Connect with us

Kabar

Dr Inayah Bicara tentang Cara Memahami Agama

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Agama  sangat diharapkan  memberikan kontribusi dan solusi dalam permasalahan kehidupan. Bukan sebaliknya muncul masalah dalam beragama, dan seolah agama “yang bermasalah”. Jika itu muncul tidak lain karena kesalahan memahami agama. Demikian antara lain disampaikan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr Inayah  Rohmaniyah, MA dalam webinar Kamis malam (21/4).

Webinar dalam memperingati Hari Kartini ini diselenggarakan Institut Leimena dan UIN Sunan Kalijaga dengan tema  Agama, Perempuan, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Selain Inayah, seminar yang  mengedepankan perempuan dalam perannya dalam masyarakat ini adalah Sekjen Jaringan Muslim Asia Dwi Rubiyanti Khafifah, Dr Chris Seiple (peneliti senior Universitas Wachington,Prof Katherine Marshall (Vice President, G20 Interfaith Association Senior Fellow Georgetown University), dan Pdt. Dr. Mery LY Koliman Ketua Majelis Gereja Masehi Injil di Timor.

Dalam kesempatan itu rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr Almakin  juga menyampaikan pandangannya terkait busana muslimah saat ini yang tak lepas dari pekembangan fashion dunia. Jilbab misalnya, yang akhirnya menjadi tren khususnya di Indonesia selama 20 tahun terakhir.

Menurut Dr Inayah, RA Kartini,  tokoh perempuan Indonesia abad 19 itu  dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan kritis. Terkait agama, Kartini pernah berkata, bagaimana aku bisa bicara tentang Islam karena nenek moyangku sebagai Islam. Aku tidak akan mengerti Islam kalau aku tidak  bisa memaknai apa itu Islam. Bagaimana aku bisa mencintai dan memahami agamaku jika aku tidak boleh mempelajari tentang Islam.

Ini pertanyaan kritis. Seharusnya, kata Inayah,  kita juga demikian, sehingga kita mengerti Islam tidak hanya karena kita mewarisinya,  tetapi kita betul-betul memahami, apa itu Islam, apa itu agama, dan bagaimana ketika kita berhubungan dengan agama yang lain.

Kartini sosok perempuan yang memiliki tradisi berpikir kritis. Ia mengatakan, alangkah bedanya kalau perempuan Indonesia memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik.  Kartini bermimpi, prempuan Indonesia memiliki pengetahuan yang luas, dan pendidikan yang tinggi. Perempuan yang bisa berpikir untuk kebahagiaan dirinya dan masyarakat.

Menerapkan norma-norma yang ada dalam Islam dalam kehidupan akan tercipta masyarakat yang damai. Kalau kemudian muncul  masalah, dan seolah-olah agama yang bermasalah, itu  karena kita yang salah memahaminya.

“Yang bermasalah bukan agamanya, tapi cara memahaminya, “ tegas Inayah. Nilai-nilai universal Islam,  lanjutnya, versi apapun baik Muhammadiyah, NU dan lainnya  yang harus dipegang adalah tauhid, bahwa Tuhan itu satu.

Lalu prinsip kesetaraan,  persaudaraan, keadilan, humanis, anti kekerasan, moderat, harus relevan di setiap zaman dan tempat. Itu baik-baik semua. Dan itu bukan hanya Islam. Tidak ada agama yang mengajarkan tidak baik. Pasti mengajarkan kebaikan dan Islam juga begitu karena Islam harus menjadi rahmat bagi semesta.

Kaitannya dengan perempuan, Islam secara normatif, juga tekstual bahwa laki-laki dan perempuan di hadapan Allah itu sama. Beberapa prinsip kesetaraan gender dalam Islam dipaparkan Inayah dalam beberapa surat. Diantaranya; 1. Laki-laki dan perempuan sama-sama hamba Allah Quran Surat (QS) Adz Dzariat 51:56, 2. Laki-laki dan perempuan  sama-sama sebagai khalifah Allah (QS Al-An` am (6):165, an Al-Baqarah (2):30, 3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial QS. Al-A`raf (7):172, 4. Laki-laki dan perempuan berpotensi sama dalam meraih prestasi QS Ali Imran (3):195, an-Nisa` (4), dan an-Nahl (16): 97 dan Ghafir (40):40

Dalam penerapannya, kadang kita temukan kebijakan yang diskriminatif antara perempuan dan laki-laki atas nama agama. “Jadi prinsip dalam mendekati atau dalam memahami tafsir agama harus menggunakan pendekatan multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin, “ kata Dekan Fak. Ushuluddin ini.

Dwi Rubiyanti/foto: tangkap layar iswati

Sementara itu, Dwi Rubiyanti yang sudah 15 tahun melakukan pendampingan di wilayah konflik untuk United National Security Council Resolution (UNSCR 1325)  tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan mengatakan, beragama itu harus membawa kebahagiaan pada setiap orang. Saya percaya, Islam rahmatan lilalamin atau kasih sayang semesta alam harusnya bisa membahagiakan semua orang.

Hal itu mudah dihafal tapi sulit untuk diamalkan. Identitas keagamaan dirinya tidak bisa dilepaskan dari identitas budaya. Ini yang menuntun Dwi melakukan pencarian spiritualitas dengan bekerja bersama perempuan-perempuan di Nusantara untuk menegaskan pentingnya beragama terbuka tanpa meninggalkan identitas sebagai orang indonesia.

“Pengalaman itu membuka pemikiran saya tentang pergerakan muslim progresif yang memfokuskan,  memperluas dan mengakarkan ajaran rahmatan lilalamin melalui pengajaran pemberdayaan perempuan dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas, “ ujar Dwi Rubiyanti.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perempuan dan dialog. Tentu saja dalam kerangka kerjanya Perempuan Perdamaian dan Keamanan. Pendekatan perempuan digunakan untuk mengasah dan menangkap narasi kehidupan dalam masyarakat.

Bekerja dengan perempuan selama 15 tahun, menurutnya,  tidak hanya menebalkan kepekaan kita pada lapis-lapis kerentanan konflik dan ekstremisme kekerasan yang dialami kelompok paling termarginal di masyarakat. Tetapi juga mengajarkan kita   untuk membaca setiap masalah dalam perspektif interseksional dan melibatkan aktor-aktor dari berbagai sektor. Ini akan memudahkan penerimaan dan keberlanjutan progam. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *