Connect with us

Kabar

Teh Daun Sukun

Published

on

DULU daun sukun hanya menjadi sampah. Sebagian kecil masyarakat  ada yang menjadikannya pakan ternak. Tapi, sejak 2013, Suhartono, bersama Retno Wulandari dan Yunita Praptiwi, ketiganya alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengembangkan menjadi bisnis teh daun sukun, dan ternyata bisa membantu menyembuhkan berbagai penyakit.

Mereka memproduksi teh herbal daun sukun di rumahnya di Dusun Dukuhsari RT 07 RW 02, Purwomartani, Kalasan, Sleman, DIY. Bahkan, teh yang diberi nama teh daun sukun Laasyaka ini sudah didistribusikan di berbagai wilayah Indonesia. “Daun sukun ini belum banyak yang memanfaatkan. Untuk itu, kami berusaha meningkatkan nilai dan manfaat daun sukun dengan mengolah menjadi teh herbal yang bermanfaat bagi kesehatan,” papar Suhartono.

Ketiga alumni UGM ini mencari referensi dan literatur ilmiah terkait manfaat daun sukun. Berdasar penelitian LIPI (Tjandrawati) menunjukkan, daun sukun mengandung senyawa flavonoid, riboflavin, dan sirosterol yang bermanfaat menjaga jantung dari kerusakan sistem kardiovaskuler. “Selain bermanfaat dalam membantu penyembuhan sakit ginjal, darah tinggi, diabetes, menurunkan kolesterol serta mengatasi inflamasi,” cetusnya.

Teh daun sukun ini dikemas dalam dua bentuk, yakni celup dan tubruk, tanpa bahan pengawet. Satu pack teh celup berisi 20 kantong teh celup siap pakai dengan berat 50gram dibanderol dengan harga Rp20 ribu. Sedangkan kemasan tubruk dengan berat 35 gram dijual dengan harga Rp5 ribu.

Sejak merintis usaha pada 2013 silam, kini bisnis ini telah berkembang dan menjadi usaha rumahan yang setiap bulan mampu memproduksi 400-500 pack. Dalam produksinya usaha ini memberdayakan ibu-ibu warga setempat mulai dari proses pemetikan daun hingga pengeringan.

Awalnya, bisnis teh daun Laasyka lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM tahun 2013. Ide mengolah daun sukun sebagai teh herbal ini awalnya sempat mengalami penolakan dari dosen pembimbing. “Ide kami ini sempat ditolak sama dosen pembimbing karena dinilai kurang berkualitas,”kenang Retno Wulandari.

Mereka pun berusaha menemui dosen lain dan akhirnya mendapatkan dukungan untuk melaju dalam PKM. Alhasil, ide yang mereka usung berhasil mendapatkan dana hibah sebesar Rp7.250.000 dari Dirjen Dikti. “Dapat dana sebesar itu kami sempat bingung mau digunakan untuk apa. Akhirnya kita belikan alat pres kantong seharga Rp4 juta,” tuturnya sembari tertawa.

Karena keterbatasan dana, mereka mencetak dan mendesain kardus teh sendiri. Demikian pula dalam menyegel kardus dengan plastik, mereka melakukannya sendiri dengan alat segel hasil modifikasi setrika. Awalnya, mereka kesulitan promosi karena menerapkan model pemasaran dengan menitipkan di apotek-apotek. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *