Connect with us

Kabar

Paradigma Baru Polri

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Polri merumuskan konsep reformasi yang disebut “Paradigma Baru Polri”. Paradigma ini dikonseptualisasikan dalam tiga perubahan: Perubahan aspek struktural, perubahan aspek instrumental, dan perubahan aspek kultural.

Perubahan aspek struktural dan instrumental merupakan sarana (means) dan prakondisi menuju perubahan kultural. Perubahan aspek struktural meliputi perubahan aspek kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan organisasi, susunan dan keduudkan.

Perubahan aspek instrumental menccakup filosofi yang terdiri atas visi, misi dan tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan iptek. Doktrin Polri, merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya dan memengaruhi perilaku pegawai atau kelompok organisasi dalam menjalankan misi untuk mencapai tujuan organisasi.

Perubahan aspek kultural merupakan tujuan atau hasil dari perubahan aspek strukturaldan instrumental. Secara garis besar perubahan kultural adalah perubahan budaya Polri yang terdiri atas cara pandang, cara pikir, perilaku dan sikap yang mencerminkan jati diri sebagia polisi sipil.

Dalam upaya terwujudnya democratic policing, Polri hendaknya menggubah mind-set dan culture-set untuk bisa melakukan democratic policing, sehingga akan terwujud dengan baik sebagai polisi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat di alam demokrasi ini.

Democratic policing masih menolak definisi yang ringan. Referensi-referensi yang mengacu pada “demokrasi” serta “nilai-nilai demokrasi” merupakanhal yang wajar ketika papra cenderkiawan dan ilmuwan resmi menulis tentang kepolisian. Ditambah lagi dengan upaya-upaya penguatan demokrasi di luar negeri yang kian meningkat.

Selanjutnya, membahas tntang kewenangan, yang wering menjadi perdebatan, tentunya harus dipahami kaitannya dengan kekuasaan. Hal ini diperlukan agar tidak rterjadi penyalahgunaan yang berujung pada tergerusnya kepercayaan mayarakat. Sebagai bagian dari produk kebijakan politik, maka Polri membangun cara-cara kontrol sosial dan aturan-aturan yang dirancang untuk membatasi perilaku individu-individu dalam batas-batas tertentu dan untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan untuk kepentingan seluruh masyarakat atau segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Di sini kita dapat melihat bagaimana kaitan antara prinsip demokrasi dan kewenangan yang dimiliki Polri.

Pengaruh adalah proses di mana perilaku, keputusan, atau saran dari satu atau lebih orang akan diikuti atau ditiru oleh orang lain. Pengaruh adalah suatu proses knformal kontrol sosial yang ketat yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi sosial yang erat, konstan, dan teratur.

Bentuk kontrol ini lebih kuat pada masyrakat berskala kecil, berstruktur erlatif sederhana, dan bercirikan interaksi tatap muka wsebagian besar anggotanya.

Sementara itu sekalipun pengaruh tidak selalu merupakan satu-satunya mekanisme kontrol politik dalam masyarakat demikian, ia adalah mekanisme yang amat menonjol. Yang paling khas dari pengaruh ialah bahwa pengaruh tidak mempunyai “gigi”. Pengaruh tidak menjamin bahwa keputusan-keputusan dan nasihat-nasihat akan dipatuhi, tetapi hanya kurang-lebih mungkin akan dipatuhi.

Seorang pemimpin politik yang hanya memiliki pengaruh, tidak mempunyai kemampuan untuk memaksa orang lain untuk melaksanakan perintahnya; ia hanya dapat menganjurkan, mengimbau, atau berharap agar dilaksanakan secara efektif.

Suatu mekanisme lain yangg sangat berbeda dalam menjalankan kontrol sosial ialah kekuasaan (power), suatu unsur penting kebanyakan sistem politik. Dengan mengubah sedikit definisi klasik yang dikemukakan Max Weber (1978, aslinya 1923), kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk mengendalikan perolaku orang lain, atau bahkan memadamkan usaha menentangnya.

Kekuasaan menggandung unsur yang tidak terdapat dalam pengaruh, yakni kemampuan untuk memadamkan perlawanan dan menjamin tercapainya keinginan dari pemegang kekuasaan itu. Jadi, di balik kekuasaan, ada ancaman paksaan atau kekuatan yang konstan kalau-kalau ada perintah atau keputusan yang tidak dipatuhi dengan sukarela. Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan itu, kekuasan perlu mengembangkan suatu tingkat organisasi tertentu.

Karena itu kekuasaan biasanya mulai tampak sebagai suatu ciri penting kehidupan sosial hanya pada peralihan ke masyarakat hortikultur yang intensif yang memiliki stratifikasi sosial. Pada tahap evolusi sosial inilah mesin administrasi yang diperlukan kekuasaan dapat terbentuk.

Kekuatan kekuasan berarti kekuasaan ditopang oleh kemampuan untuk menggunakan kekerasan. Secara paradoks, ini pulalah kelemahannya, karena kekerasan tidak selalu cukup untuk menang melawan keinginan orang dan kelompok-kelompok yang berada di bawahnya. Kelemahan kekerasan ialah bahwa kekerasan merupakan suatu alat dari luar untuk membuat orang patuh, kekerasan tidak memerlukan kokmtimen psikologis rehadap aturan-aturan dan perintah, tetai hanya menuntut aar aturan dan perintah ditaati.

Namun karena kekuasaan tidak memerlukan kepatuhan psikologis terhadap perintah, perintah mana dapat tidak berlaku atau diindahkan bial ancaman kekerasan tidak memadai. Pemegang kekuasaan sepanjnag sejarah umamt manusia jelas memahami kenyataan ini; dan untuk itulah mereka pada umumnya berkeinginan untuk mencapai bukan saja kepatuhan kepada perintah, tetapi juga komtimen psikologis terhadap perintah itu.

Identifikasi psikologis dengan kekuasaan memerintah tntu saja akan menaikkan kemungkinan kepatuhan. Apabila identifikasi prikologis seperti itu telah terbentuk, penggunaan kekuasaan menjadi absah –yakni, pembenaran atau rasionalisasi sebagai hak moral dan diangggap patut—oleh masyarakat sendiri. Bilamana ini terjadi, maka kkeuasaan akan memberi jalan kepada wewenang (authority), yakni bentuk politik yang oleh Weber diidentifikasi sebagai aturan seizin mereka diperintah.

Para sosiolog pada umumnya telah merumusman banyak konsep mengenai wewenang dan legitimasi, dan berpenapat bahwa rezim politik pada umumnya bertumpu pada wewenang bukannya kekerasan sewenang-wnang belaka (raw force) –bahwa rakyat telah menyerahkan hati dan pikiran mereka terhadap subordinasi mereka sendiri. Namun sebagian sosiolog mengemukakan bahwa gambaran sistem politik ini bukanlah gambaran yang realistik. Immanuel Wallerstein dan Pierre van den Berghe, misalnya menandaskan bahwa sebagian besar rezim politik tidak dilandaskan pada izin mereka yang diperintah. Mereka beranggapan bahwa kebanyakan sistetm politik yang kompleks sekaligus merupakan tirani yang bertumpu pada kekuatan dan kekerasan fisik.

Pendapat Wallerstein dan Van den Berghe mengandung pokok-pokok penting. Para ilmuwan sosial jelas telah membesar-besarkan legitimasi murni yang ada di dalam sistem politik. Banyak pemberontakan petani dan budak terjadi di sepanjang sejarah umat manusia, menjadi saksi kewenangan legitimasi politik. Namun, tampaknya pandangan Wallerstein dan van den Berghe berjalan terlalu jauh ke arah lain.

Memang, sejumlah sistem politik secara kuat ditopang oleh massa. Pemerintah Amerika Serikat kontemporer, misalnya, menikmati tingkat legitimasi yang besar, dan barangkali malah Soviet kontemporer demikian pula. Bagaimanapun, pertanyaan tentang sejauh mana politik mendapat legitimasi adalah pertanyaan empiris yang perlu dijawab secara kongkrit melalui penelitian kasus. (dikutip dari buku Democratic Policing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *