Connect with us

Feature

Polisi Pi Ajar, Menaklukkan Hati dengan Ketulusan dan Cinta

Published

on

 

Ipda Made Ambo [foto: sm]

POLISI mengajar? Betul. Inilah yang dilakukan Ipda Made Ambo, dalam memaknai democratic policing, yang menjadi andalan Kapolri Jenderal Pol Muhammad Tito Karnavian. Bergabung dengan program Binmas Noken, Ambo menjadi ujung tombak program kerja “polisi pi ajar” di tanah Papua.

Ambo menjadi ikon untuk program polisi pi ajar di Papua. Salah satu yang memberi pujian terhadap apa yang dilakukan Ambo adalah Ny. Tri Suswati, istri Kapolri, seperti disampaikan Kepala Puskamnas Hermawan Sulistyo.

Ambo termasuk polisi yang telah malang melintang di Papua. Karir di kepolisian, nyaris didedikasikan selamanya di Papua. Perjalanan pengabdiannya bukan sebentar di Papua, 26 tahun! Ketertarikannya untuk terjun dalam dunia pendidikan, tak lain karena keprihatinannya terhadap kualitas sumber daya manusia di Papua, terutama anak-anak.

Banyak anak-anak usia sembilan tahun yang belum pernah mengenyam pendidikan. Praktis, mereka buta huruf. “Tidak ada sekolah, atau tidak ada guru, terutama di daerah yang sangat terpencil, seperti di wilayah pegunungan tengah Papua,” katanya.

“Dia nggak mau ditawari posisi apa pun kalau pindah tugas dari Papua,” kata Prof Kikiek, sapaan akrab Hermawan Sulistyo.

“Mau nggak jadi Kapospol Menteng?,” ujar Mas Kikiek menggoda Ambo.

“Siap, tidak Prof….,” ujarnya saat menyampaikan pengalamannya bagaimana menjalankan program Polisi Pi Ajar di Papua dalam FGD yang diselenggarakan Satgassus Binmas Noken Mabes Polri, Universitas Bhayangkara Jaya Jakarta dan Concern Staregic Tink Thank. 

“Ada guru, tetapi tidak pernah datang mengajar,” keluh Maximus, ketua Suku Dani di Wamena, menjelaskan salah satu yang menjadi sumber benang kusut rendahnya kualitas SDM di Papua.

“Jadi, kami sangat berterimakasih kepada polisi, karena program Binmas Noken ini,” tambah Maximus, yang kini mulai serius menangani kebun kopinya.

Kecintaannya kepada Papua, dan terutama anak-anak Papua tak diragukan lagi. Itulah sebabnya, Ambo kemudian   dipercaya menjabat sebagai Kanit Pendidikan Binmas Noken yang memimpin program kerja ‘polisi pi ajar’.

“Dia tidak akan keluar dari Papua kecuali ada tugas khusus, seperti mental healing terhadap anggota yang baru saja menangani masalah keamanan dengan melibatkan kontak senjata,” ujar Kasatgassus Binmas Noken, Eko R Sudarto.

Mengapa nama programnya Polisi Pi Ajar? “Polisi pergi mengajar disingkat ‘polisi pi ajar’, karena di Papua itu bahasa disingkat-singkat. Pergi jadi pi,” kata Ambo.

Salah satu kegiatan Polisi Piajar, mengajak anak belajar dalam suasana gembira di alam bebas. [foto: Binmas Noken Polri]i

Dapat ditambahkan,  Binmas Noken adalah buah pemikiran Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk merangkul  masyarakat Papua yang selama ini dinomorduakan. Kehadiran Binmas Noken diharapkan dapat menciptakan kedekatan antara warga dengan polisi yang memiliki tugas melayani, mengayomi dan melindungi.

“Kegiatan polisi pi ajar antara lain memberikan pendidikan dasar, wawasan nusantara, kebangsaan dan trauma healing. Saya bilang ke anggota saya, kita ini sedang berlomba dengan KKB (kelompok kriminal bersenjata),” ucap Ambo.

Perlombaan yang dimaksud Made adalah dalam hal mengasup pengetahuan kepada masyarakat. Jika KKB mendoktrin polisi sebagai sosok jahat, maka polisi harus menunjukkan diri sebagai sosok yang baik.

“Kok berlomba? Karena kami ingin masyarakat  pintar, sementara mereka ingin masyarakat bodoh-bodohi masyarakat karena masyarakat bodoh itu gampang dimanfaatkan. Jadi masyarakat di pedalaman itu ditipu bahwa polisi itu jahat, suka menjarah, suka membunuh. Tapi begitu melihat metode strategi kita mendekati anak-anak, masyarakat justru mengapresiasi,” tutur Ambo.

Ambo menceritakan anak-anak di Papua haus pendidikan dan sangat antusias dengan kegiatan belajar-mengajar. Namun tak mudah bagi Ambo diterima oleh anak-anak yang sudah mendapat doktrin ‘polisi adalah sosok mengerikan’.

“Saya masuk ke ruangan kelas nih, mereka (murid-murid) tegang karena sudah dikondisikan bahwa ada polisi nanti yang mengajar. Saya suruh tepuk tangan, masih tetap kaku. Akhirnya saya pakai jurus mendongeng,” cerita Ambo.

Ambo menerangkan situasi mencair setelah dia berdongeng. Murid-murid juga akhirnya menikmati kegiatan belajar oleh polisi pi ajar.

“Saya mulai satu cerita tentang hutan. Di hutan itu ada apa aja lalu saya ambillah tas saya.  Saya gerak-gerakin tas saya, pura-pura kalau di tas ini ada binatang dengan gimik suara-suara yang saya bikin. Ada yang mendekat karena penasaran. Akhirnya suasana cair,” jelas Ambo.

“Bukan cuma murid, guru dan kepala sekolah juga ketawa. Akhirnya setelah cair, maka saya serahkan ke anggota saya. Saya bilang ke kepala sekolah, itu cara saya dan saya minta maaf kalau salah. Kepala sekolah justru senang dan mengapresiasi,” sambung Ambo.

Kerawanan  situasi keamanan di Papua, khususnya di daerah pegunungan, menjadi tantangan tersendiri bagi polisi pi ajar. Aksi penembakan oleh membuat suasana mencekam. Ambo memberi contoh momen menegangkan saat polisi bersama warga hendak melakukam upacara Bakar Batu yang diikuti kegiatan polisi pi ajar di Yambi, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.

“Di Yambi, di Puncak Jaya dikategorikan zona merah. Itu banyak KKB. Waktu itu kami akan melakukan bakti sosial. Apa yang menarik disitu? Ternyata Yambi pusat pelatihan TPNPB. Satu hari sebelum kami kesana, dua anggota TNI dibunuh. Kita ragu ke sana dan ada saran batalkan saja kegiatan,” tutur dia.

Setelah berkoordinasi dengan TNI dan kepala distrik setempat, lanjut Ambo, pihaknya melanjutkan kegiatan. Ternyata sambutan antusias karena gelaran upacara Bakar Batu. Ambo pun melakukan tugasnya mengajar anak-anak kecil di sana.

“Waktu itu saya pakai bodypress (kostum antipeluru), saya pikir saya nggak bisa pakai itu, pakaian tempur. Anak-anak akan takut dan akhirnya saya lepas itu meski komandan saya sempat tidak izinkan. Akhirnya anggota saya ikut lepas juga, benar saja anak-anak itu senang, antusias,” lanjut Ambo.

Polisi pi ajar tersebar di sembilan distrik yang berada di pedalaman seperti Kabupaten Mimika, Jayawijaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nabire, Paniai, Puncak dan Puncak Jaya. Jumlah personel Polri yang terlibat dalam kegiatan polisi pi ajar di masing-masing kabupaten sebanyak 30 orang.

Soft approach inilah yang paling efektif. Kenapa? Karena yang kami dekati adalah anak-anak SD. Karena anak-anak sana bisa mempengaruhi banyak hal. Contohnya, kalau kita sudah dekati anak-anak ini, orang tuanya bisa dilarang untuk melakukan hal-hal jelek,” ujar Ambo.

Ambo mencontohkan anggotanya selamat kerusuhan di Kabupaten Pegunungan Bintang karena dikenal sebagai pengajar taekwondo. Bukan kemampuan bela diri yang menyelamatkan anggota tersebut, tetapi karena warga sekitar yang menghargai jasanya yang telah mengajarkan anak-anak mereka.

“Contoh pegunungan Bintang, ada anggota saya namanya Edward ngelatih taekwondo. Suatu saat ada kerusuhan, lalu dia tertinggal dalam huru-hara. Dia dikepung sama masyarakat sana. Lalu ada orang tua-orang tua muridnya yang melindungi, mengatakan bahwa Edward ini guru anak-anak mereka dan kalau dilukai maka mereka akan marah,” terang Ambo.

Ambo dengan bangga mengungkapkan kehadiran polisi pi ajar mampu meruntuhkan sekat antara aparat dengan warga Papua. Kehadiran aparat kini tak lagi menjadi suatu ketakutan bagi orang asli Papua. Ambo juga mengakui jantungnya berdesir tatkala melihat jiwa nasionalisme terpancar di mata mungil anak-anak Papua.

“Saya tanya ‘siapa nama Presiden kita?’, jawab anak-anak ‘Jokowi’. Saya tanya lagi tahu dari mana, mereka jawab dari polisi. Lalu saya keluarkan bendera kecil, bendera merah putih. Saya tanya ‘ini bendera apa?’, mereka jawab bendera Indonesia. Saya tanya lagi ‘kita orang apa?’, dijawab ‘orang Indonesia’,” ucap Ambo menirukan dialognya dengan murid-muridnya.***

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *