Connect with us

Feature

Lead the Way, Capt!

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Tulisan ini tak ingin menambah jumlah tulisan di media sosial sebagai glorifikasi. Tulisan ini hanya berbagi bagaimana sebuah nasihat disampaikan melaluinya. Tak hendak menilai amal dan ibadah seseorang. Sebab siapalah kita, mengira amal semata yang mengantar kita ke Surga. Sebab sesungguhnya kehendak-NYA  yang menempatkan kita dimana. Hanya kehendak dan Ridha-NYA.

Tetapi kisah selalu punya cara membawa kita pada satu titik, belajar.

Saya mengenalnya sejak awal pernikahan di awal 90-an. Saya menikahi teman satu angkatannya di Sekolah Penerbang TNI AU. Dari sekian banyak teman satu angkatannya, kebetulan sekali Afwan ditempatkan di Skadron yang sama dengan suami. Sama-sama menerbangkan C-130 Hercules, dan bersama-sama berdinas di Halim Perdanakusuma. Ada tiga orang yang bersama-sama menjadi perwira pertama di sana saat itu. Suami saya, Hasan Basri, bersama Afwan, dan Nuryani.

Ketika kami meninggalkan masa lajang, dan menempati rumah dinas di Halim, Afwan dan Nur belum lagi. Tak heran, ada satu dua saat manakala suami harus berdinas agak lama, sebagai tempat bertumpu dan bertanya tentu teman terdekatnya saat itu.

Ambil saja satu waktu, ketika sebuah insiden memaksa mas tinggal di Papua lebih lama padahal itu masih awal setelah pernikahan. Saya, yang canggung di lingkungan baru, cukup terbantu dengan jengukannya sesekali. Apalagi saat itu, kami belum lagi mampu memasang telepon di rumah dinas kami. Atau ketika dalam keadaan hamil, sebagai anggota PIA saya tetap diwajibkan ikut arisan, satu dua saat saya diantarkan pulang dari Skadron alih-alih naik mobil jemputan skadron yang padat. Demikian beragam kisah kecil, tak istimewa barangkali. Meski begitu ingatan ini memastikan kebaikan hatinya.

Capt Afwan, pilot Sriwijaya Air yang jazadnya belum ditemukan.

Waktu itu berkurang dengan satu demi satu dari mereka bertiga meninggalkan masa sendiri dan berkeluarga seperti kami. Termasuk Afwan. Seperti banyak kehidupan yang melewati saya, saya melihatnya tak jauh berbeda dengan teman-teman perwira di sekitar suami. Dengan aneka kisah dan perilaku.

Selepas masa wajib dinas TNI AU, kebetulan juga Afwan bersama suami sama-sama masuk ke Garuda Indonesia. Meniti lagi dari awal, menghabiskan tabungan kami demi lisensi sipil, memasuki dunia baru. Dunia penerbangan sipil. Tentu, kali ini karena kami meninggalkan rumah dinas kami, dan menempati rumah sendiri di pinggir luar Jakarta, sementara mas Afwan ke pusat hidup di Jakarta. Kehidupan kami kian berbeda. Gaya hidup kami pun kian menjauh. Setidaknya ada berbagai kisahnya yang mampir ke pengetahuan kami, sampai hidup mengujinya dan ia terpaksa memulai kehidupan pernikahan yang baru.

Sejak masa itu, kami pelan-pelan melihat perjalanannya berhijrah. Dalam segalanya ia menunjukkan konsistensi berada di sana. “Kenapa sekarang jarang aktif bersama kita,” begitu tanya teman-teman seangkatannya. Ia menjawabnya dengan penuh keyakinan, “Saya harus menembus segala hal yang terjadi di masa lalu.”

Meski, suami saya dan Afwan hampir selalu bersinggungan dalam perjalanan karier yang sama, dari Garuda sempat ke Lion dan berujung di Sriwijaya. Hanya saat suami pindah ke Jordan lalu Riyadh saja, mereka tak ada dalam satu maskapai. Tapi yang berbeda mungkin cara kami berjalan.

Kami rasanya berjalan di tempat. Dengan gaya hidup yang relatif di situ saja. Sementara, mas Afwan benar-benar meniti jalan hidup yang kian bijak dan dalam. Ia benar-benar menjadi sosok baru dalam dua dekade terakhir. Ia masih Afwan yang suka bercanda dan banyak senyum jika kami bertemu, tetapi sosoknya kian menumbuhkan rasa hormat kami. Ia telah menjadi sosok yang pantas menjadi “Master of his fate, and Captain of his soul.”

Foto kenangan almarhum Afwan saat mengikuti Pendidikan Samapta Pusdikpom Cimahi 1998.

Hingga tulisan ini saya buat, belum lagi jenazahnya ditemukan. Meski ada harap akan selamat, namun rasanya kecil kemungkinannya. Kemarin kami bertandang ke Cibinong rumahnya. Pipit, panggilan istri dan ibu dari tiga putri shalihahnya, bertutur. Kemarin lalu, mas Afwan memintanya untuk dibangunkan sebelum dhuhur, hendak rehat sejenak katanya. Menurut pengetahuannya ia terjadwal terbang pukul 17.00, sehingga direncanakan pukul 14.00 akan berangkat dari rumah.

Pukul 09.00, mobil jemputan terbang sudah terparkir manis di depan rumahnya. Tak melihat sosok Afwan keluar dari rumah, sopir pun mencoba menghubungi berkali-kali. Akhirnya menanyakan pada Pipit. Selidik punya selidik, ternyata Afwan salah melihat jadwal, pukul 14.00 ternyata departure time dalam schedule. Akhirnya, Afwan bersegera bersiap.

“Baju dan celananya belum disetrika, masih kusut,” cerita Pipit tergugu. “Saya sudah tawarkan untuk menunggu sebentar agar saya setrikakan,” lanjutnya. Tapi Afwan menolak halus, tak ingin membuat sopir menunggu, juga tak ingin penumpang menunggu karena keterlambatannya.

“Lima belas tahun kami menikah, baru itu dia pergi terbang dengan pakaian kusut,” sesal Pipit. Alih-alih marah, Afwan membelai kepala Pipit dengan penuh sayang dan berkata, “Abi pakai jaket koq,” hibur Afwan berkali-kali menenangkan Pipit yang merasa bersalah karena itu. Berbekal air teh manis, dan telur rebus dua butir, Afwan pun pergi. Dan pergi untuk selamanya.

“Saya ingin bertemu lagi dengan dia di sana,” suara Pipit kian pelan dan pedih.

Dan saya merasa menyusut.

Merasa begitu payah dalam menjalani hidup ini.

Mas Afwan memang tak mengajari dengan kata-kata. Tapi melihat betapa semua memandangnya dengan hormat, jejak yang begitu indah. Tanpa banyak buih-buih kata-kata, dengan sederhana kami diajarkan makna sesungguhnya berhijrah.

Selamat jalan Capt. Lead the way. Semoga kami bisa menyusuri jejakmu.

Bekasi, 11 Januari 2021 dini hari.

Decy C. Widjaja

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *