Connect with us

Feature

Gebrak Meja Dapat Duit

Published

on

Buyar Winarso, sudah lama “memusuhi” kemiskinan. (foto: is)

JAYAKARTA NEWS – Jangan ditanya soal susahnya hidup di Jakarta saat-saat awal. Tak terhitung bilangannya. Dengan modal cekak, bahkan nyaris tak beruang, ia terus berjuang untuk survive. Salah satu kunci yang senantiasa lekat di hati Buyar Winarso adalah “memegang amanah”, serta ‘entengan’, mau mengerjakan apa saja tanpa pilah-pilih.

Ihwal “memegang amanah” dan ‘entengan’, bukan sesuatu yang sulit dijalankan oleh Buyar Winarso. Baginya, prinsip “memegang kepercayaan orang” sudah dipegang sejak kecil. Ibarat sudah menjadi napas kehidupannya.

Ia pun tak segan membantu teman, atau siapa pun, tanpa melihat apa jenis pekerjaan, dari kerja kasar sampai sekadar membantu menjadi pendengar yang baik. Barangkali karena karakter itu pula, sang majikan pemilik rumah di Kebon Jeruk menaruh rasa “sayang” dan perhatian kepadanya.

“Saat hendak berangkat ke Jakarta dulu, saya sudah bertekad, kalau orang memberi amanah kepada saya, akan saya jalankan sekuat tenaga dan penuh rasa tanggung jawab. Mungkin kalau saya di-chalenge soal ilmu pengetahuan, saya kedodoran, mengingat pendidikan saya yang baru lulus SMA, dan usia yang juga belum matang. Tetapi dalam hal menjalankan amanah, insya Allah saya akan perjuangkan mati-matian. Alhamdulillah, konsep hidup saya ini berjalan baik,” tuturnya.

Begitulah, setiap ada kesempatan keluar rumah, dimanfaatkannya untuk melamar pekerjaan. Hingga suatu hari, ia mendengar ada lowongan pekerjaan di sebuah tempat. Dengan ongkos yang diberikan bos, ia pun mencari lokasi kantor tersebut.

Tiba pada suatu hari, ketika sedang keliling Jakarta mencari pekerjaan, dia melihat ada sebuah restoran di bilangan Tugu Monas yang akan buka. Tak menyia-nyiakan peluang, ia pun memasukkan berkas lamaran ke restoran tersebut. Ia kembali teringat peristiwa di Bandung dulu, saat ia melamar dan akhirnya kerja di restoran Padang. Bedanya, kali ini ia tidak langsung diterima, tetapi diminta kembali lagi bulan depan, karena pembangunan belum selesai. Masih dalam proses finishing.

Sebulan berlalu, ia pun kembali mendatangi restoran di bilangan Tugu Monas. Sesampai di sana, petugas menyuruhnya menunggu, karena bos restoran belum datang. Dari pagi hingga siang dia menunggu, perut lapar keroncongan ia tahan sekuat tenaga, demi mendapatkan kepastian diterima-tidaknya lamaran. Yang terjadi kemudian adalah kisah getir.

“Bayangkan, saya sudah disuruh menunggu seharian, rasa lapar saya tahan, eh… begitu bos datang dia bilang, mohon maaf Anda terlambat! Wahhh… darah muda saya naik, naik pitam. Reflek saya menggebrak meja, braaakkkk..!!! Si bos kaget… mungkin kaget campur takut juga dia…,” papar Buyar seraya melanjutkan kisahnya, “yang terjadi kemudian, si bos meminta maaf dan memberi saya amplop berisi uang tiga-ratus-lima-puluh-ribu rupiah. Duit yang banyak ketika itu. Maksud si bos mungkin mereda kemarahan saya, atau mungkin dengan maksud pengganti uang transpor dan uang makan menunggu seharian. Yang jelas, kisah itu ditutup dengan kenyataan pahit, saya tidak diterima bekerja di tempat itu.”

Dengan mengantongi uang Rp 350.000, Buyar Winarso ingat teman-teman lama yang dulu tinggal di Cikokol, dan sekarang tinggal di Kebayoran Lama. Sebelum pulang ke Kebon Jeruk, ia mampir ke Kebayoran Lama, dan mentraktir makan semua temannya yang tinggal di rumah petak itu. Mereka semua mengira saya sudah bekerja.

“Awalnya mereka ngotot tidak percaya waktu saya katakan, bahwa saya belum bekerja. Akhirnya, saya ceritakan kejadian di Monas. Tapi soal saya menggebrak meja, tidak saya ceritakan… ha… ha… ha….malu! Selesai makan, sisa uang saya bagi-bagikan ke mereka, setelah sebelumnya saya ambil sebagian untuk ongkos mencari pekerjaan lagi,” paparnya.

Keesokan hari, usai beres-beres rumah, Buyar Winarso kembali mencari pekerjaan. Kembali keliling kota Jakarta dari satu tempat ke tempat lain berbekal alamat yang ia dapat dari informasi lowongan kerja di koran. Kelu kaki tak dirasa, peluh meleleh, tak dihirau, sedih hati tak digubris. Ia terus dan terus berusaha mengetuk setiap pintu kesempatan, mencoba melamar aneka jenis lowongan kerja. “Jakarta benar-benar keras. Tidak salah kalau ada yang bilang ‘Jakarta kejam’,” katanya pelan.

Keras dan kejamnya Jakarta, sama sekali tak menyurutkan langkah Winarso untuk terus berusaha. Baginya, tidak ada pilihan lain kecuali berusaha dan berusaha. Tak sedikit pun terbersih rasa menyerah dan keinginan pulang kampung. Maka, ia pun terus berkutat dengan pekerjaan mencari pekerjaan dari satu lowongan ke peluang kerja yang lain.

Sekalipun sudah pernah ke Jakarta sebelumnya, tetapi Winarso masih sangat awam dengan jalan-jalan dan daerah-daerah Jakarta secara keseluruhan. Apalagi, daerah dengan luas 650 km persegi ini, begitu hiruk-pikuk, ramai kendaraan, ramai manusia, banyak lintas dan simpang jalan. Sungguh tidak mudah mencari alamat.

Tidak jarang, ia gagal menemukan alamat yang dituju. Seperti kejadian ketika ia mencari sebuah alamat di bilangan Kota (Beos). Daerah itu terletak di Kota Tua. Sangat padat sejak zaman Belanda. Buyar Winarso pun kesasar kesana-kesini, dan gagal menemukan alamat yang dituju. Sampailah ia di kawasan Monas. Ya, lagi-lagi Monas, sebagai daerah yang sudah menanamkan kesan di hatinya, kesan menggebrak meja dan mendapat uang….

“Saya benar-benar kecapaian. Akhirnya saya ngaso di bawah pohon rindang, yang ketika itu banyak tumbuh di sekitar Tugu Monas,” kisahnya. Tak diduga, hal gaib kembali terjadi. Saat ia leyeh-leyeh di bawah pohon rindang, ditiup semilir angin, maka kesadarannya pun hilang. Ia pun masuk ke alam tidur. “Kakek saya kembali datang dalam mimpi. Hanya sekilas sosok kakek muncul dan mengatakan, ‘pulang saja, karena di sini tidak ada pekerjaan…’ Seketika saya pun terbangun,” ujarnya.

Ini bukan pasemon pertama dari sang kakek yang dinyatakan lewat alam mimpi. Mestinya, ia bisa langsung menyimpulkan, bahwa terjemahan dari kalimat sang kakek adalah, “tetaplah di Jakarta, karena sesungguhnya ada pekerjaan untukmu”. Mungkin karena sekian lama ia keliling Jakarta mencari kerja dan tak kunjung mendapatkan, wajar saja jika ia pun sempat sedikit ragu tentang kalimat sang kakek.

Keraguan itu ia bawa pulang ke rumah majikan di Kebon Jeruk. Hingga larut menjemput, tubuh lelah tak juga nyaman dibawa rebah. Ia masih saja memikirkan makna mimpi di taman Monas tadi. Pikirannya sedikit tenang, ketika ia justru menekur diri, mencoba untuk mendengarkan suara hati. Hatinya tegas berkata, “Saya harus bertahan di Jakarta. Saya tidak boleh kalah. Saya harus terus berusaha mencari kerja.”

Nyatanya demikian. Tak lama sejak “didatangi” kakek dalam mimpi siang bolong di Monas, Dewi Fortuna menghampiri dirinya. Adiknya, Gito, membawa kabar bahwa di kantornya ada lowongan. Sebuah lowongan pegawai rendahan di Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) bernama PT Bhinneka Karya Manunggal.

Kantornya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Perusahaan mengirim tenaga kerja-tenaga kerja asal Indonesia ke Timur Tengah, khususnya ke Arab Saudi. “Saya bekerja di perusahaan itu sejak 17 September 1986 sampai tahun 1993, dengan gaji pertama dua-puluh-lima-ribu rupiah,” kenang Buyar Winarso. (Roso Daras/Bersambung)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *