Connect with us

Feature

“Ajari Aku Cara Marah yang Baik”

Published

on

Jayakarta News – Tito Pangesti Aji, warga Ngestiharjo, Wates, Kulonprogo, Yogyakarta tampak belum move on atas peristiwa yang menimpa putranya, Mantra (15), siswa kelas X SMK Negeri 1 Temon, Kulonprogo. Putranya mengalami tindak kekerasan di dalam kelas yang dilakukan oleh 8 orang seniornya pada saat istirahat, 10 September lalu.

Kini kasusnya masih berlanjut. “Saya kini didampingi 3 pengacara,“ kata Tito. Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak juga cukup intens mengawal kasus ini. Sang anak minta pindah sekolah, dan kini belajar di sebuah sekolah swasta.

Kepala Sekolah mengaku salah, dan meminta agar Mantra tidak keluar. Saya hanya menjawab, “Mantra tidak mau lagi sekolah di sini. Dia minta pindah sekolah. Seandainya masih mau melanjutkan di sini, saya akan melarangnya. Saya tidak percaya sekolah ini bisa menciptakan suasana yang aman dan nyaman  untuk siswa,” papar Tito. “Apalagi masih terus diteror karena dikira dia yang melapor ke polsi.”

Awal kejadian dia memang marah, tapi ketika datang ke sekolah, bukan suara keras yang dia lontarkan, suaranya juga lemah. Kesannya malah seperti orang sedang menasihati. Di depan kepala sekolah SMK Negeri Temon, Fauzi Rokhman, sikapnya ia rasa sebagai antiklimaks dari emosinya semula. Padahal kepala sekolah sudah mengakui bahwa pihaknya kecolongan.

“Saya lupa  bahwa saya sedang marah ketika menunjukkan hal yang keliru dan salah atas tata-tertib di lingkungan sekolah kepada para guru. Protes kerasku kusampaikan dengan suara lemah, bahasa lembut  serta kupasang muka biasa-biasa saja,“ lanjutnya lagi.

Mungkin mereka menganggap saya sedang ceramah sehingga mereka terdiam mendengar. Malah mengakuinya bahwa hal itu telah terjadi berkali-kali.

Lalu mereka  mengatakan:  “Kami kecolongan. Kami tidak tahu mengapa terjadi. Kami tidak memberi legitimasi boleh menghukum dan bertindak sendiri-sendiri,” ujar kepala sekolah.

Mereka berjanji akan menindak lanjuti persoalan itu di sekolahnnya. Tetapi tidak menunjukkan penyesalannya atas kejadian itu. “Sampai lebih seminggu tidak satu guru pun datang menengok anakku,“ aku Tito.

Sekolah dinilainya tidak melakukan pendekatan upaya penyelesaian masalah. Padahal telah dikatakan sejak mula dirinya tidak bermaksud melaporkan pada polisi, tapi menuntut masalah ini ditanggapi.

Menurut Tito, sampai sekarang, Kamis (3/10) pendengaran anaknya masih terganggu. Usai kejadian itu langsung Mantra dibawa ke rumah sakit. Telinganya seperti berdengung, dan dadanya suka sesak akibat tendangan seniornya. Habis dihajar seniornya karena dianggap melanggar peraturan, dia tidak bilang apa-apa pada ibunya maupun pada dirinya.

“Ibunya tahu karena di celana ada bercak darah, baru Mantra ngaku kalau disiksa seniornya. Bilang pada orangtuanya saja diancam apalagi lapor polisi,“ ujar Tito. “Jadi ajari bagaimana saya harus marah (menghadapi ini),“ katanya tadi malam kepada Jayakarta News.

Sebagai orangtua atau wali murid ia sadar bahwa sekolah atau pihak-pihak yang berkuasa merasa benar dan tak biasa menerima kritikan dari orang biasa yang tak punya pengaruh dan kuasa di lingkungannya. Sehingga koreksi dan kritik hanya dianggap angin lalu saja.

Namun dalam kasus kekerasan ini ia bertekad tidak boleh berdiam diri. Ini bukan semata-mata membela Mantra, sang anak. “Yang wajib kulakukan memperjuangkan anak siapa saja agar jangan sampai mengalami penganiayaan  oleh seniornya dan menjadi korban berikutnya,“ harapnya.

Di sekolah ini, SMK Negeri 1 Temon, Kulonprogo – Yogyakarta, acap terjadi aksi kekerasan. Umumnya dilakukan senior kepada pada siswa yang lebih junior.

Menurut seniman ini, pendidikan tak harus dilakukan dengan disiplin kaku dan kasar. Mendorong siswa belajar tidak secara fisik harus dihajar. Saya akan terus bicara menyampaikan protes keras terhadap Sistem Pembelajaran Semi Militer yang di terapkan tapi dengan fungsi pengawasan yang sangat lemah di Sekolah Menengah Kejuruan itu.

“Jadi,“ tegas Tito, “Sistem pembelajaran semi militer yang diterapkan disalahgunakan. Siswa senior menjadi arogan dan merasa berhak memberi hukuman pada yunior, tanpa sepengetahuan guru. Karena pengawasannya lemah.”

Setelah kasus yang menimpa putranya itu, Tito pun secara diam-diam bertanya kepada sejumlah guru di sekolah tersebut. Mereka hanya menjawab; “Ya, sudah sering terjadi seperti ini. Kami tidak mengetahui kalau tidak ada yang melaporkannya. Mereka bertindak sendiri tanpa sepengetahuan kami.”

Astaga! Ternayata mereka mengakui telah sering terjadi dan hanya mencatat, memberi surat peringatan (SP) pada para pelaku. Lalu memanggil orang tuanya. “Disuruh meminta maaf pada korban dan orang tuanya, seperti yang saya alami,“ ujarnya.

Kalau hanya itu, wajar jika kasus penganiayaan di sekolah itu terus berulang, terus terjadi. Dimana asah, asih dan asuh sekolah? Bukankah sekolah berkewajiban mencerdaskan anak sekaligus membangun karakternya?! Terasa lebih memprihatinkan karena terjadi di Yogyakarta. (iswati)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *