Kabar
Jangan Salah! Rapid Test Bukan untuk Diagnosa, Ini Penjelasannya

JAYAKARTA
NEWS—Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui Juru Bicara Pemerintah
untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, memberikan pemahaman bahwa rapid
test atau tes cepat yang dilakukan oleh pemerintah bukan untuk diagnosa,
melainkan untuk mengukur antibodi yang ada di dalam tubuh seseorang berbasis
respon imunologi.
Pada dasarnya tes cepat dilakukan untuk mengukur jumlah antibodi pada tubuh
manusia yang mana akan berfluktuasi apabila ada virus masuk ke dalam tubuh.
Data hasil pengukuran tersebut kemudian akan dijadikan sebagai sebuah deteksi
awal untuk pemeriksaan lebih lanjut.
“Rapid test tidak diarahkan untuk menegakkan diagnosa karena rapid test
yang kita gunakan adalah rapid test yang berbasis pada respon imunologi.
Kita tahu kalau virus masuk ke dalam tubuh kita maka tubuh secara otomatis akan
membentuk antibodi yang akan kita ukur dan inilah yang kemudian akan
dideteksi,” Kata Achmad Yurianto di Graha Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) Jakarta. Demikian dikutip dari laman bnpb.go.id
Jika pembacaan rapid test positif maka bisa dipastikan bahwa tubuh orang
itu pernah diinfeksi oleh virus atau sedang diinfeksi oleh virus karena sistem
kekebalan tubuhnya antobodinya ada. Namun saat hasil pembacaan rapid test
ini negatif tidak ada jaminan bahwa dia tidak terinfeksi virus, bisa saja dia
sudah terinfeksi tetapi antibodinya belum terbentuk.
“Kita paham bahwa pembentukan antibodi itu butuh waktu sampai dengan enam
atau tujuh hari, sehingga kalau infeksi itu belum enam atau tujuh hari kan kita
lakukan pemeriksaan hasilnya akan negatif,” kata dia.
Jika hasilnya negatif tanpa keluhan, orang tersebut disarankan untuk jaga
jarak, jika ada keluhan maka kita akan menyarankan untuk karantina diri dan
setelah 7 hari berikutnya akan dilakukan tes lagi.
“Jika positif, maka ini adalah guidance atau tuntunan bagi kita
untuk melakukan pemeriksaan antigen dengan menggunakan metode yang sudah kita
ketahui yaitu Real Time PCR,” ujarnya.
Namun jika setelah tujuh hari dilakukan pemeriksaan kedua masih tetap negatif,
maka yang bersangkutan diyakini saat ini sedang tidak terinfeksi.
“Bukan dia kebal, kalau dia tidak bisa menjaga diri dengan baik
mengabaikan kontak dekat (social distancing) tentang pembatasan aktivitas, bisa
saja dia tertular,” pungkasnya.***/ebn