Ekonomi & Bisnis
Industri Wastra Berpotensi Semakin Diminati Pasar Internasional

JAYAKATA NEWS – Industri wastra Indonesia seperti batik, tenun, dan songket berpotensi untuk terus tumbuh dan semakin diminati konsumen lokal dan internasional. Karena dianggap mampu merespons kebutuhan akan menjamurnya industri slow fashion di tengah gencarnya tren fast fashion yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
“Wastra Nusantara hadir bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai solusi,” ujar Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Reni menuturkan, proses pembuatannya sarat nilai kearifan lokal, penggunaan bahan alami, serta filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan wastra sangat sejalan dengan konsep slow fashion, yakni fesyen yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan keadilan bagi setiap pihak.
Reni mengatakan, tren fast fashion yang terjadi saat ini merupakan bagian dari gaya hidup pasar yang cepat, dinamis, serta kemudahan konsumen dalam mengakses informasi digital dan pasar online atau marketplace.
Menurut Reni, perubahan ini juga menyebabkan kebiasaan membeli baju yang diproduksi secara massal, dengan bahan yang kurang ramah lingkungan, sehingga berdampak menjadi limbah solid terhadap lingkungan.
“Selain itu, saat ini industri fesyen dituntut untuk menjawab isu-isu keberlanjutan, yang merupakan dampak dari berbagai faktor yang saling terkait seperti ekonomi, lingkungan dan sosial,” jelas Reni.
Reni mengatakan, arah gerak dunia kini tertuju pada fesyen yang tidak hanya memikat secara visual, namun juga bertanggung jawab secara ekologis dan etisi.
Direktur IKM Kimia, Sandang dan Kerajinan Budi Setiawan menambahkan, konsep slow fashion menawarkan alternatif tren fesyen yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, produksi beretika, kelestarian lingkungan, produksi yang lebih lambat dan terencana, serta mempromosikan nilai etis dalam rantai pasok.
“Prinsip ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah dan konsumsi energi, tetapi juga membantu memastikan bahwa para pekerja di sektor mode mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang adil,” terang Budi.
Di Indonesia, lanjut Budi, konsep slow fashion memiliki potensi besar untuk tumbuh, terutama dengan keberadaan perajin lokal dan penggunaan bahan baku alami yang kaya, seperti produk wastra yang meliputi tenun dan batik.
“Wastra, sebagai produk mode tradisional Indonesia, memiliki karakteristik yang sangat sesuai dengan prinsip slow fashion,” ujar Budi.
Menurut Budi, proses pembuatan wastra yang perlu ketelitian dan memakan waktu lama menjadikannya simbol kualitas dan keunikan yang mendukung keberlanjutan.
Di samping itu, kata Budi, pelaku industri fesyen, khususnya industri wastra sebetulnya dapat menerapkan konsep ramah lingkungan melalui beberapa cara, di antaranya melalui penggunaan bahan baku berkelanjutan seperti bahan organik dan bahan daur ulang, mengoptimalkan proses produksi, serta mengolah limbah produksi.
“Untuk memperkuat ekosistem industri fesyen berkelanjutan yang ramah lingkungan, perajin juga dapat ikut serta mengedukasi konsumen tentang pentingnya konsep tersebut,” ujar Budi. (yog)