Connect with us

Feature

Doni Monardo, Tiga Hari tanpa Signal

Published

on

Catatan Egy Massadiah

Egy Massadiah

JAYAKARTA NEWS – Terapung-apung di atas rawa, dikelilingi hutan lebat dan tanpa signal HP selama tiga hari, dilakoni Letjen TNI (Purn) Dr (HC) Doni Monardo dengan enjoy. Itu terjadi setelah menempuh perjalanan panjang yang menguras rasa lelah disertai serangan kantuk, dari Palangkaraya menuju Katingan, Kalimantan Tengah.

Perjalanan sejauh 287 km itu harus ditempuh dalam waktu 6,5 jam. Sesampai di Katingan, masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki yang lumayan membuat otot paha kencang (bagi yang tidak biasa).

Kabupaten Katingan adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten yang beribu kota di Kasongan ini memiliki luas wilayah 17.500 km² dan berpenduduk 162.200 jiwa. Semboyan kabupaten ini adalah “Penyang Hinje Simpei” yang artinya Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama.

Pengalaman seru Doni disampaikan saat memberi kuliah umum (daring dan luring), kepada para mahasiswa kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cirendeu, Jakarta Selatan, Rabu (3/11/2021).

Pagi itu Doni berada di kampus UMJ, memenuhi undangan Kaprodi Fakultas Kedokteran UMJ, untuk memberi kuliah umum dengan topik “Lingkungan yang Sehat untuk Tubuh yang Sehat”. “Ini adalah kuliah pertama di masa pandemi. Tema kuliah umum selalu mengambil topik di luar ilmu kedokteran secara khusus, tetapi terkait dengan kebutuhan mahasiswa,” ujar Ani Hasibuan, sang tuan rumah.

Ani dalam kata pengantarnya juga mengatakan, Doni Monardo bukanlah ahli lingkungan, sebab dididik dan berkarier di dunia militer.

“Yang menarik, kiprah beliau di bidang lingkungan sangat luar biasa dan mendapat pengakuan banyak pihak. Dedikasinya terhadap lingkungan adalah inspirasi buat kalian para mahasiswa saat kelak terjun ke medan tugas sebagai dokter,” ujar dr Ani yang terkenal karena mengkritisi banyaknya kasus kematian petugas KPPS pada Pemilu 2019 itu.

Letjen TNI (Purn) Dr (HC) Doni Monardo

Doa bagi Syuhada

Usai sambutan Dekan FKK UMJ, Dr dr Muhammad Fachri, Sp.P, FAPSR, FISR serta perkenalan oleh moderator dr Muhammad Dwi Putra, Doni pun menuju mimbar. Kuliah umum diikuti tak kurang dari 450 peserta. Jumlahnya akan lebih besar jika ditambah dengan yang menyaksikannya lewat live-streaming di akun YouTube FKK UMJ.

Kehadiran jenderal purnawirawan bintang tiga ke lingkungan kampus, utamanya ke lingkungan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, tentu menjadi magnet tersendiri. Ditambah nama Doni Monardo yang diketahui publik sebagai Kepala BNPB merangkap Ketua Satgas Covid-19 (2019 – 2021).

“Tanggal 24 Oktober lalu kita merayakan Hari Dokter. Saya minta hadirin semua berdiri, kita berdoa sejenak untuk para dokter dan para tenaga medis yang telah gugur dalam tugas-tugas kemanusiaan,” ujar Doni Monardo di awal kuliah umumnya. Spontanitas Doni tadi benar-benar menghanyutkan suasana. Lebih dari itu, sangat menyentuh hati para dokter dan mahasiswa kedokteran yang mengikuti acara itu, baik langsung maupun secara daring.

Kuliah umum “Lingkungan yang Sehat untuk Tubuh yang Sehat” diawali Doni dengan sentuhan aspek spiritual. “Selama ini kita banyak mendapatkan pencerahan dari para ustadz dan guru-guru agama kita, mengenai hablum minallah dan hablum minannas. Masih ada satu hal lagi yang tidak boleh kita lupakan, yaitu hablum minal alam. Manusia harus menjaga keseimbangan hubungan dalam hidupnya. Baik kepada Tuhan, kepada sesama, juga kepada alam atau lingkungan,” ujar pria berdarah Minang kelahiran Cimahi, Jawa Barat itu.

Persoalan kesehatan dan lingkungan, sudah ada sejak awal peradaban manusia. Kini, persoalan berkembang semakin kompleks. Termasuk di bidang kesehatan, seperti adanya wabah Covid-19. Meski kalau kita buka buku sejarah, kita pernah mengalami pandemi flu Spanyol tahun 1916-1917, kira-kira seabad lalu. “Apakah ini siklus alam?” tanya Doni.

Saat terjadi wabah flu Spanyol, bangsa kita masih dalam cengkeraman penjajahan. Dari dokumen yan ada, korban di Hindia Belanda mencapai 13 persen dari populasi penduduk. Angkanya, sekitar 4 juta meninggal dunia, dari 35 juta penduduk saat itu. Korban terbesar ada di Madura dan Jawa Timur. Di susul Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara, saat ini).

Selain Flu Spanyol, kita juga pernah mengenal wabah lain seperti kolera, disentri, cacar, dan lain-lain. Kini, selain Covid-19, dunia kesehatan juga menghadapi lonjakan angka autis dan stunting. “Khusus stunting, ini adalah tantangan kita bangsa Indonesia bagaimana menguranginya,” kata Doni.

Persoalan lain, adalah ketimpangan jumlah dokter. “Kelihatannya Indonesia memiliki banyak dokter. Tetapi jika dihitung rasio menurut standar WHO yakni 1 orang dokter untuk 1.000 penduduk. Di Indonesia, hanya DKI Jakarta saja yang mendekati rasio tersebut, yaitu 1 : 1.765 jiwa. “Akan tetapi di luar Jawa, rasionya masih satu berbanding lima ribu jiwa lebih. Apalagi kalau kita pergi ke daerah terpencil, bisa dipastikan tidak ada dokter di sana,” kata Doni yang 50 persen karier militernya dihabiskan di medan operasi.

Jalan kaki menembus hutan Katingan. Insert: Peta Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. (ist)

Kelor dan Ikan Gabus

Kembali ke persoalan stunting, Doni menyebut alternatif penanganan yang sebenarnya bisa dilakukan. Antara lain melalui perbaikan lingkungan, sanitasi, dan gizi wanita di saat hamil, secara bersamaan.

“Bisa juga melalui asupan daun kelor. Adik-adik mahasiswa, jujur saja, apakah ada yang pernah makan daun kelor? Atau bahkan ada yang sama sekali tidak tahu daun kelor? Hayo, yang jujur ngaku tidak tahu daun kelor tunjuk tangan jangan malu, nanti saya beri hadiah,” ujar Doni, mengintermezo suasana.

Kuliah umum hari itu benar-benar bernas. Bukan saja diberikan oleh seorang jenderal, penggiat lingkungan, lebih dari itu, Doni Monardo adalah penyandang gelar Doktor Honoris Causa dari IPB University di bidang Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Bisa dipastikan, ilmu dan pengetahuan Doni untuk topik yang dikuliahkan, tidak akan habis satu semester. Akhirnya, pengalaman-pengalaman pribadi di bidang lingkungan, oleh Doni hanya bisa disampaikan laiknya kilasan peristiwa.

Ia memberi contoh aktivitasnya pekan lalu. Tiga hari ia masuk ke pedalaman Kalimantan Tengah, menuju Katingan.

“Lahan gambut yang dikelola dengan baik, akan meminimalisir kebakaran hutan. Sedangkan, budidaya ikan gabus di dalamnya, bisa memberi asupan nustrisi bagi masyarakat. Mengonsumsi ikan gabus, bisa mencegah stunting,” papar Doni.

Di lokasi pedalaman Kalimantan Tengah, juga menjanjikan sektor pariwisata petualangan yang sangat eksotik. “Selama di sana, HP kami simpan. Soalnya tidak ada signal,” ujar Doni sambil tertawa. Ia melanjutkan, “Kami tidur di atas perahu di perairan sekitar lahan gambut, dikelilingi hutan perawan. Sungguh sebuah pengalaman berwisata yang sangat mengesankan. Para turis, utamanya turis asing, sangat menyukainya.”

Inisiatif dan inovasi masyarakat, bahkan berhasil mendapatkan albumin. “Saudara-saudara mahasiswa kedokteran tahu persis apa itu albumin dan manfaatnya,” kata Doni. Albumin digunakan untuk mengatasi hipoalbuminemia, yaitu rendahnya kadar albumin dalam darah. Albumin juga digunakan untuk menangani shock hypovolemia akibat cedera atau luka bakar yang parah. Albumin merupakan protein utama di dalam darah manusia.

Inovasi masyarakat yang sudah dimulai di Siak, Riau, yang menghasilkan ekstrak untuk mendapatkan albumin tadi, bahkan memperoleh penghargaan saat dipresentasikan di MIT (Massachusetts Institute of Technology), Amerika Serikat. “Sungguh luar biasa,” tambahnya. Hal serupa kemudian dirintis juga di Katingan, Kalteng.

Doni berharap, pengelolaan lahan gambut dibarengi budidaya ikan gabus, bisa dikembangkan. Jika itu dilaksanakan, kebakaran hutan bisa ditekan. “Api hanya takut satu, yaitu takut air. Manakala lahan gambut dikeringkan, ia akan mudah terbakar, tetapi selama lahan gambut tetap basah, dijadikan rawa-rawa, api tidak akan bisa menyentuh,” ucap Doni.

Diilustrasikan, dampak kebakaran lahan gambut sangat serius. Jika gambut sudah terbakar, sangat sulit dipadamkan, tidak bisa juga menggunakan water bombing. “Tahun 2015, kebakaran hutan di Indonesia khususnya gambut, mencapai 2,6 juta hektare. Kerugian ekonomi yang dievaluasi World Bank mencapai 16 miliar dollar AS. Lebih besar dibanding kerugian ekonomi akibat tsunami aceh tahun 2004 lalu,” papar Doni, fasih.

Bukan hanya itu. Emisi karbon yang dihasilkan selama kebakaran gambut tahun 2015, oleh sejumlah ahli disebutkan, sama besarnya denga emisi dunia selama setahun. Ratusan ribu orang mengalami gangguan pernapasan. “Bersyukur dua tahun terakhir el nina tidak melanda wilayah Indonesia. Yang kita hadapi cuaca el nina, yang faktor basahnya lebih banyak. Saya tak bisa membayangkan, kalau kita menghadapi dampak el nina, Covid-19, dan karhutla sekaligus,” katanya.

Lain stunting, lain pula autis. Tahun 80-an, masih jarang kita dapati anak autis. Sekarang, sekolah autis ada di mana-mana, dan terbanyak di wilayah Jakarta Utara. Doni menengarai, wilayah Jakarta Utara dekat dengan laut yang tercemar. Baru-baru ini ada sebuah penelitian di Teluk Jakarta yang menyebutkan tingginya tingkat pencemaran di sana.

“Hasil penelitian, air di Teluk Jakarta mengandung aneka logam berat, merkuri, kadmium, timbal, dan lain sebagainya. Itu terjadi karena seluruh limbah daratan dilepas ke laut lewat sungai-sungai. Termasuk limbah rumah sakit,” ujar Doni prihatin.

Ke mana pun, Doni selalu membawa tumbler.

Gunakan Tumbler

Doni mempertanyakan, mengapa bangsa Indonesia yang mayoritas Islam, angka perusakan lingkungan masih sangat tinggi. Padahal, Islam adalah rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam semesta. Para peserta kuliah umum, oleh Doni Monardo diminta menjadi motor perubahan perilaku. Cegah masyarakat membuang sampah ke sungai. Kurangi penggunaan plastik, karena plastik menjadi penyebab kerusakan ekosistem di banyak negara termasuk Indonesia.

“Karena itu, ke mana-mana saya membawa tumbler. Saya anti minuman dalam kemasan plastik. Bisa ditelusuri, di mana pun saya bertugas, dalam setiap acara yang saya selenggarakan, tidak saya sediakan minuman dalam kemasan plastik, melainkan kami sediakan minum dengan gelas,” ujar Doni, seraya menambahkan, “ini hal yang sederhana tapi sering luput dari perhatian kita.”

Karena itu, Doni berpesan kepada para calon dokter peserta kuliah umum hari itu. “Dokter tidak cukup hanya mengobati pasien, tapi juga menyampiakan pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan,” tegasnya.

Doni mengisahkan, suatu hari di tahun 2018, saat ia menjabat Pangdam III/Siliwangi kedatangan teman baiknya, Prof Wiku Adisasmito. Ia kini Ketua Tim Pakar sekaligus Jubir Satgas Covid-19. Kepada Doni, Wiku minta bantuan agar rumah sakit yang dikelola Kodam bisa menyediakan lebih banyak alat cuci darah.

Doni tentu saja kaget, dan bertanya, “Kenapa?” Jawabnya, hampir semua rumah sakit swasta di Bandung kesulitan alat cuci darah karena banyaknya pasien ginjal. Doni kembali mengajukan pertanyaan yang sama, “Kenapa?” Jawabnya, karena banyak masyarakat mengonsumsi makanan yang mengandung logam berat, pestisida, urea, dan bahan kimia lain, ditambah limbah industri.

Kembali Doni Monardo mengisahkan pengalamannya saat berdinas di lingkungan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Selama karier militer, tercatat empat kali ia mendapat penugasan di Paspampres, mulai dari Dandenma Paspampres (2001-2003), Waasops Dan Paspampres (2004-2006), Dan Grup A Paspampres (2008-2010), dan puncaknya sebagai Komandan Paspampres (2012-2014).

Ke mana pun Presiden melawat, Paspampres hadir lebih dahulu. Menyiapkan pengamanan presiden, termasuk mengecek menu yang hendak dihidangkan. “Ini persoalan serius yang bisa berdampak serius pula terhadap kesehatan masyarakat kita,” papar Doni.

Petaka Merkuri

Sebagai jenderal yang getol merawat dan menjaga lingkungan, Doni lalu mengisahkan pengalaman tak terlupakan saat menjabat Pangdam XVI/Pattimura, Maluku. Tak lama duduk di kursi panglima, Doni mendapati data, ribuan orang telah meninggal dunia karena konflik di sebuah tambang emas.

Bukan hanya itu, Doni juga mendapatkan data, para penambang emas tradisional itu menggunakan merkuri dalam aktivitasnya. “Saya langsung tergerak untuk berbuat. Tidak saja untuk menyelamatkan manusia, tapi juga menyelamatkan lingkungan akibat merkuri,” tegasnya.

Begitu Doni Monardo turun tangan, ada saja kolega maupun rekannya sesama anggota TNI yang mengatakan, “Ngapain urus yang begitu-begitu. Itu bukan tanggung jawab tentara. Tugasmu cukup menyiapkan pasukan menghadapi operasi militer,” kata Doni menirukan “nasihat” rekannya.

Prinsip Doni, tidak masalah jika ia tidak membantu, tapi harus ada yang membantu. Sementara Presiden sudah memerintahkan penertiban penambang illegal, apalagi yang menggunakan merkuri. Itu perintah bulan Mei 2015, sedangkan Doni dilantik menjadi Pangdam di Maluku Agustus 2015. Toh, ia melihat, tidak satu pun aparat daerah yang bergerak menertibkan. Sementara korban terus berjatuhan, dan penggunaan merkuri terus merajalela.

Doni langsung menugaskan Kakesdam untuk mengambil sampel ikan, kepiting, dan cumi dan beberapa jenis hewan laut di parairan Pulau Buru. Hasilnya, kadar merkuri dan sianida dalam ikan-ikan yang diperiksa tadi telah melampaui ambang batas. Sangat tidak layak dikonsumsi. Itu semua karena limbah merkuri di penambangan emas tadi.

Yang lebih dahsyat, buaya-buaya pun ikut mati gara-gara merkuri. Termasuk ternak peliharaan rakyat. “Saya tidak bisa tinggal diam. Jika dibiarkan, maka prajurit saya termasuk anak-anak dan istrinya, bisa jadi korban juga. Bahkan saya pun bisa jadi korban,” kata Doni.

Doni melakukan banyak langkah, dipuncaki dengan melapor ke Presiden Joko Widodo. Ujungnya adalah pengesahan UU No 11 Tahun 2017, tentang Pengesahan Minamata Convention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri).

Meski sudah ada UU, tapi praktiknya perusakan ekosistem masih berlangsung. Sebagian penambang liar misalnya, tidak peduli ancaman merkuri asal bisa mendapatkan uang dalam waktu cepat. Mereka tidak sadar, bahwa wanita hamil yang kemudian melahirkan bayi cacat fisik, itu akibat dari asupan makanan dan minuman yang tercemar merkuri.

Begitu buruknya dampak merkuri, sampai-sampai seorang teman Doni Monardo yang eksportir ikan, pernah mengalami hal buruk. Ikan-ikan kirimannya dikembalikan karena mengandung merkuri. “Padahal potensi perikanan negara kita luar biasa. Ada 12,5 juta ton perikanan tangkap yang bisa diambil. Kalau kita maksimalkan, bukan saja membawa dampak positif terhadap perekonomian negara, tapi sekaligus bisa mengatasi stunting,” ujar Doni Monardo.

Dicontohkan, ikan-ikan terbaik dari perairan Indonesia sangat diminati bangsa lain. Contohnya, ikan tuna, tuna sirip kuning (yellowfin) diminati pasar Jepang bahkan Amerika Seriakt. “Sayang, kita sendiri hanya makan ikan yang sudah diawetken, alias ikan asin. Walaupun saya sendiri penggemar ikan asin. Tapi tentu saja kualitas ikan asin jauh di bawah tuna sashimi,” kata Doni sambil tertawa.

Doni juga teringat, bagaimana ibunya dulu minta Doni mengonsumsi ikan. Setiap memberi makan dengan lauk ikan, ibunya akan merayu dengan kata-kata, “Ayo makan ikan, biar tinggi. Kalau tidak makan ikan, nanti kamu pendek kayak orang Jepang,” Doni menirukan ibundanya saat memberinya makan ikan, dulu.

Apa yang terjadi hari ini? Warga Jepang yang dulu memang terkenal pendek-pendek, lalu digenjot untuk mengonsumsi ikan. Hasilnya per hari ini, tinggi orang Jepang rata-rata di atas 170 cm. Jauh melampaui tinggi rata-rata bangsa Indonesia. Sementara, Doni Monardo, berkat konsistensi ibunya memberi asupan ikan, tinggi badannya 180 cm. “Jadi, kalau ingin program Indonesia Emas 2045 terwujud, salah satunya adalah menggenjot konsumsi ikan. Kalau tidak, maka tidak akan ada Indonesia emas, yang ada adalah Indonesia cemas,” ujar Doni sambil tersenyum.

Presiden Joko Widodo dan Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo, di tepi Sungai Citarum. (ist)

Citarum Harum

Pada bagian akhir kuliah umumnya, Doni Monardo juga berbagi pengalaman di Sungai Citarum. Ia menjabat Pangdam III/Siliwangi tahun 2017-2018. Sebelumnya, Doni sering “dipermalukan” jika melihat tayangan televisi, utamanya di luar negeri tentang sungai Citarum. Sungai jantungnya Jawa Barat itu dijuluki sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.

Makin viral saja kondisi memprihatinkan tadi, begitu ada aktivis lingkungan asal Perancis, Gary Bencheghib membuat perahu kano dari rangkaian botol-botol air mineral dan mendayung di lautan sampah sungai Citarum. Foto itu kemudian tersebar ke seluruh dunia.

Alhasil, ketika Doni menjabat Pangdam, bayangan Citarum tercemar langsung terngiang-ngiang di benak. Seketika, muncul greget di hatinya, untuk mengatasi pencemaran hebat di sungai sepanjang 270 km tadi. “Saat briefing staf, saya sampaikan di depan kita ada persoalan yang menantang, yaitu Sungai Citarum yang begitu kotor, tapi kalian biarkan. Kalau kalian mengatakan bukan tanggung jawab kita, OK, tapi ingat, ada 8 Wajib TNI yang salah satunya adalah TNI menjadi contoh, mempelopori dan mengatasi kesulitan rakyat,” kata Doni.

Di sisi lain, Doni mendapat informasi bahwa pemerintah pusat telah mengeluarkan uang lebih dari 100 triliun rupiah sejak tahun 1980, untuk menuntaskan pencemaran sungai Citarum. Tapi, toh belum berhasil, bahkan kondisinya semakin parah.

Doni pun memotivasi prajuritnya dengan menunjuk badge Siliwangi dengan logo “maung” (harimau). “Kalau kita biarkan rakyat sepanjang sungai Citarum sengsara karena pencemaran, itu sama artinya kita sudah kehilangan sifat patriotisme sebagai anggota TNI. Jangsan sampai, ‘maung’ berubah menjadi ‘meong’,” kata Doni. Dari situ, para prajurit Siliwangi bersemangat dan antusias untuk mendukung program Doni Monardo membersihkan Sungai Citarum.

Aksi itu kemudian digulirkan lebih besar. Doni menjumpai Gubernur Jawa Barat, Achmad Heryawan (Aher) ketika itu, untuk mengumpulkan seluruh Bupati/Walikota terkait program Citarum Harum. Gubernur Aher pesimis, dan meminta Doni selaku Pangdam yang mengundang, tapi secara tupoksi, hal itu tidak mungkin. “Sehingga saya sampaikan, pak Gubernur yang mengundang, nanti saya yang mengawal,” kata Doni.

Doni pun menugaskan para Dandim di lingkungan Kodam Siliwangi untuk mengantar undangan gubernur tadi kepada bupati/walikota di tempat tugas masing-masing. “Saya katakan, kalau sampai gagal mendatangkan bupati/walikota, maka akan saya ‘evaluasi’,” kata Doni sambil tertawa.

Yang terjadi kemudian, seluruh bupati/walikota yang diundang, hadir memenuhi undangan Gubernur Aher. “Pak Gubernur sampai heran. Beliau bilang, selama dua periode menjabat gubernur, baru kali ini mengundang para bupati/walikota, dan hadir semua,” kata Doni.

Program Citarum Harum pun sampai pada puncak keputusan politik, setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2018, tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum yang berdurasi 7 (tujuh) tahun (2018 – 2025).

“Hari ini, setelah kurang lebih tiga tahun Perpres berjalan, alhamdulillah, kondisi sungai Citarum berangsur membaik. Hasil penelitian terakhir kadar pencemaran air Sungai Citarum menurun drastis menjadi tercemar ringan. Di sejumlah anak sungai Citarum sudah ditemui ikan-ikan. Bahkan di beberapa anak sungai, air sudah kembali jernih dan bisa dipakai berenang anak-anak. Hulu Citarum di Cisanti, juga sudah tidak gundul setelah dilakukan reboisasi,” papar Doni.

Doni lalu memutarkan video seputar Citarum Harum. Ia berharap, program yang diprakarsainya sejak tahun 2017 itu akan terus lestari. Ancaman serius pencemaran Citarum datang dari 3.000 pabrik tekstil yang membuang limbah ke Citarum. Karena itu, Satgas Citarum harus terus bekerja mengawasi secara ketat.

Kunci sukses program Citarum Harum terletak pada perubahan perilaku. Perubahan perilaku tidak bisa dipaksakan dengan senapan atau senjata. Mengutip kata bijak Lau Tse (571 SM), “kenali rakyatmu, hiduplah bersama mereka….” maka Doni Monardo pun meminta para prajurit Siliwangi tinggal di rumah penduduk, hidup bersama mereka, dan dari sana mengubah perilaku masyarakat.

Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *