Connect with us

Feature

Imunisasi Oke, Penyakit Menular-Berbahaya No Way

Published

on

Jayakarta News – Syaiful Ardhi (8) termasuk bocah beruntung. Sejak bayi hingga kini, penyakit yang pernah menghinggapi tubuhnya sebatas batuk pilek (bapil) dan sedikit demam yang menyertainya. Menurut cerita Suharti, sang ibu, bapil Syaiful itu biasanya berlangsung beberapa hari saja, lantas sembuh. Cukup dilawan dengan obat ringan yang diperoleh dari Puskesmas.

“Saya mengimunisasi Syaiful rutin sejak bayi sampai sekarang,” kata Suharti. Ia percaya, imunisasi berperan penting membangun daya tahan putra bungsunya itu dari serangan penyakit menular berbahaya semisal campak atau polio. Siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pondok Pandanaran Ngaglik, Sleman – Yogyakarta ini mendapatkan imunisasi dasar lengkap di usia 0-9 bulan. Tak hanya itu, imunisasi lanjutan pun ia dapatkan di sekolah, tanpa lowong, sesuai program pemerintah.  

Kiri: Alfarezki Dan Bunda Latiffa. Kanan: Syaiful, Bunda Suharti dan sang Ayah.
Kiri: Grace dan Eyang Nia. Kanan: Arka dan Bunda Lina.

Ibu tiga anak itu, saat dijumpai Jayakarta News di Puskesmas Ngaglik 2 Sleman Yogyakarta akhir pekan lalu, menyatakan, semua anaknya mendapatkan imunisasi lengkap. Dua anak pertamanya bebas penyakit menular berbahaya hingga dewasa dan kini mereka telah mandiri.

Usia Syaiful selisih 12 tahun dari kakak keduanya. “Saya rajin mengimunisasi anak demi kesehatan mereka. Saya takut bila tidak diimunisasi, mereka bisa terkena penyakit serius sampai cacat,” tutur Suharti usai memperbarui KB IUD yang ia jalani setiap 8 tahun sekali. 

Ia bertandang ke Puskesmas sendirian, sepulang mengantar Syaiful ke Pondok Pandanaran.  Menurut wanita yang mukim di Suruh, Kelurahan Donoharjo, Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman ini, jika anak sampai cacat akibat polio misalnya, maka biaya pengobatannya malah akan menjadi besar. 

Memperoleh manfaat kesehatan berkat imunisasi juga didapatkan Arka, Reno, Grace, Alfarezki, dan kakak beradik Arsyifa-Arshad. Mereka semua adalah bocah-bocah dari berbagai tingkat usia warga Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.

Kiri: Reno dan Bunda Nonik. Kanan: Arsyifa, Arshad dan Ayah Fendi. (foto: ernaningtyas)
Puskesmas Ngaglik 2, Sleman – Yogyakarta. (foto: ernaningtyas)

Saat dijumpai Jayakarta News mereka sedang asyik bermain dengan incaran masing-masing, dan tak satu pun memegang hape. Anak-anak tampak sehat dan gembira, kecuali Grace yang sedang dalam proses pemulihan dari sakit batuk-panas dan Alfarezki si bayi dua bulan yang tengah lelap.

Reno tak henti-hentinya mengagumi poster bergambar aneka binatang kesukaannya. Arka menaiki mobil-mobilan plastik warna hitam berbahan bakar ayunan kaki sendiri. Ia berlagak layaknya pembalap profesional yang sedang bertahan di posisi terdepan. Sementara kakak beradik Arsyifa dan Arshad sama sekali tak memiliki rasa takut di tengah kerumunan anak dan para orang tua, kala acara penimbangan balita di kampung mereka.                                                                                                    

“Imunisasi dasar Grace lengkap sampai dengan satu tahun,” kata sang nenek, Suwardaniyah (58). Kedua orang tuanya bekerja. Sehari-hari balita dua tahun satu bulan ini diasuh Nia, sapaan akrab Suwardaniyah. Saat dijumpai Jayakarta News, pemilik nama panjang F Grace Eldora Arian Surya ini tampak lesu,  kurang bersemangat. “Grace baru saja terserang batuk,” tambahnya.

Nenek dua cucu, Grace dan Nindi, ini menjelaskan bahwa paling banter sakit Grace batuk pilek. Tak ada penyakit akibat wabah seperti campak yang pernah dideritanya. Catatan di seputar tumbuh kembangnya –tinggi badan, berat badan, bicara, makan, kecerdasan– berlangsung normal sesuai tingkat usia. Menurut penuturan sang nenek, dalam kondisi sehat, Grace anak yang aktif dan responsif. “Ayo da-da sama papa!” ajak Nia saat mendapati Anton, ayah Grace, melintas dengan motor, kira-kira tujuh meteran jaraknya di depan keduanya. Si cucu itu langsung melambaikan tangan kanan, melepas kepergian sang ayah mencari nafkah. Senyumnya mengembang matanya menyorot motor dan si penunggang, sampai sosoknya tak lagi tersapu pandang.   

Nia menjelaskan bahwa dua cucunya mendapatkan imunisasi lengkap sejak lahir. Kekebalan tubuh buatan itu mereka dapatkan dari bidan Istri Utami yang berpraktik tak jauh dari tempat tinggalnya. “Imunisasi penting buat cucu-cucu saya, agar mereka tidak terserang penyakit macam-macam,” tutur Nia. Menurutnya, bila anak terkena bapil, itu kejadian biasa apalagi jika sedang musimnya.

Arka, teman sekampung Grace di Dusun Kadipuro Sinduharjo Ngaglik Sleman, juga mendapatkan imunisasi lengkap. Sang ibu, Lina Sontang, bercerita bahwa saat usia kandungannya menginjak enam bulan, ia sakit. “Trombosit saya drop, bukan karena demam berdarah, tetapi karena sebab lain,” tutur Lina.

Di detik-detik awal kehidupannya, Arka, yang bernama lengkap G Arka Putra Alvaro Sianipar, pun mengalami penurunan trombosit seperti dirinya. Bayi Arka sempat mendapat perawatan medis selama seminggu pascalahir. Untunglah, kecanggihan medis membantu proses pemulihannya.

“Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, saya mengimunisasi Arka sesuai jadwal. Awalnya di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tempat kontrol Arka untuk mengatasi masalah trombositnya. Setelah ia sehat, saya pindah ke bidan Tutik Purwani di Plumbon, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman,” kata Lina menceritakan pengalamannya.

F Reno Pandega, kakak sepupu Arka juga mendapatkan imunisasi dasar lengkap. “Reno lahir sampai selesai mendapatkan imunisasi dasar di tempat praktik Bidan Tutik Purwani,” tutur Nonik sang ibu. Sampai usia empat tahun sekarang ini Reno tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. “Gajah… singa… ular… beruang…!” teriak Reno sambil menunjuk satu per satu gambar binatang pada selembar poster berukuran 40×60 cm, selayaknya guru yang tengah mengabsen murid di kelas yang gaduh. 

Di Dusun Kadipuro, Sinduharjo, Ngaglik Sleman itu, dua bulan silam lahir bayi laki-laki bernama Muhammad D Alfarezki. Sang ibu, Latiffa, seperti ibu-ibu muda lain di kampung ini, mengimunisasi putra pertamanya itu. “Saat usia dua hari, Alfarezki mendapatkan imunisasi Hepatitis (HB 0), sebulan kemudian mendapatkan suntikan BCG dan minggu depan ia akan menerima vaksin IPV 1 atau pentavalen plus polio satu,” kata Latiffa sambil membuka-buka buku Kesehatan Ibu dan Anak yang bersampul merah muda, bergambarkan pasangan suami istri dengan satu balita putri dalam pose berdiri.

Sambil mendekap Alfarezki yang sedang tidur nyenyak di pangkuannya, Latiffa bercerita bahwa keputusan untuk imunisasi itu ia ambil karena alasan kesehatan. “Imunisasi kan untuk kekebalan tubuh, biar nggak gampang kena penyakit menular berbahaya,” kata Latiffa mengutip pesan bidan yang pembantu persalinan dan yang mengimunisasi putra pertamanya itu.       

Cerita yang sama datang dari kampung Jaban, sebelah timur Dusun Kadipuro. Di pedukuhan  itu tinggal keluarga Fendi Setyawan (31), berputra dua, semuanya balita, Earlina Arsyifa Salsabila (4,4 tahun) dan Arshad Reyhan Kaffeel (2,2 tahun). Kala Sabtu (22/2), Fendi  membawa putra putrinya ke Posyandu di dekat rumahnya. “Arsyifa dan Arsyad tumbuh normal sesuai usianya dan selalu gembira. Anak saya sehat.  Kalaupun mereka sakit, paling-paling batuk pilek,” kata Fendi yang datang ke posyandu bersama ibundanya, nenek dari kedua anaknya.           

Sambil menunggu dua buah hatinya ditimbang, diukur tinggi badan, dicatat lingkar lengan dan kepala serta diberi vitamin A, Fendi bercerita bahwa Arsyifa dan Arshad mendapatkan imunisasi dasar lengkap dilanjutkan imunisasi tambahan di tempat praktik Bidan Istri Utami. “Saya kurang paham imunisasi tambahan mereka apa, istri saya yang tahu,” ujar pewiraswasta muda ini.

“Untuk daya tahan tubuhnya dari wabah penyakit berbahaya saya percaya imunisasi dan untuk memantau perkembangannya saya selalu datang ke Posyandu,” tambah Fendi sambil melangkah mendekati Arshad dan Arsyifa yang baru saja selesai menjalani pengecekan dan masing-masing telah mendapatkan sepaket menu sehat untuk makan siang. 

Saat isu miring seputar vaksin yang menyangkut haram-halal, vaksin penyebab autis bahkan  pemicu kematian dikemukakan, mereka memberikan aneka jawaban. “Saya tidak pernah mendengar kabar itu,” jawab Lina Sontang. “Namanya program pemerintah, pastilah aman,” kata Minten Jumari, nenek Latiffa yang ikut nimbrung saat Jayakarta News bertandang ke rumahnya.

“Justru kalau tidak divaksin, saya malah takut cucu saya terserang macam-macam penyakit,” tutur Nia. “Yang penting imunisasi lengkap, yakin saja anak jadi kebal dan selamat dari penyakit menular berbahaya, polio misalnya,” sahut Nonik. “Sampai sekarang anak saya baik-baik saja, saya tidak tahu itu (halal-haram, vaksin bikin autis),” reaksi Fendi. “Percaya saja, imunisasi aman. Kalau tidak diimunisasi malah tidak aman, anak bisa cacat,” sahut Suharti.

Syaiful, Arka, Grace, Reno, Alfarezki, Arsyita dan Arshad adalah para bocah yang orang tuanya meyakini imunisasi penting sebagai tameng untuk menangkal penyakit, utamanya penyakit menular berbahaya yang memicu komplikasi dan berakibat fatal.  Para bocah dan orang tua mereka itu seperti mewakili pemeran dalam lagu gubahan AT Mahmud yang berjudul “Aku Anak Sehat”:

Aku anak sehat tubuhku kuat

Karena ibuku rajin dan cermat

Semasa aku bayi selalu diberi ASI

Makanan bergizi dan imunisasi

…..

BIAS Puskesma Ngaglik 2 di SD Donoharjo. (foto: ernaningtyas)

Para orang tua itu percaya, ketika imunisasi diberikan sesuai aturan, si buah hati terlindungi dari aneka penyakit menular berbahaya yang bisa memicu komplikasi, bahkan cacat sampai kematian. Imuninasi itu membuat anak-anak mereka seperti pribadi-pribadi yang dilapisi selimut transparan yang berfungsi sebagai pelindung. Mereka setuju dengan pernyataan: imunisasi oke, penyakit menular berbahaya no way.

Tidak semua anak memiliki orang tua yang meyakini bahwa imunisasi penting. Suharti yang juga kader Balita di kampungnya mendapati satu orang bocah tetangganya yang tidak mendapatkan imunisasi. “Ayah si anak yang tidak percaya imunisasi itu berasal dari Lampung, ibunya asli kampung. Mereka meragukan kehalalan vaksin yang kabarnya  mengandung babi,” papar Suharti.

Tak hanya Suharti yang mendapati pengalaman seperti itu. Bidan Yuli Amperawati, Nutrisionis Theodorus Indarto, dokter Trisni Nur Andayani dan Retno Sutomo dokter spesialis anak Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, memiliki pengalaman masing-masing seputar penolakan vaksin. 

Kiri: Bidan Yuli Amperawati. Kanan: Nutrisionis Theodorus Indarto.

Garda BIAS Puskesmas Ngaglik 2

BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) merupakan program tahunan nasional. Perhelatan akbar tindakan preventif terhadap pencegahan penyakit menular ini ada di bawah kendali   Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat)  bertanggungjawab sebagai eksekutor lapangan. Bila Puskesmas Ngaglik 2 menambahkan kata “Garda” di depan BIAS, itu dilakukan bukan tanpa alasan.

Di beberapa tempat yang menjadi wilayah kerja instansi kesehatan pelat merah ini penolakan terhadap imunisasi sering terjadi. Ada berbagai sebab antara lain isu haram vaksin. Garda berarti pengawal. Garda BIAS: sepasukan pengawal yang bertugas mensukseskan pelaksanaan BIAS.

dr Trisni Nur Andayani

Garda BIAS murni milik Puskesmas Ngaglik 2 yang beralamat di Jalan Tentara Pelajar, Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Program ini dicanangkan tahun 2013. “Garda BIAS melibatkan lintas sektoral mulai dari persiapan, koordinasi, sosialisasi, sampai sweeping murid yang belum terimunisasi,” kata dr Trisni Nur Andayani, Kepala Puskesmas itu.  

BIAS merupakan  imunisasi lanjutan yang diberikan kepada anak sekolah dasar (SD) setiap Agustus dan November. Bulan Agustus, program vaksinasi massal  ini memberikan imunisasi MR (campak-measles rubella) kepada anak kelas 1. Bulan November tindakan preventif skala  nasional ini memberikan imunisasi DT kepada siswa kelas 1 dan TD kepada anak kelas 2 dan kelas 5. DT atau Diphteria Tetanus berfungsi mencegah infeksi difteri dan tetanus. TD atau Tenanus Diphteria adalah imunisasi lanjutan agar anak kian kebal terhadap kedua penyakit menular tersebut.

Menurut catatan Puskesmas Ngaglik 2, ada tiga sekolah dan dua kampung yang memiliki sejarah menolak imunisasi: SDIT Hidayatullah, Pondok Al Ansor, Sekolah Taruna Alquran  serta kampung Tanjung Sari dan Wonosalam. Nutrisionis Theodorus Indarto dan Bidan Yuli Amperawati, saat ditemui JayakartaNews akhir pekan lalu, menceritakan pengalaman mereka seputar penolakan pengimunan di wilayah yang menjadi tanggung jawab Puskesmas Ngaglik 2. 

Keduanya karyawan yang telah cukup lama malang melintang di tempat itu. Theo, sapaan akrab Theodorus Indarto bergabung tahun 2002. Bidan Yuli, panggilan Yuli Amperawati datang tahun 2011. Ia pindahan dari Puskesmas Ngaglik 1.

Theo bercerita. Tahun 2005, ada Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Agendanya pemberian vaksinasi polio tetes. “Terjadi penolakan besar-besaran di dua sekolah yakni SDIT Hidayatullah dan Pondok Al Ansor,” kata Theo. Alasan penolakan itu berkaitan dengan kepercayaan tertentu yang mempertanyakan haram-halal vaksin.

Ia mengakui, jika ada penolakan seperti itu bisa dipastikan bahwa petugas Puskesmas menjadi enggan masuk. “Paling drop cakupan imunisasi sekolah ada di wilayah kerja Puskesmas kami,” tambahnya.  “Pak Theo gigih berjuang untuk menaikkan cakupan itu,” timpal Bidan Yuli.

Logo PIN 2005

Puskesmas Ngaglik 2 tak lantas diam. “Kami berusaha memberikan pemahaman manfaat imunisasi di kantong-kantong penolak,” kata Theo. Berbagai pihak yang berasal dari lintas sektoral seperti Muspika, Koramil, MUI, KUA dan wakil kabupaten dilibatkan. Serempak mereka bergerak memberikan edukasi pentingnya imunisasi.

Para ustad yang menjadi panutan mereka, akhirnya bisa memahami. Angka cakupan meroket. Hidayatullah misalnya, cakupan imunisasi yang awalnya 40 persen, pascasosialisasi gabungan itu, angkanya melonjak dua kali lipat menjadi 80 persen. “Itu prestasi besar. Satu bulan waktu yang kami gunakan untuk mendekati pihak sekolah,” tutur Theo.    

Dalam laman resminya di media sosial pada 1 Juli 2016, Puskesmas Ngaglik 2 yang berjarak sekitar 14 km dari pusat kota Yogya ini mengunggah berita  bahwa program imunisasi belum bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Ada dua dusun yang menolaknya: Tanjung Sari dan Wonosalam. Di kedua tempat itu cakupan imunisasi selama bertahun-tahun rendah. Akibatnya kelompok rentan campak bertambah.

Tahun 2011 kejadian luar biasa (KLB) pecah. Di Tanjung Sari dan Wonosalam campak mewabah. Penyakit ruam kulit yang berpotensi komplikasi pneumonia (infeksi paru-paru) dan radang otak itu menyerang 102 bocah. Tahun 2014, campak kembali berulah. Penyakit yang disebabkan paramixovirus ini menyerang 36 siswa SDIT Hidayatullah. Demikian berita sembilan dan enam tahun lampau, yang empat tahun silam diunggah.

Cerita lain diungkapkan oleh Bidan Yuli. Beberapa waktu silam, banyak orang tua murid  Sekolah Taruna Alquran  menolak imunisasi. Cakupan imunisasi di sekolah dasar ini berada di angka 50 persen. Sebabnya beragam. Ada isu vaksin haram karena mengandung babi, imunisasi tidak bermanfaat bagi tubuh, vaksin penyebab autis atau sewaktu bayi sudah mendapatkan imunisasi lengkap sehingga mereka merasa tidak memerlukan imunisasi lanjutan atau booster.

Di Taruna Alquran, pihak sekolah sendiri yang kemudian melakukan aksi. “Kebetulan ada satu orang tua murid yang berprofesi menjadi dokter. Dokter itulah yang kemudian menjelaskan tentang pentingnya imunisasi kepada para orang tua siswa. Rupanya orang tua yang dokter itu lebih dipercaya dari pada kami orang pemerintah. Angka cakupan pun naik drastis hingga  mencapai 95 persen bahkan sekolah ini pernah berangka cakupan 100 persen,” papar bidan Yuli panjang lebar.     

Yuli memiliki cerita dari sekolah lain, namun ia tak menyebutkan identitasnya. “Di sekolah itu orang tua yang tidak menyetujui anak mereka diimunisasi dikumpulkan. Mereka diberi penjelasan manfaat imunisasi,”  kata  Yuli.  Tak berhenti sebatas itu.  Si kepala sekolah, saat menerima murid baru mengultimuatum calon anak didiknya. “Kalau tidak mau diimunisasi, tidak usah sekolah disini,” tambah Yuli mengutip si kepala sekolah. BIAS tahun 2019 kemarin imunisasi MR (campak-measles rubela) di tempat itu mencapai 96 persen. 

Yuli dan Theo mengemukakan bahwa cakupan imunisasi sekolah di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik 2 meningkat di empat tahun terakhir: 87 persen, 88 persen, 89 persen dan tahun lalu tembus sedikit di atas 90-an persen. Sukses itu tak otomatis akan berulang di tahun-tahun berikutnya. “Ganti pemimpin, kembali terjadi penolakan,” kata Bidan Yuli.

Kedua petugas itu mensinyalir bahwa penolakan itu bisa jadi disebabkan gara-gara masyarakat melek internet. “Mereka membaca vaksin mengandung babi atau vaksin penyebab autis ya dari internet,” tutur Theo.

Pernah ada yang mencuplik hasil penelitian tahun 80-an yang mengambil sampel 12 anak autis yang pernah mendapat suntikan vaksin. Padahal berita itu tidak benar dan sudah dicabut,” sahut Yuli. Theo menimpali bahwa tidak semua yang mereka baca dari internet menghambat imunisasi. Ada yang sebaliknya. “Pondok Al Ansor misalnya, dari internet mereka tahu bahwa negera Arab pun mengimunisasi warga kanak-kanak. Berita ini berpengaruh positif terhadap keputusan mengimunisasi anak di pondok itu,” tambahnya.

Dinamika penolakan imunisasi yang selalu berulang itu membuat Puskesmas Ngaglik 2 memperkokoh Garda BIAS yang didanai oleh BOK (Bantuan Operasional Kesehatan). Dokter Trisni mengungkapkan pihaknya menyusun beberapa agenda kerja untuk Garda BIAS tahun 2020: pertemuan koordinasi, pembiayaan pelaksanaan BIAS, desiminasi informasi BIAS di sekolah, pertemuan koordinasi dengan lingkungan sekolah, komite sekolah dan MUI dalam pelaksanaan imunisasi, sweeping BIAS, workshop imunisasi di sekolah sampai surveilans KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi).

“Sekolah-sekolah yang mencapai angka cakupan 100 persen kami beri piagam. Yang sudah pernah meraih piagam itu SD Brengosan 1 dan 2,” tandas dr Trisni. Di Kecamatan Ngaglik Sleman Yogyakarta ada pula Puskesmas Ngaglik 1.

Dinamika imunisasi di tempat ini berbeda. “Di Puskesmas kami tidak pernah ada cerita penolakan imunisasi,” kata dokter Yuli Hamidah, Kepala Puskesmas Ngaglik 1. Perjalanan imunisasi yang lancar-lancar saja di tempat ini menggoreskan angka cakupan yang fantastik, nyaris mendekati 100 persen. Dokter Yuli, demikian ia disapa, memberikan catatan tangan cakupan imunisasi di Puskesmas yang dipimpinnya, pada tahun 2019.

Cakupan Imunisasi Puskesmas Ngaglik 1 tahun 2019

sumber: Puskesmas Ngaglik 1, Sleman Yogyakarta

Dokter Yuli dan koleganya dokter Trisni sama-sama memimpin puskesmas yang berperan menjadi ujung tombak pelaksanaan imunisasi. Puskesmas keduanya berada di Kecamatan yang sama, tetapi karakter masyarakat yang menjadi wilayah kerja mereka berbeda. Dokter Yuli mengutarakan, kendati tak ada penolakan, bukan berarti pihaknya leha-leha. Beberapa agenda dijalankan untuk mencapai prestasi cakupan sekaligus mempertahankannya: pendataan imunisasi oleh kader, sosialisasi imunisasi kepada guru lintas sektor, sosialisasi imunisasi kepada kader dan masyarakat, pemberian sertifikat kepada balita yang sudah menyelesaikan imunisasi sampai booster (pengulangan).

Sementara dokter Trisni dan pasukannya mesti berupaya lebih keras. Di era dunia yang serba digital, hoaks seputar vaksin terus berkelindan di seputar kehidupan. Namun ia percaya bahwa Garda BIAS-nya mampu menjadi jurus jitu penolak isu-isu miring yang mengganjal perjalanan imunisasi. Harapannya, berkat Garda BIAS angka cakupan terus meningkat dan yang penting KLB tidak muncul di wilayah kerja Puskesmas ini.

dr Retno Sutomo, Sp.A(K), Ph.D. (foto: ernaningtyas)

Perangi Hoaks Seputar Vaksin

 “Vaksin mengandung babi? Imunisasi penyebab autis, cacat, kematian? O… itu semua hoaks, tidak benar, jauh panggang dari api,” kata dokter Retno Sutomo, Sp.A(K), Ph.D. Kepala Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta ini termasuk sosok yang disibukkan oleh  berita bohong yang menyangkut dunia pencegahan penyakit menular pada anak-anak lewat imunisasi. Seiring profesinya sebagai konsultan tumbuh kembang anak, ia selalu berkampanye di berbagai tempat akan pentingnya imunisasi sekaligus meluruskan kabar miring seputar vaksin.

“Sebenarnya hoaks di seputar imunisasi itu isu lama yang sudah sangat membosankan,” kata dokter Tomo, panggilan akrabnya. Kendati kabar itu sudah merebak lama, telah disanggah pula, bahkan dicabut oleh pengunggahnya, namun ada baiknya semua pemangku kepentingan tetap  selalu  waspada. Ini penting, sebab, di era dunia digital seperti saat ini, kabar apa saja, baik cerita baru maupun lama, terlebih berita hoaks yang sarat rekayasa, bisa mencuat kapan saja, dimana saja, menyasar dan dipercayai siapa saja. Di dunia pencegahan penyakit menular anak, kabar bohong itu lazimnya berupa vaksin mengandung babi, imunisasi penyebab autis, penyebab cacat bahkan perenggut nyawa.

Dokter Tomo mengakui hampir semua pasien yang berjumpa dengannya menduga bahwa di dalam vaksin ada ekstrak babi. Kepada mereka, dokter yang merangkap dosen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM) ini memberikan penjelasannya. Dia katakan, tidak benar ada kandungan babi di dalam vaksin. Yang benar adalah: proses penyiapan media untuk menumbuhkan bahan baku vaksin memakai enzim dari pankreas babi. Tujuannya untuk memotong protein menjadi bahan makanan bagi si kuman. Kalau media sudah jadi dan siap ditanami, bahan enzim babi itu harus dihilangkan. Sebab, jika enzim itu masih bercokol di media tanam, kuman menolak tumbuh.

“Jadi, tidak benar asumsi para pasien saya yang menduga ada daging babi di dalam vaksin, DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)-nya pun tak ada,” tegas dokter Tomo. Dia menjelaskan, dalam pengecekan terakhirnya, telah dipastikan bahwa produk vaksin bebas kandungan apapun yang berasal dari babi.  Pembuktian vaksin bebas unsur babi itu melibatkan pula tim dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Produsen vaksin di tanah air adalah Biofarma, sebuah perusahaan BUMN. Hanya ada satu saja vaksin yang masih diimpor Indonesia, yakni MR produksi India. Sementara negeri ini telah mengekspor hasil vaksinnya ke lebih dari 120 negara di dunia, termasuk ke negara-negara di Timur Tengah.    

Dokter Tomo menjelaskan, enzim pankreas babi dipilih karena ia paling efisien. Saat ini, sedang dicari alternatif pengganti enzim pankreas babi. “Upaya mencari bahan substitusi itu penting supaya tidak menimbulkan syak wasangka,” tambahnya. Lagi pula tidak semua vaksin dikembangkan dengan media tanam berbahan enzim babi. Hanya vaksin rota virus dan polio tetes yang menggunakannya. “Vaksin polio tetes itu di DIY sudah tidak dipakai. Ia digantikan vaksin polio suntik. Jadi sangat sedikit vaksin yang pengembangannya dibantu media berbahan enzim babi, apalagi vaksin yang masuk program nasional,” papar dokter Tomo.   

Arsyifa Dan Arshad Di Posyandu pedukuhan Jaban. (foto: ernaningtyas)

Sebenarnya pula, kata dokter Tomo, di klinik anak yang ia pimpin, dalam sepuluh tahun terakhir, tak sampai mencapai hitungan lima jumlah kasus pasien penolak imunisasi. Alasan utama si penolak, vaksin mengandung babi. “Namun yang sedikit ini, bisa berpengaruh ketika berita penolakan itu  kemudian dibesar-besarkan,” tambahnya. Ia mengakui, isu halal-haram vaksin memang menduduki ranking tinggi penyumbang hoaks di seputar vaksin. Ada pasien yang setelah mendapatkan penjelasan kemudian mengizinkan anaknya diimunisasi, namun ada juga kasus sama dan si orang tua anak tetap menolaknya. Kedua tipe pasien itu pernah dihadapi langsung dokter Tomo. Ia menukil dua kasus.

Kasus pasien pertama terjadi tiga tahun silam. Ada kakak beradik menderita campak. Keduanya belum pernah mendapatkan imunisasi karena orang tua mereka meragukan kehalalan vaksin. Anak-anak itu mengalami  komplikasi pneumonia atau infeksi paru sehingga harus menerima alat bantu napas. Akhir cerita keduanya sembuh. “Si ibu tidak menduga sama sekali bahwa campak yang bergejala ruam-ruam merah di kulit bisa menyeret si penderita terkena komplikasi infeksi paru-paru bahkan si pasien berpotensi pula menderita peradangan otak. Setelah paham, si ibu malah meminta anaknya diimunisasi semua vaksin, tidak hanya sebatas yang masuk program pemerintah,” papar dokter Tomo.  

Pasien kedua beda cerita. Ini terjadi setahun lampau. Ada balita, tidak diimunisasi, terinfeksi campak. Pasien bayi ini juga menderita komplikasi pneumonia. Ia berhasil sembuh. “Kita menjelaskan kepada orang tuanya agar si bayi diimunisasi. Namun mereka tetap menolak semua vaksin karena alasan kehalalan,” cerita dokter Tomo. Keputusan si ibu menolak imunisasi karena pengaruh dari kakak dan suaminya. Dua cerita ber-ending beda. Dokter Tomo menegaskan, isu kehalalan vaksin yang bersikait dengan agama tertentu acapkali ia jumpai dalam kasus penolakan imunisasi. Namun demikian, apa pun reaksi orang tua, informasi seputar imunisasi tetap harus disebarluaskan secara benar.  

Dokter Tomo menyebutkan ada berita yang tidak benar lainnya seputar vaksin yakni imunisasi  menyebabkan autis. Dia menegaskan bahwa pernyataan itu tidak beralasan sama sekali. Ceritanya, hoaks ini berawal tahun 1998. Seorang dokter bedah Inggris meneliti sekelompok anak penderita autis. Ia memeriksa secara mikroskopis dengan mengambil sampel usus pasien untuk dilihat perkembangannya. Laporan hasil penelitiannya dimuat sebuah jurnal ilmiah papan atas. Kesimpulannya, penerima vaksin MMR (campak, rubela, gondongan) banyak yang menderita autis.

Poliklinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. (foto: ernaningtyas)

Peneliti lain mengulangnya, tetapi mereka semua tidak mendapatkan kesimpulan yang sama.  Tahun 2010 peneliti Inggris itu mengakui bahwa dirinya telah melakukan semacam kebohongan publik dengan memalsukan data. “Ada motif akademis dibalik semua itu. Si peneliti ingin hasil risetnya dimuat di jurnal bergengsi agar bombastis,” tutur dokter Tomo. Akhirnya artikel itu dicabut.

Tak hanya sebatas itu. Lisensinya sebagai dokter ikut dibatalkan. “Tapi bayangkan, selama 12 tahun artikel itu bertahan dan berkelana ke mana-mana,” tambah dokter Tomo. Efeknya sangat besar. Celakanya, walau tulisan itu telah dicabut, masih saja ada yang memunculkan kembali dan yang lebih celaka lagi masih ada yang mempercayai. “Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada hubungan sama sekali antara pemberian vaksin MMR dengan autis,” tambahnya.          

Dokter Tomo menjabat juga sebagai Sekretaris Komite Daerah Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda PP KIPI) DIY sejak 2010 hingga sekarang. Komda ini ada di setiap propinsi, bersifat independen dan profesional. Semua hasil penelitian Komda KIPI dikirim ke tingkat pusat. Tugas instansi ini menganalisis laporan yang berkaitan dengan efek negatif yang muncul pascaimunisasi.

“Komda KIPI meneliti, apakah efek negatif itu berkaitan dengan imunisasi atau tidak,” tuturnya. Ia menambahkan, selama ini yang ia jumpai hanyalah faktor kebetulan saja. Kebetulan pas habis disuntik vaksin, ada sakit lain yang mulai berjalan, kebetulan pula  penyebabnya masih berupa tunas sehingga tak terdeteksi sebelum imunisasi.  

Dokter Tomo menceritakan, ada faktor kebetulan yang pernah heboh terjadi saat kepemimpinan Presiden SBY. Peristiwanya berlangsung di Cikeas sekitar sepuluh tahun silam. Waktu itu ada kabar bocah lumpuh setelah divaksin polio. Kejadian ini menyulut demo di kediaman orang nomor satu Indonesia kala itu.

Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa si bocah memiliki infeksi tbc tulang belakang. Kebetulan setelah diimunisasi ia terjatuh dari kursi lantas lumpuh. “Kelumpuhan itu bukan karena imunisasi. Pembiusan radiologi membuktikan bahwa keropos tulang belakang itu akibat tbc tulang. Berita yang terlanjur beredar adalah anak lumpuh karena vaksin. Hoaks lagi!” katanya.

“Imunisasi menyebabkan mati?  Wah, penyebab mati itu bisa macam-macam,” jawab dokter Tomo menanggapi isu vaksin bisa menyebabkan kematian. Tindakan medis memang ada resikonya. Tapi yang mesti diingat adalah, pertama: imunisasi diberikan kepada anak sehat agar ia menjadi lebih sehat. Kejadian ikutan pascaimunisasi yang umum ditemui adalah demam ringan atau bengkak di tempat suntikan. Anak menjadi rewel karenanya. Efek itu tergolong ringan. Kedua, ketika vaksin menjadi program, lebih besar keuntungannya dari pada resikonya.  

Ada satu lagi informasi tidak benar yang menghambat pelaksanaan imunisasi. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa imunisasi cukup diperoleh lewat pemberian ASI (Air Susu Ibu). “Kata mereka imun is ASI, jadi imunisasi cukup diperoleh lewat ASI,” tutur dokter Tomo. Ia membenarkan bahwa di dalam ASI ada kandungan bahan untuk kekebalan tubuh. Tetapi itu bersifat umum. Sedangkan imunisasi bersifat spesifik dalam membentuk  kekebalan tubuh terhadap masing-masing virus atau bakteri. 

Dokter Tomo mengakui hoaks bukan satu-satunya alasan pasien menolak imunisasi. Tetapi memang alasan itu cukup signifikan. Karena itu, upaya memerangi hoaks ini menjadi agenda rutinnya. Cara yang ia tempuh adalah memberikan informasi yang benar seputar manfaat vaksinasi. Itu ia lakukan baik pada saat menghadapi pasien maupun dalam aneka kesempatan yang melibatkan banyak audiens. Ia memiliki sebundel slide yang menjelaskan secara lengkap manfaat imunisasi sampai pelurusan berita hoaks lewat infografis sederhana yang amat mudah dipahami. Beberapa contohnya:

Sumber: Makalah “Mengapa Imunisasi Pada Anak Penting” oleh dr Retno Sutomo Sp.A(K) Ph.D

“Tidak perlu sakit dulu demi mendapatkan kekebalan alamiah, sebab kekebalan ini tidak memadai serta beresiko besar: pasien sembuh dengan komplikasi atau bisa meninggal dunia,” papar dokter Tomo. Sementara imunisasi adalah kekebalan buatan tanpa membuat si pasien menderita sakit. Ia menunjukkan beberapa ilustrasinya tentang resiko pasien terinfeksi penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi:

Dokter Tomo merasakan bahwa hoaks seputar vaksin  sudah sangat membosankan. Isu tak berdasar itu selalu berulang dan berulang, celakanya semua itu berdasar info yang sudah usang. Ini persis pengalaman Bidan Yuli dan Theo dari Puskesmas Ngaglik 2. Untungnya para pemangku kepentingan di bidang kesehatan itu tak pernah bosan mengedukasi masyarakat perihal manfaat imunisasi, juga tentang informasi yang benar untuk meluruskan berita-berita hoaks yang liar berseliweran di era dunia digital. Ini semua merupakan upaya menuju dunia bebas penyakit menular.

Indonesia telah bebas polio maupun tetanus. Kendati demikian imunisasi untuk kedua penyakit menular itu tetap harus berjalan. Negeri ini menargetkan bebas campak-rubela pada tahun 2020.  

Sementara tahun 2019 lalu, kasus campak dunia meroket. Kurban terbesar ada di Kongo. Ratusan ribu warga negara di Afrika itu terinfeksi campak, dua ribu lebih di antaranya meninggal dunia. Para bocah-bocah Kongo kurban campak itu rupanya tak seberuntung Syaiful Ardhi dan para bocah Kecamatan Ngaglik lainnya yang telah mendapatkan perlindungan melalui imunisasi.

Seperti ada tentara di dalam tubuh bocah-bocah Ngaglik itu. “Pasukan bersenjata” mereka siap menembakkan peluru ke arah virus penyebab penyakit menular berbahaya. Imunisasi oke, penyakit menular berbahaya no way. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *