Kolom
Cerita tentang Ismail Haniyeh, Tokoh Karismatik Palestina
JAYAKARTA NEWS – Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh tewas pada Rabu (31/7) dini hari waktu setempat. Ia meninggal saat beristirahat di Teheran, Iran.
Sebelumnya, media pemerintah Iran dan Hamas mengindikasikan Haniyeh terbunuh oleh roket yang ditembakkan dari luar gedung tempat ia menginap.
“Rezim Zionis kriminal dan teroris telah membunuh tamu kami yang kami sayangi di rumah kami dan membuat kami bersedih, namun mereka juga menyiapkan hukuman berat untuk dirinya sendiri,” demikian pernyataan dari Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Ismail Haniyeh adalah seorang tokoh politik Palestina yang menjabat sebagai Ketua Biro Politik Hamas. Ia lahir pada 29 Januari 1962 di kamp pengungsi Al-Shati di Jalur Gaza. Haniyeh telah menjadi salah satu figur paling menonjol dalam politik Palestina dan gerakan Hamas selama beberapa dekade terakhir.
Masa Kecil dan Pendidikan
Haniyeh lahir dan dibesarkan di kamp pengungsi Al-Shati, salah satu kamp pengungsi terpadat di Jalur Gaza. Orang tuanya adalah pengungsi dari kota Ashkelon (Al-Majdal) yang melarikan diri ke Gaza selama peristiwa Nakba pada tahun 1948. Seperti banyak anak Palestina lainnya yang tumbuh di kamp pengungsi, Haniyeh mengalami kesulitan ekonomi dan ketidakstabilan politik sejak usia dini.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Haniyeh berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah-sekolah yang dikelola oleh UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Ia kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di sekolah Al-Karmel di Gaza City.
Setelah lulus sekolah menengah, Haniyeh mendaftar di Universitas Islam Gaza, di mana ia belajar sastra Arab. Selama masa kuliahnya, ia mulai terlibat dalam aktivisme politik mahasiswa dan bergabung dengan kelompok Islamis Palestina. Ia lulus dengan gelar sarjana sastra Arab pada tahun 1987, tepat ketika Intifada Pertama meletus.
Awal Karir Politik
Keterlibatan Haniyeh dalam politik mahasiswa membuatnya menjadi tokoh yang menonjol di kalangan aktivis muda Palestina. Ia bergabung dengan Persatuan Mahasiswa Islam, yang memiliki hubungan erat dengan Ikhwanul Muslimin. Pada periode ini, ia mulai membangun hubungan dengan tokoh-tokoh yang kemudian akan mendirikan Hamas, termasuk Sheikh Ahmed Yassin.
Ketika Intifada Pertama pecah pada Desember 1987, Haniyeh menjadi salah satu aktivis utama dalam pemberontakan tersebut. Perannya dalam mengorganisir protes dan perlawanan terhadap pendudukan Israel membuatnya menjadi target penangkapan. Ia ditahan beberapa kali oleh pasukan Israel selama periode ini.
Pada tahun 1988, ketika Hamas secara resmi didirikan sebagai cabang Palestina dari Ikhwanul Muslimin, Haniyeh menjadi salah satu anggota awalnya. Ia dengan cepat naik dalam jajaran organisasi tersebut berkat kemampuan organisasinya dan dedikasinya terhadap perjuangan Palestina.
Pengasingan dan Kembali ke Gaza
Pada tahun 1992, bersama ratusan aktivis Hamas lainnya, Haniyeh dideportasi oleh Israel ke Lebanon selatan. Pengasingan ini berlangsung selama satu tahun, selama periode tersebut para aktivis Hamas yang dibuang mendirikan kamp sementara di “tanah tak bertuan” antara Israel dan Lebanon.
Pengalaman di pengasingan ini memperkuat komitmen Haniyeh terhadap perjuangan Palestina dan memperdalam hubungannya dengan kepemimpinan senior Hamas. Setelah diizinkan kembali ke Gaza pada tahun 1993, Haniyeh melanjutkan perannya dalam Hamas, menjadi salah satu pemimpin utama organisasi tersebut di Jalur Gaza.
Naiknya Haniyeh dalam Jajaran Hamas
Selama tahun 1990-an dan awal 2000-an, Haniyeh terus naik dalam jajaran Hamas. Ia menjadi asisten dekat Sheikh Ahmed Yassin, pendiri dan pemimpin spiritual Hamas. Posisi ini memberinya pengalaman berharga dalam kepemimpinan dan strategi politik.
Haniyeh juga berperan penting dalam mengembangkan sayap politik Hamas dan memperluas pengaruh organisasi di antara masyarakat Palestina. Ia terlibat dalam berbagai program sosial dan amal yang dijalankan Hamas, yang membantu meningkatkan popularitas gerakan tersebut.
Pada tahun 2003, Haniyeh selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel yang menargetkan pertemuan pimpinan Hamas, termasuk Sheikh Yassin. Peristiwa ini semakin meningkatkan profilnya dalam organisasi dan di antara pendukung Hamas.
Menjadi Perdana Menteri Palestina
Titik balik besar dalam karir politik Haniyeh terjadi pada tahun 2006, ketika Hamas memutuskan untuk berpartisipasi dalam pemilihan legislatif Palestina. Hamas memenangkan mayoritas kursi dalam Dewan Legislatif Palestina, mengalahkan partai Fatah yang telah lama berkuasa.
Sebagai hasil dari kemenangan ini, Haniyeh ditunjuk sebagai Perdana Menteri Otoritas Palestina pada Maret 2006. Pengangkatannya menandai pergeseran signifikan dalam politik Palestina dan menciptakan ketegangan dengan Israel dan negara-negara Barat yang menganggap Hamas sebagai organisasi teroris.
Masa jabatan Haniyeh sebagai Perdana Menteri ditandai oleh konflik internal Palestina dan tekanan internasional. Pemerintahannya menghadapi boikot ekonomi dan diplomatik dari Israel dan negara-negara Barat, yang menuntut Hamas untuk mengakui Israel, menolak kekerasan, dan mematuhi perjanjian sebelumnya.
Konflik dengan Fatah dan Perpecahan Palestina
Ketegangan antara Hamas dan Fatah meningkat selama masa pemerintahan Haniyeh. Upaya untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional gagal, yang menyebabkan konflik bersenjata antara kedua faksi pada tahun 2007.
Konflik ini berujung pada pengambilalihan Gaza oleh Hamas, sementara Fatah mempertahankan kontrol atas Tepi Barat. Akibatnya, terjadi perpecahan de facto dalam pemerintahan Palestina, dengan Haniyeh tetap menjabat sebagai Perdana Menteri di Gaza sementara pemerintahan yang diakui secara internasional dipimpin oleh Fatah di Tepi Barat.
Meskipun Presiden Palestina Mahmoud Abbas secara resmi membubarkan pemerintahan Haniyeh pada Juni 2007, Hamas terus mengakuinya sebagai Perdana Menteri yang sah di Gaza. Situasi ini menciptakan dualisme politik yang terus berlanjut hingga saat ini.
Kepemimpinan di Gaza
Sebagai de facto pemimpin Gaza, Haniyeh menghadapi berbagai tantangan, termasuk blokade Israel dan Mesir, konflik berkala dengan Israel, dan kesulitan ekonomi yang parah. Di bawah kepemimpinannya, Hamas berusaha mempertahankan kontrolnya atas Gaza sambil menghadapi tekanan internasional dan regional.
Haniyeh memimpin Gaza melalui beberapa konflik besar dengan Israel, termasuk operasi militer Israel pada tahun 2008-2009, 2012, dan 2014. Selama periode ini, ia menjadi juru bicara utama Hamas, sering muncul di media untuk menyampaikan posisi organisasi dan menggalang dukungan internasional untuk perjuangan Palestina.
Meskipun menghadapi kritik internasional atas taktik militer Hamas dan penolakannya untuk mengakui Israel, Haniyeh tetap populer di kalangan banyak warga Palestina di Gaza. Ia dipandang oleh para pendukungnya sebagai simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel dan tekanan internasional.
Ketua Biro Politik Hamas
Pada tahun 2017, Haniyeh terpilih sebagai Ketua Biro Politik Hamas, menggantikan Khaled Mashal. Posisi ini membuatnya menjadi pemimpin tertinggi organisasi secara keseluruhan, bukan hanya di Gaza. Pengangkatan ini menandai pengakuan atas perannya yang semakin penting dalam gerakan tersebut dan kemampuannya untuk menyeimbangkan berbagai faksi dalam Hamas.
Sebagai Ketua Biro Politik, Haniyeh telah berupaya untuk memperluas hubungan internasional Hamas. Ia telah melakukan kunjungan ke berbagai negara, termasuk Iran, Turki, dan beberapa negara Arab, dalam upaya untuk mendapatkan dukungan diplomatik dan finansial untuk Hamas dan perjuangan Palestina.
Haniyeh juga telah memainkan peran kunci dalam upaya rekonsiliasi dengan Fatah, meskipun upaya-upaya ini belum berhasil sepenuhnya. Ia telah menyerukan persatuan Palestina dan pembentukan strategi nasional yang terpadu untuk menghadapi pendudukan Israel.
Ideologi dan Pandangan Politik
Secara ideologis, Haniyeh adalah seorang Islamis yang berkomitmen pada visi Hamas tentang Palestina. Ia mendukung pendirian negara Palestina di seluruh wilayah historis Palestina, termasuk wilayah yang saat ini menjadi Israel. Namun, ia juga telah menunjukkan pragmatisme dalam beberapa kesempatan, mengisyaratkan kemungkinan penerimaan solusi dua negara sebagai pengaturan sementara.
Haniyeh dikenal dengan retorikanya yang kuat terhadap Israel dan dukungannya terhadap perlawanan bersenjata. Namun, ia juga telah menunjukkan kesediaan untuk bernegosiasi dan telah terlibat dalam pembicaraan gencatan senjata dengan Israel melalui perantara.
Dalam hal kebijakan internal Palestina, Haniyeh telah menekankan pentingnya reformasi politik, pemberantasan korupsi, dan peningkatan layanan sosial. Ia sering mengkritik Otoritas Palestina pimpinan Fatah atas apa yang ia anggap sebagai kegagalan dalam mewakili kepentingan rakyat Palestina.
Tantangan dan Kontroversi
Kepemimpinan Haniyeh tidak lepas dari kontroversi dan kritik. Pemerintahannya di Gaza telah dikritik oleh organisasi hak asasi manusia atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembatasan kebebasan pers dan penindasan terhadap oposisi politik.
Keputusan Hamas untuk mempertahankan kapasitas militernya dan melanjutkan konfrontasi bersenjata dengan Israel juga telah mengundang kritik dari beberapa pihak yang menganggap strategi ini kontraproduktif dan merugikan warga sipil Palestina.
Di panggung internasional, status Haniyeh sebagai pemimpin organisasi yang dianggap teroris oleh banyak negara Barat telah membatasi kemampuannya untuk terlibat dalam diplomasi internasional. Ia tetap menjadi tokoh yang kontroversial di mata banyak pemerintah asing.
Kehidupan Pribadi dan Kepribadian
Meskipun ia adalah tokoh publik yang menonjol, Haniyeh dikenal memiliki gaya hidup yang relatif sederhana. Ia masih tinggal di kamp pengungsi Al-Shati tempat ia dibesarkan, meskipun dalam rumah yang lebih besar. Kesederhanaannya ini telah membantu mempertahankan citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Haniyeh menikah dan memiliki 13 anak. Keluarganya telah menjadi sasaran serangan Israel beberapa kali, dengan beberapa anggota keluarga terluka atau terbunuh dalam serangan udara.
Dalam interaksi pribadinya, Haniyeh digambarkan sebagai orang yang karismatik dan artikulatif. Ia dikenal memiliki kemampuan oratoris yang kuat dan dapat berkomunikasi secara efektif dengan berbagai audiens, dari pendukung akar rumput hingga diplomat internasional.
Dampak dan Warisan
Ismail Haniyeh telah menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam politik Palestina kontemporer. Kepemimpinannya telah membantu mempertahankan posisi Hamas sebagai kekuatan politik utama di Palestina, meskipun menghadapi tekanan internasional yang intens dan konflik berkepanjangan dengan Israel.
Perannya dalam mengubah Hamas dari gerakan perlawanan bersenjata menjadi kekuatan politik yang mampu memenangkan pemilihan dan menjalankan pemerintahan, meskipun terbatas di Gaza, telah mengubah lanskap politik Palestina secara signifikan.
Namun, warisan Haniyeh juga mencakup perpecahan yang berkelanjutan dalam politik Palestina dan hubungan yang terus tegang dengan Israel dan banyak negara Barat. Visinya tentang perlawanan bersenjata dan penolakannya untuk mengakui Israel telah mempertahankan siklus konflik yang telah memakan korban jiwa yang besar dan membatasi prospek perdamaian.
Terlepas dari kontroversi yang mengelilinginya, Haniyeh tetap menjadi figur yang berpengaruh dalam perjuangan Palestina. Kemampuannya untuk bertahan dalam kepemimpinan Hamas selama periode yang penuh gejolak telah membuktikan ketahanan politiknya.
Ismail Haniyeh adalah tokoh yang kompleks dan kontroversial dalam politik Palestina. Perjalanan hidupnya dari kamp pengungsi hingga menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh di Palestina mencerminkan dinamika rumit konflik Israel-Palestina dan politik internal Palestina.
Sebagai pemimpin Hamas, Haniyeh telah memainkan peran kunci dalam membentuk arah perjuangan Palestina selama dua dekade terakhir. Kepemimpinannya telah ditandai oleh komitmen yang teguh terhadap perlawanan terhadap Israel, upaya untuk memperkuat posisi Hamas baik secara domestik maupun internasional, dan tantangan dalam mengelola Gaza di bawah blokade dan konflik yang berkelanjutan.
Warisan Haniyeh kemungkinan akan tetap menjadi subjek perdebatan. Bagi pendukungnya, ia adalah simbol perlawanan dan kegigihan Palestina dalam menghadapi kesulitan yang luar biasa. Bagi kritiknya, kebijakannya telah berkontribusi pada perpanjangan konflik dan penderitaan rakyat Palestina.
Terlepas dari penilaian akhir tentang kepemimpinannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Ismail Haniyeh telah menjadi salah satu tokoh paling penting dan berpengaruh. (Heri)