Feature
Imunisasi bagi Pewaris Negeri
Jayakarta News – Keisya berontak, menangis, dan meraung. Dua perempuan lain memegang kuat dan menenangkannya. Keisya, bayi 20 bulan itu, makin kejer demi melihat bidan Kokom datang memegang suntikan.
Puncak tangisan Keisya malah membuat Anna Maria Siagian, sang bunda, tersenyum lega. Anaknya sudah selesai disuntik vaksin DPT (difteri, pertusis, dan tetanus). Imunisasi DPT adalah salah satu vaksinasi yang wajib diberikan kepada balita
“Nggak tega juga sih lihat Keisya nangis kejer… tapi vaksin DPT kan penting dan harus,” ujar Anna Maria.
Neneknya, Eunike Latifa yang ikut mengantar cucu kesayangannya suntik vaksin, membenarkan. “Imunisasi ini kan untuk menangkal DPT,” ujar Eunike kepada Jayakarta News di Klikik Bersalin 24 Jam Bidan Khodijah, Krukut, Depok – Jawa Barat.
Ia mengaku memperhatikan betul jadwal pemberian vaksin bagi cucu pertamanya. Ia pula yang menenangkan Anna jika panik karena anaknya demam usai divaksin. “Demam habis disuntik vaksin itu biasa. Kasih obat demam saja, tidak perlu khawatir,” ujarnya bijak.
Bukan hanya Eunike yang menganggap penting imunisasi. Bagi Irgy Rerena Purba pun demikian. Ibu dari bayi Irenada Kaizthetica Saragih ini, telah memberikan hampir semua vaksin dasar yang wajib bagi sang bayi yang lahir pada Juli 2019. “Tinggal suntik campak, nanti pas umur 9 bulan,” ujar Irgy sambil tersenyum.
Untuk imunisasi, Irgy membawa anaknya ke klinik dekat rumahnya, Vila Mutiara Depok. “Benar. Saya termasuk yang menganggap penting imunisasi. Apalagi virus makin aneh-aneh sekarang,” ujarnya.
LINK VIDEO: KEISYA KEJER – BUNDA TERSENYUM
Bagi ibu muda ini, pengetahuan ihwal pentingnya imunisasi, didapat dari orang tua dan internet. Melalui pemahaman yang benar, Irgy tidak pernah khawatir dengan isu keliru tentang imunisasi. Misalnya, vaksin mengakibatkan anak sakit panas, bahkan bisa autis. “Saya tidak percaya dengan isu itu. Saya juga dulu diimunisasi, buktinya tidak apa-apa,” tandas Irgy lagi.
Diakui Irgy, peran orang tua dan tenaga medis di Puskesmas atau klinik sekitar rumah sangat perlu untuk menjelaskan pentingnya imunisasi. Khususnya bagi ibu-ibu muda sepertinya.
Begitu juga bayi Ayesha Azahra El’nur dan Shameer Hussein. Kedua bayi ini pun mendapatkan imunisasi tepat waktu. Orang tua kedua bayi ini, sangat mengerti pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak.
Seperti diakui Rahmawati, bunda Ayesha, imunisasi sangat penting. Karena itu, sejak bayinya usia satu minggu sudah disuntikkan HB O (vaksin hepatitis) oleh bidan Dwi Agustianty Utari, A.Md. Keb di klinik Rizkasanah Kamilia, Am.Keb, Perum Permata Depok.
Shameer Hussein, bayi berumur 8 bulan ini pun, sangat beruntung, imunisasi yang diberikan bundanya, Amira Najah, sangat lengkap dan tepat waktu.
Memang beruntung bagi para bayi ini, jika orang tua atau neneknya sangat memperhatikan kesehatan mereka melalui pemberian imunisasi dasar. Seperti yang diakui Bidan Dwi Agustianty Utari yang akrab dipanggil Riri.
Selama dia bertugas menjadi bidan belum pernah mengalami penolakan imunisasi dari orang tua atau keluarga bayi. “Alhamdulillah, kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi makin meningkat dari waktu ke watku,” jelas Riri yang telah menjalani profesi bidan sejak 2007.
Sebagai bidan, Riri juga sadar bahwa profesinya adalah ujung tombak dalam hal sosialisasi pentingnya imunisasi. Meski begitu, masih ada sebagian kecil –kecil sekali—masyarakat yang masih menolak anaknya diimunisasi, dengan alasan keyakinan.
Ada pula yang menolak memvaksin anak-anaknya karena alasan biaya. “Yang takut anaknya jadi autis juga masih ada,” ujar dr. Sri Saparni, Sp.A di RS Hermina, Depok.
Menanggapi masih adanya sebagian masyarakat yang menolak imunisasi, Sri Saparni prihatin. Terlebih jika alasannya karena keyakinan. “Kalau dalihnya agama, biasanya agak sulit untuk diubah, meski sudah kita lakukan dengan berbagai cara,” katanya.
Yang pasti, diterima-atau-tidak, wajib bagi dokter atau bidan untuk menginformasikan kepada para ibu yang melahirkan, tentang pentingnya imunisasi. “Termasuk kami jelaskan, kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika si anak tidak diimunisasi,” ujar dokter Sri di ruang prakteknya.
Pihak Kementerian Kesehatan pun mengakui masih ada orang tua yang tidak mau memberikan imunisasi untuk anaknya, dengan berbagai alasan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), diungkapkan dari Ditjen P2P bidang imunisasi, ada beberapa alasan yang membuat anak tidak mendapatkan imunisasi karena orangtuanya menolak.
Alasan pertama adalah anaknya mengalami demam (28.8 persen), kemudian disusul alasan tidak diizinkan keluarga (26,3 persen). Alasan berikutnya adalah jauh dari tempat imunisasi (21,9 persen), disusul alasan orangtua sibuk atau tidak ada waktu (16,3 persen). Dua alasan terbawah adalah anak sering sakit (6,8 persen) dan tidak mengetahui tempat imunisasi (6,7 persen).
Di luar alasan-alasan itu, diketahui masih ada kesalahpahaman dan ketidaktahuan tentang vaksin itu sendiri. Misalnya tentang tujuan pemberian vaksin, kandungan vaksin, dan asal muasal vaksin.
Ikhtiar untuk Kebal
Dijelaskan, imunisasi pada dasarnya adalah ikhtiar untuk kekebalan tubuh (imunitas), dan mencegah penyakit tertentu. Jika kemudian ada yang membawanya ke ranah isu halal-haram, perlu diketahui bahwa Fatwa MUI no 4/2016 antara lain disebutkan: dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dapat dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
Karenanya, untuk informasi yang tidak tepat tentang imunisasi, Kementerian Kesehatan terus berupaya menyampaikan/menyebarluaskan informasi yang benar kepada masyarakat. Informasi itu melalui berbagai media, termasuk media sosial.
Penyampaian informasi ini juga melibatkan partisipasi masyarakat seperti kader, dan organisasi profesi (dokter, bidan). Proses penyampaian informasi ini terus dilakukan dan berharap semakin banyak masyarakat yang menerima dan memahaminya.
Diharapkan, masyarakat makin sadar dan bersedia membawa diri dan anaknya ke faskes terdekat untuk mendapatkan pelayanan imunisasi. Kesadaran bahwa anak berhak hidup sehat inilah yang harus terus dibangun.
Dijelaskan Sri Saparni, jika orang tua tidak memberikan imunisasi, sementara anak berhak hidup sehat, maka orang tualah yang egois. “Egois karena menutup peluang anaknya hidup sehat. Ditambah, kemungkinan anaknya akan menularkan penyakit kepada anak-anak lain, karena tidak diimunisasi,” ujar dokter yang sudah 20 tahun mengantongi izin praktek itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan ada yang lebih ganjil. Ketika ibunya hendak membawa anaknya imunisasi, larangan justru datang dari ayahnya. “Kalau sudah bilang, ‘pokoknya tidak boleh’, ini sulit diubah. Istrinya pun menurut karena takut sama suami. Ini contoh lain ayah yang sangat egois,” tambah dokter lulusan Undip tahun 1991 itu.
Diakui Sri, sekalipun memang sulit mengubah pemikiran orang tua terkait keyakinan, tetapi usaha itu harus terus disampaikan. Tidak boleh jenuh.
Demikian pun dari pihak Kemenkes, tak henti-henti menangkal hoaks terkait imunisasi. Misal, hoaks imunisasi mengakibatkan autis. Hoaks imunisasi mengandung babi. Atau bahkan imunisasi mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian.
Untuk hal tersebut, Kemenkes bekerjasama dengan para pemangku kepentingan baik dengan lintas sektor dan lintas program termasuk dalam hal ini organisasi profesi, organisasi agama, media dan lainnya, berupaya melakukan sosialisasi tentang imunisasi. Tujuannya memberikan edukasi kepada masyarakat.
Sebab, anak berhak untuk sehat. Bukankah mereka adalah pewaris sah negeri ini? Itu artinya, “IMUNISASI HARGA MATI”. (melva tobing)