Connect with us

Feature

Mencari Cara Aman Memproses Tinja

Published

on

Jamban (WC) seperti ini masih cukup banyak dijumpai di kampung-kampung di Indonesia. Ternyata, masalah jamban besih, bukan hanya monopoli Indonesia, tetapi juga di banyak negara berkembang dan terbelakang. Hampir sepertiga penduduk dunia atau 2,3 milyar manusia tidak punya toilet modern.

 

KEDENGARANNYA agak jorok dan menjijikan. Bagaimana mungkin kita harus mengolah kotoran manusia alias tinja secara aman?  Inilah yang dipikirkan sejumlah peneliti Inggris dari Universitas Bath.

Mereka memutar otak untuk urusan tinja ini, mengingat hampir sepertiga penduduk dunia atau 2,3 milyar manusia, ternyata tak memiliki  toilet modern. Praktis, mereka  hanya menggunakan toilet jongkok yang menampung kotoran dalam sebuah lubang besar di bawah tanah. WC ala kadarnya itu boleh jadi berada di samping rumah, di pekarangan, di pinggir hutan atau di atas selokan atau sungai (ini yang banyak di tanah air).

Para peneliti  di Universitas Bath prihatin akan hal ini, dan tengah meriset bagaimana  menggunakan kotoran buatan, untuk mencari cara yang aman dalam memproses kotoran manusia. Mereka menciptakan kotoran buatan itu, dengan mencampur ragi yang biasa dipakai untuk membuat bir, pasta miso, serat semacam tanaman ganja, kertas toilet yang dilumatkan, minyak kacang, kalium pospat dan air.

Campuran itu punya sifat-sifat fisik dan kimiawi yang sama dengan kotoran manusia yang asli, yang di banyak negara miskin digunakan sebagai pupuk setelah dikeringkan. Jadi, kalau Anda disuruh memegang kotoran racikan itu, bisa jadi terbirit-birit.

Para ahli itu mengakui, bahwa  tidak mudah untuk menentukan apakah semua bakteri dan kuman sudah mati dalam proses pengeringan itu.  Seorang pakar pada Universitas Bath,  Naomi Deering mengungkapkan, kotoran buatan itu dipakai semata-mata untuk mencari sistem pengeringan yang terbaik.

“Kami ingin melihat dulu apakah kami bisa mengeringkan kotoran buatan ini dengan baik; dan berapa tinggi suhu yang terdapat dalam kotoran tadi, karena suhu yang tinggi penting untuk memastikan bahwa semua bakteri dan kuman sudah mati,” katanya seperti dikutip VOA.

Kotoran buatan yang  kental,  dikeringkan di bawa terik  sinar matahari, sebagai langkah untuk  menguapkan kandungan airnya. Temperatur kotoran itu meningkat dengan berkurangnya kadar air, dan panas itulah yang membunuhi bakteri patogen dan telur-telur parasit.

Setelah dikeringkan, dan mencapai kepadatan tertentu, barulah kotoran itu bisa dipegang dengan aman. Tim yang dipimpin oleh Naomi Deering menggunakan tingkat kelembaban, suhu dan kadar air yang berbeda untuk meniru kotoran manusia yang sesungguhnya, guna menentukan berapa lama proses pengeringan yang tepat.

Ini penting karena kotoran yang sudah disterilkan akan besar dampaknya bagi kesehatan dalam berbagai kelompok manusia. Kata Naomi Deering lagi:

“Tiap tahun, (sebanyak) 750 ribu anak di bawah usia lima tahun meninggal, karena berbagai penyakit yang terkait dengan diare. Belum lagi kalau dilihat banyaknya anak-anak yang terhambat pertumbuhan fisiknya karena diare, dan berapa banyak akan yang tidak bisa sekolah karena sakit. Kami sudah memperhitungkan bahwa untuk tiap dollar yang digunakan guna memperbaiki sistem sanitasi, keuntungan ekonominya akan berlipat lima.”

Para pakar berharap eksperimen dengan kotoran buatan itu akan membantu membuat petunjuk bagi warga setempat untuk memproses kotoran mereka dengan aman.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *