Connect with us

Feature

“Point Break”, Beradaptasi dengan Corona

Published

on

Catatan Egy Massadiah

Anda yang menggemari film-film Hollywood tentu pernah menonton, setidaknya mendengar film berjudul “Point Break”. Inilah salah satu film tentang surfing (berselancar) paling fenomenal. Film yang dirilis tahun 1991 itu dibintangi dua aktor keren: Keanu Reeves dan Patrick Swayze.

Disebut fenomenal, karena di antara 16 film tentang surfing yang pernah diproduksi Hollywood, Point Break satu-satunya film tentang surfing yang didaur ulang. Point Break versi kedua, dirilis tahun 2015, dibintangi Luke Bracey dan Edgar Ramirez.

Maaf, sekian saja bicara tentang film action yang mendebarkan itu.

Tentang surfing, memang harus saya jadikan titik pijak, untuk mengelaborasi obrolan produktif antara Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo dengan Pdt Gilbert Emanuel Lumoindong, yang akrab disapa Pendeta Gilbert. Keduanya bertemu di Markas Gugus Tugas, Graha BNPB, Jl. Pramuka, Jakarta Timur, Selasa (19/5/2020).

Topiknya sungguh menarik, relevan, kekinian dan aktual. Yakni pandangan dikotomis, antara ketat dan longgar. Tegas dan lunak. Kaku dan lentur, terhadap “musim” virus corona.

Sebagian pandangan menganggap, belum saatnya kita lunak menghadapi pandemi Covid-19. Sebagian lainnya berpendapat, relaksasi penting untuk menghidupkan sejumlah sektor yang mulai sekarat dan nyaris terkapar.

Pendapat yang setuju tetap memperketat pergerakan manusia untuk mengontrol penyebaran dan penularan Covid-19, beranggapan karena virus ini memang beringas, dan bisa memangsa siapa saja. Alasan lain, pergerakan statistik jumlah manusia yang terpapar, masih cukup tinggi –di beberapa daerah.

Sementara, kalangan yang menghendaki diberlakukannya “new normal” juga bukan tanpa alasan. Angka pengangguran meningkat tajam. Jumlah pekerja yang terpangkas penghasilannya, cukup besar. Deretan pengusaha yang merugi akibat ditutupnya tempat-tempat usaha (di luar usaha-usaha tertentu yang dikecualikan), menggelembung.

Mereka semua menjerit. Lolos dari serangan virus, belum meloloskan mereka dari himpitan ekonomi. Dalam konteks itulah Pendeta Gilbert, pengasuh acara siraman rohani di salah satu stasiun televisi swasta itu, meluncurkan filosofi “surfing” atau berselancar.

Agar menjadi jelas positioning-nya, kiranya harus disebut di sini, bahwa Gilbert termasuk yang sepakat jika pemerintah mulai memberi sedikit keleluasaan pergerakan masyarakat agar bisa survive di tengah pandemi.

Meski begitu, ada syaratnya. Ia mengibaratkan masyarakat harus menjadi surfer atau peselancar. Wabah virus corona, kita ibaratkan sebagai alunan ombak tinggi yang tak hanya harus ditaklukkan, namun juga dijaga keseimbanganya.

“Tanpa ombak, kita tidak bisa surfing. Karena saya mengibaratkan, jika masyarakat semua bisa menjadi peselancar yang baik, maka ombak setinggi apa pun, akan bisa dikendalikan bahkan ditaklukkan,” ujar Gilbert kelahiran Jakarta tahun 1966 itu.

Ketua Gugus Tugas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo saat berbicara kepada Pendeta Gilbert. (foto: kamuhebat)

Pdt Gilbert lantas menjelaskan, apa yang dimaksud dengan “masyarakat harus menjadi peselancar yang baik”. “Maksudnya, saya sambungkan dengan apa yang tadi kami bicarakan dengan pak Doni Monardo. Bahwa kuncinya adalah masyarakat taat menjalankan protokol kesehatan. Itu intinya,” tegas Gilbert.

Artinya, kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan, adalah kunci mengendalikan wabah corona. Rajin cuci tangan, mengenakan masker, jaga jarak, menghindari kerumuman massa, adalah protokol kesehatan “harga mati”. Barang siapa melanggar, besar risiko terpapar.

Masih ada tambahan syarat, khususnya bagi kelompok usia di atas 45 tahun. Apalagi, usia lanjut yang disertai penyakit penyerta seperti jantung, ginjal, paru-paru, hipertensi, diabetes dan lain-lain.

“Usia 45 tahun ke atas, dan punya riwayat sakit bawaan, jangan coba-coba melanggar protokol kesehatan. Risikonya sangat besar. Ini kata data, bukan kata saya. Bahkan, sekalipun usia di bawah 45 tahun, tapi memiliki riwayat penyakit bawaan, juga jangan coba-coba melanggar protokol kesehatan,” papar Doni Monardo.

Kondisi itu juga harus dipahami oleh anggota keluarga. Dipahami oleh semua masyarakat, tanpa kecuali. Sebab, kita makhluk sosial. Di keluarga, ada kalanya tinggal bersama keluarga. Kalaupun bukan kita, barangkali ada saudara kita yang tinggal bersama orang tua. Kalaupun bukan kita dan bukan saudara kita, barangkali tetangga kita, teman kita. Maka, semua harus saling mengingatkan.

Berulang kali, Letjen TNI Doni Monardo, sebagai “panglima perang melawan Covid-19” menyatakan concern-nya untuk sebuah tekad, “Yang sakit menjadi sehat, yang sehat tetap sehat.” Semua kebijakan, tidak sekalipun diambil tanpa mempertimbangkan tekad tadi. Keselamatan rakyat selalu menjadi prioritas kebijakan.

Perlindungan warga agar tidak terpapar corona menjadi perhatian utama. Jika kemudian ada kebijakan yang mengarah ke “new normal” di tengah pemberlakuan PSBB, juga dilakukan atas dasar pertimbangan menghindarkan sebagian besar masyarakat kita tidak terkapar akibat PHK. Agar bisa survive di tengah himpitan ekonomi. Dalam banyak kesempatan, Doni Monardo menyitir ungkapan hungry man becomes angry man.

Pendeta Gilbert Lumoindong. (foto: kamuhebat)

Kebijakan menuju “new normal” tadi adalah warming up memasuki tahap rehabilitasi. Rehabilitasi itu sendiri, bagian dari usaha pemulihan aktivitas sosial ekonomi. Adalah tugas kita bersama untuk menjadikan masyarakat peselancar yang taat, agar bisa tetap beraktivitas di atas gelombang corona dengan aman dan selamat.

Tak lupa, Doni Monardo kembali menyampaikan resep “4 sehat 5 sempurna” era Covid-19. Sembari berselancar, jangan lupa tetap berpola hidup sehat.

Berbeda dengan pengertian empat sehat lima sempurna zaman dulu. Doni merumuskan empat sehat lima sempurna zaman Covid-19, yang wajib dijalankan. Bukan saja bagus di saat musim corona, tetapi juga di era setelahnya.

Yang pertama, mengenakan masker. Kedua, menjaga jarak (social & physical distancing). Ketiga, rajin mencuci tangan dengan sabun. Keempat, olahraga dan tidur teratur dan tidak panik. Lima penyempurnanya adalah makanan yang baik.

Jika prasyarat itu semua dijalankan, maka terhadap kebijakan “new normal” kita bisa bilang, “Siapa takut?!”

Yuk sembari berselancar, jaga dan awasi ombaknya. (*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *