun bernama tahun 1964, ketika Bung Karno meminta agar Partai Katolik membuat suratkabar. Perintah Bung Karno, langsung ditanggapi positif. Sejumlah tokoh Katolik seperti Frans Xaverius Seda, PK Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Policarpus Swantoro, dan R. Soekarsono mengadakan pertemuan dengan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Perempuan Katolik. Pertemuan ini menyepakati pembantukan Yayasan Bentara Rakyat.

Yayasan itu diketuai Ignatius Joseph Kasimo (Ketua Partai Katolik), wakil ketua Frans Seda (Menteri Perkebunan Kabinet Sukarno), penulis I, F.C. Palaunsuka, penulis II, Jakob Oetama, dan bendahara PK Ojong. Dari yayasan inilah kemudian lahir harian Kompas.

Dari sumber informasi yang lain, didapat keterangan Frans Seda ihwal pesan Jenderal Ahmad Yani, agar harian Kompas dapat menandingi wacana yang dikembangkan PKI. Masih menurut Frans Seda, PKI tahu ihwal Kompas yang berpotensi menandingi PKI, maka dilakukanlah usaha penghadangan dan penggagalan penerbitan koran ini. Namun, karena Bung Karno sudah memberi izin, maka praktis upaya PKI sia-sia.

Setelah ada izin Bung Karno, yayasan Bentara Rakyat tidak segera bisa menerbitkan koran dimaksud. Sebab, ia harus pula mengantongi izin dari Panglima Militer Jakarta, yang waktu itu dijabat Letnan Kolonel Dachja. Sang Letnan Kolonel memberi syarat, izin keluar kalau Yayasan Bentara Rakyat mampu mendapatkan sedikitnya 5.000 tanda tangan warga sebagai pelanggan. Frans Seda mengutus para wartawan pergi ke NTT, sehingga syarat itu dengan mudah bisa dipenuhi.

Setelah semua siap, kembali Frans Seda melapor kepada Bung Karno. Kedudukannya sebagai menteri ketika itu, memang memungkinkan setiap saat bisa menjumpai Bung Karno. Saat bertemu, Frans Seda melaporkan kesiapan Yayasan Bentara Rakyat menerbitkan koran Katolik, seperti diminta Bung Karno.

Nama koran yang disodorkan kepada Bung Karno ketika itu bukan Kompas, melainkan koran Bentara Rakyat. Setelah mengernyitkan dahi sejenak, Bung Karno lantas mengusulkan agar nama itu diganti menjadi “Kompas” yang berarti penunjuk arah.

“Sabda pandita ratu”, pepatah Jawa. Bahwa titah raja adalah perintah. Bagaikan sebuah titah, maka sabda Bung Karno pun langsung diiyakan Frans Seda. Usul nama dari Bung Karno kemudian dirapatkan di Yayasan Bentara Rakyat. Tanpa perdebatan sengit, usul Bung Karno tadi langsung diterima, sehingga nama koran Bentara Rakyat dikubur, dan dimunculkanlah nama “Kompas” dengan tambahan tagline “Amanat Hati Nurani Rakyat”.

Koran ini terbit pertama kali pada 28 Juni 1965. Itu artinya, tiga bulan menjelang terjadinya ontran-ontran G-30-S. Pasca tragedi yang merenggut tujuh perwira terbaik TNI-Angkatan Darat, pamor Bung Karno redup atau diredupkan. Namun salah satu “warisan” nama, Harian Kompas, tetap bersinar. Sinarnya, menerangi jagat media Nusantara hingga hari ini.

Selamat jalan pak Jakob…. “Perang” sudah usai bagimu. Purna Yudha. Purna usia. Surga paripurna. Amin. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *