Connect with us

Entertainment

Emilia Clarke, bintang “Game of Thrones” yang Dua Kali Lolos Dari Kematian

Published

on

Emilia Clarke

Oleh: Leo Patty

Tulisan dibawah ini merupakan terjemahan dari tulisan Emilia Clarke (newyorker.com),bintang televisi  “Game of Thrones” yang berjuang mempertahankan hidupnya. Diterjemahkan karena memberi inspirasi kuat bagi kita untuk terus maju melakukan kebaikan apapun kondisi kita.

JAYAKARTA – Ketika impian masa kecil saya merebak mulai jadi kenyataan, mendadak saya hanpir-hampir kehilangan kesadaran dan bahkan hidup saya. Saya tidak pernah menceritakannya dan sekarang sudah saatnya diungkapkan.

Dimulai pada awal tahun 2011. Saya baru saja menyelesaikan pengambilan gambar musim pertama “Game of Thrones”, serial baru HBO berdasarkan novel George R.R. Martin yang berjudul “ A Song of Ice and Fire”.  Meski tanpa pengalaman profesional apapun, saya diberi peran Daenery Tagarven, yang juga dikenal sebagai Khaleesi dari ‘Great Grass Sea’, Ibu dari Dragonstone, Penghancur Rantai (perbudakan), dan Ibu Naga. Sebagai seorang puteri muda, Daenery ‘dijual’ sebagai pengantin untuk kepala suku Dothraki, bernama Khal Drogo. Cerita ini panjang sekali — delapan musim (dari 2011 – 2018) — tapi pada pokoknya bisa dikatakan dia naik status dan kekuasaannya. Dia jadi tokoh yang memiliki kekuasaan dan kekayaan besar. Beberapa waktu setelah penayangan film televisi ini, banyak remaja putri mulai memakai wig berwarna perak dan mengenakan jubah ala Daenerys Targaryen dalam perayaan Halloween.

Pencipta serial TV ini, David Bernioff dan D.B. Weiss, menyatakan karakter saya adalah campuran antara Napoleon, Joan of Arc, dan Lawrence of Arabia. Namun beberapa minggu setelah selesai pengambilan gambar musim pertama — kendati ada kemeriahan publikasi film dan pemutaran perdananya — saya sama sekali tidak merasa bersemangat sebagai sang penakluk. Saya justru sangat takut. Ketakutan akan perhatian, ketakutan akan hal-hal yang saya tidak mengerti, ketakutan akan bagaimana caranya terlihat percaya diri, seperti yang diharapkan dari para pencipta “Throne”. Saya merasa, dalam segala hal, terekspos. Pada episode pertama, saya tampil tanpa selembar benang ditubuh, dan sejak saat itu setiap kali bertemu wartawan, saya selalu ditanya pertanyaan yang sama “Anda memainkan peran seorang perempuan yang sangat kuat dan tapi tetap saja anda membuka pakaian anda. Kenapa?” Dalam benak saya, saya menjawab, “Berapa banyak laki-laki harus saya bunuh untuk membuktikan diri saya.”

Untuk mengurangi stres, saya berolah raga dengan bantuan pelatih. Sekarang, saya adalah aktris televisi dan aktris biasanya melakukan hal ini. Kami berolah-raga. Pada pagi hari 11 Februari 2011, saya sedang mengenakan pakaian di ruang ganti senam (Gym) di Crouch End, London Utara. Mendadak, saya mulai mengalami sakit kepala berat. Saya benar-benar lelah, sampai-sampai saya susah payah mengenakan sepatu olah raga saya. Ketika mulai berolah raga, saya harus memaksakan diri  melakukan beberapa gerakan olah raga.

Kemudian, pelatih saya menempatkan saya pada posisi terlentang dan saya langsung merasa ada seperti ikatan kuat menekan otak saya. Saya mencoba tidak mempedulikan rasa sakit itu dan tetap berusaha melakukan gerakan olah raga, tapi kemudian saya sudah tidak bisa bergerak. Saya bilang kepada pelatih, saya harus istirahat. Entah begaimana, hampir – hampir merangkak, saya sampai di ruang ganti. Saya ke toilet, jatuh berlutut, dan sangat kesakitan. Sementara rasa sakit — seperti seakan-akan ditembak, ditusuk, sakit terus-menerus — makin lama semakin memburuk. Pada satu titik, saya tahu apa yang terjadi; otak saya mengalami kerusakan.

Untuk beberapa saat, saya coba menahan rasa sakit dan rasa gamang. Saya katakan kepada diri saya,”Saya tidak akan lumpuh.” Saya menggerakkan jari tangan dan kaki untuk memastikannya. Dan untuk memastikan ingatan tetap ada,  saya mencoba mengingat, beberapa diantaranya, kalimat – kalimat dari “Game of Thrones”.

Saya mendengar suara perempuan dari pintu sebelah, menanyakan apakah saya baik-baik saja. Tidak, saya sakit. Dia datang dan menolong saya dan menidurkan saya menyamping, posisi untuk memulihkan diri. Kemudian, dalam sekejab, jadi ribut dan kabur. Saya ingat saya mendengar suara sirene, ambulan; saya mendengar suara-suara, seseorang berkata denyut jantung saya lemah. Saya dibaringkan dengan terburu-buru. Seseorang menemukan telepon saya dan menelepon orang tua saya, yang tinggal di Oxfordshire, dan mereka diberitahu saya ada di IGD Rumah Sakit Whitington.

Kabut ketidak-sadaran menggantung diatas saya. Sejak dari ambulan, saya dibaringkan di brankar dan didorong melewati gang-gang, yang berbau disinfektan, dan suara-suara orang yang sedang kuatir. Karena tidak ada seorangpun tahu apa yang salah di tubuh saya, para dokter dan perawat tidak bisa memberi saya obat apapun untuk mengurangi rasa sakit ini.

Akhirnya, saya dirujuk untuk pemindaian otak atau MRI. Diagnosa dilakukan dengan cepat dan pasti; subarachnoid hemorrhage (SAH), stroke berat yang mengancam jiwa, disebabkan oleh perdarahan disekeliling otak. Saya menderita aneurisma (pembengkakan pembuluh darah di otak) yang sudah pecah. Belakangan, saya mengetahui  sepertiga pasien SAH (aneurisma) meninggal setelah pembuluh darahnya pecah. Bagi pasien yang selamat, diperlukan perawatan khusus untuk menutup aneurisma karena ada resiko tinggi kemungkinan pecah kembali pembuluh darahnya. Jika saya ingin tetap hidup dan menghindari serangan kedua, saya harus segera dioperasi. Dan bahkan setelah itu, tetap tidak ada jaminan.

Saya dilarikan ambulan ke Rumah Sakit Nasional Neurologi dan Neurosurgery, bangunan indah dengan bata merah di London tengah. Saat itu sudah malam. Ibu saya tertidur di bangku rumah sakit dan saya mengalami tidur ayam (tidur dan bangun) dan dipengaruhi obat-obatan, rasa sakit, dan terus-menerus mengalami mimpi buruk.

Saya masih ingat, saya diminta menandatangani formulir operasi. Operasi Otak? Saya sedang  sangat sibuk (kerja) — saya tidak punya waktu untuk operasi otak. Tetapi akhirnya, saya menenangkan diri dan menandatangani formulir itu. Beberapa saat kemudian, saya tidak sadarkan diri. Selama tiga jam berikutnya, dokter bedah memperbaiki otak saya. Dan ini bukanlah operasi yang terakhir, dan juga bukan yang paling buruk. Saya baru berumur dua puluh empat tahun.

Saya besar di Oxford dan jarang sekali memikirkan soal kesehatan. Seluruh pikiran saya terpusat pada akting. Ayah saya bekerja sebagai penata musik. Dia mengerjakan (musik) pementasan teater “West Side Story” dan “Chicago” di West End. Ibu saya adalah seorang pengusaha, wakil direktur marketing perusahaan konsultan global manajemen. Kami bukan orang kaya, tapi kakak dan saya bersekolah di sekolah swasta. Orang tua kami, menghendaki yang terbaik untuk kami,  dan berjuang keras membayar uang sekolah (yang sangat mahal).

Saya tidak terlalu ingat kapan saya memutuskan untuk menjadi aktris. Saya sempat diberitahu mungkin pada usia tiga atau empat tahun. Ketika itu, saya mengunjungi teater bersama ayah. Saya sangat tertarik dengan hingar-bingar kehidupan dibelakang panggung teater; gosip, peralatan panggung, kostum, dan semua orang berbisik-bisik dan terlihat selalu terburu-buru, serta tempatnya gelap temaran Pada usia tiga tahun, ayah saya mengajak untuk menonton pementasan teater berjudul “Show Boat”. Meski biasanya saya cerewet, sepanjang pertunjukan saya bisa duduk diam dan tenang selama lebih dari dua jam. Ketika layar tertutup, saya berdiri dan bertepuk tangan dengan semangat.

Saya, saat isu, benar-benar sangat tertarik. Di rumah, saya memutar rekaman VHS (pementasan teater) berjudul “My Fair Lady” berulang-ulang sampai sampai pitanya kusut. Saya rasa cerita Pygmalion menjadi pertanda bagi saya tentang bagaimana — dengan latihan yang cukup dan sutradara yang bagus —  anda bisa jadi ‘orang lain’. Saya merasa ayah tidak senang ketika saya menyatakan saya ingin jadi aktris. Dia tahu kehidupan para aktor dan dimatanya mereka itu orang sakit mental dan pengangguran belaka.

Di sekolah saya, di Oxford, Sekolah Squirrel, adalah sekolah yang ideal, teratur, dan manis. Ketika saya berusia lima tahun, saya mendapat peran utama pada  sebuah pementasan sekolah. Ketika saya masuk panggung dan seharusnya berbicara (sesuai skrip), mendadak saya lupa semuanya. Saya cuma berdiri kaku, ditengah panggung, diam. Di deretan terdepan penonton, para guru mencoba membantu dengan suara berbisik kata-kata yang seharusnya saya ucapkan. Tapi saya cuma berdiri dengan sangat tenang dan tanpa rasa takut. Kondisi (tenang) inilah yang saya bawa disepanjang karir saya. Saat ini, saya bisa berjalan di ‘karpet merah’ dengan ribuan kamera mengambil gambar dan saya tetap tenang. Tentu saja, jika menempatkan saya di meja pesta makan malam bersama enam orang akan jadi hal berbeda.

Dengan berlalunya waktu, saya semakin baik dalam berakting. Bahkan saya bisa mengingat kalimat yang harus dikatakan. Tapi saya bukanlah orang yang sangat berbakat. Ketika saya berumur sepuluh tahun, ayah saya mengajak saya mengikuti audisi di West End untuk (yang akan mementaskan) karya Neil Simnon, ‘The Goodbye Girl’. Ketika saya masuk kedalam, barulah saya sadar setiap anak perempuan, yang mengikuti audisi, menyanyikan lagu dari (grup band) ‘Cats’. Lagu yang saya bisa bawakan hanyalah lagu rakyat Inggris, “Donkey Riding’. Setelah mereka mendengarkan, dengan sabar, seseorang bertanya,”Bagaimana kalau (lagunya) lebih kontemporer?” Sayapun menyanyikan lagu (grup) Spice Girl berjudul ‘Wannabe”. Ayah saya langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saya tidak berhasil dalam audisi ini, dan saya pikir itu adalah berkah. Ayah saya mengatakan, “Akan terasa berat untuk membaca apa saja, yang buruk, mengenai kamu, di surat kabar (mengenai ulasan pementasan teater tersebut)”.

Namun saya tetap maju. Pada produksi pementasan di sekolah, saya berperan sebagai Anita di cerita ‘West Side’, sebagai Abigail di ‘The Crucible’, dan jadi salah satu penyihir di ‘Macbeth’, “Voila in Twelfth Night”. Setelah masuk SMA, saya tidak main teater selama setahun. Saat itu, saya bekerja sebagai pelayan dan melancong ke Asia. Kemudian, saya mengambil kelas drama di Drama Centre London untuk mendapat gelar sarjana (B.A). Sebagai aktor pemula, kami belajar semua hal, mulai dari “The Cherry Orchard” sampai “The Wire”. Saya tidak mendapat peran sebagai perempuan biasa. Biasanya, peran itu jatuh ketangan perempuan yang tinggi, kurus, dan berambut pirang. Saya memperoleh peran sebagai seorang ibu Yahudi dalam pementasan “Awake and Sing!”. Kalau bisa, anda perlu sempatkan mendengar aksen Bronx saya.

Setelah lulus, saya berjanji kepada diri sendiri; selama satu tahun ini, saya hanya akan mengambil peran (akting) yang berarti. Saya membayar sewa (apartemen) dengan bekerja di pub, call center, dan museum dan mengatakan kepada orang-orang “lorong itu disebelah kanan”. Dari detik akhirnya jadi berhari-hari. Tapi saya bersungguh-sungguh; satu tahun tanpa pementasan buruk dan tidak (terima) main yang tidak berkualitas.

Pada musim panas 2010, agen saya menelepon ada audisi di London untuk serial baru HBO. Pengambilan gambar pertama “Game of Thrones” berlangsung buruk dan mereka ingin mengganti pemain, diantaranya peran Daenerys. Disebutkan peran itu menggambarkan perempuan, seakan bukan berasal dunia, berambut pirang dan misterius. Saya pendek dan berambut gelap, sangat Inggris. Apapun. Untuk mempersiapkan diri, saya mempelajari dua kalimat aneh untuk dua pengambilan gambar, satu di Episode 4, pada adegan kakak saya memukul saya. Dan satu di Episode 10, saat saya berjalan memasuki api dan selamat tanpa luka apapun.

Saat itu, saya pikir saya sehat-sehat saja. Saya kadang-kadang pusing sedikit karena saya sering terkena darah rendah dan detak jantung juga rendah. Sesekali, saya merasa melayang dan pingsan. Saat saya masih berusia 14 tahun, saya kena migran sehingga saya terpaksa tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari. Selain itu, saya juga pernah pingsan pada saat pementasan drama di sekolah. Tapi semua ini kelihatannya bisa ditangani, sebagai bagian dari stres aktris dan kehidupan pada umumnya. Sekarang, saya pikir pengalaman itu mungkin sebenarnya peringatan dini atas apa yang akan terjadi.

Saya membaca “Game of Thrones” di studio kecil di Soho. Empat hari kemudian, saya ditelepon. Tampaknya audisi itu bukanlah bencana. Saya diminta terbang ke Los Angeles  dan membaca seluruh skrip dalam waktu tiga minggu dan bertemu Benioff dan Weiss serta para pejabat jaringan (HBO). Saya mulai bekerja secara intensif sebagai persiapan. Mereka menerbangkan saya di kelas bisnis. Dan saya mencuri semua bungkus teh, yang disediakan gratis, di ruang publik di pesawat. Pada saat audisi, saya mencoba untuk tidak melihat aktris lain — tinggi, pirang, kurus, dan cantik — yang sedang berjalan masuk. Saya membacakan dua adegan di auditorium, yang gelap, kepada produser dan pejabat (HBO). Setelah selesai, saya langsung berkata,”Apa saya bisa melakukan hal lainnya.”

David Beniof berkata, “Kamu bisa menari.” Saya coba tidak mengecewakan, saya menari ‘funky chiken’ dan robot. Ketika memikirkannya, saya sebenarnya bisa menghancurkannya (audisi). Saya bukan penari yang bagus.

Ketika saya meninggalkan auditorium, mereka berlari kepada saya dan mengatakan, “Selamat, tuan puteri!” Saya mendapat peran itu.

Saya langsung susah bernapas. Saya kembali ke hotel, beberapa orang mengundang saya untuk menghadiri pesta di atap hotel. “Saya pikir, cukuplah!”. Saya memilih pergi ke kamar saya, makan Oreo, dan menonton “Friends” (serial televisi), dan menelepon semua orang yang saya kenal.

Operasi pertama disebut sebagai ‘invasiv minimal’, yang artinya mereka tidak membuka tengkorak saya. Namun, mereka menggunakan sebuah tehnik yang disebut endovascular coiling, dokter bedah memasukkan kabel ke pembuluh darat arteri, di perut; kabel itu masuk ke atas, mengelilingi jantung, dan ke otak, dimana mereka menutup aneurisma.

Operasi berlangsung selama tiga jam.  Ketika saya bangun, rasa sakit langsung menerjang tidak tertahankan. Ada selang masuk ke tenggorokan dan saya merasa tenggorokan kering dan mual. Setelah empat hari, mereka mengeluarkan saya dari ICU dan mengatakan perjuangan berat adalah menembus waktu dua minggu (setelah operasi). Jika saya lolos dengan komplikasi minimal, maka kesempatan sembuh akan sangat besar.

Satu malam, setelah lewat dua minggu itu, seorang suster membangunkan saya dan, sebagai latihan kognitif, dia bertanya,”Siapa namamu?”. Nama lengkap saya adalah Emilia Isobel Euphemia Rose Clarke.Tetapi saya tidak mengingatnya. Dari mulut saya keluar suara-suara tidak jelas dan ini membuat saya panik. Saya belum pernah mengalami rasa takut sebesar saat itu — rasanya sudah mau mati. Saya tidak bisa melihat kehidupan saya kedepan dan rasanya tidak lagi pantas untuk dijalani. Saya seorang aktris; saya harus mengingat skrip. Sekarang, saya bahkan tidak bisa mengingat nama sendiri.

Saya menderita sebuah kondisi disebut aphasia, akibat trauma pada otak. Bahkan saat saya mengeluarkan suara-suara tidak jelas, ibu memperlihatkan kebaikan luar biasa dan tidak memperdulikannya serta terus meyakinkan saya bahwa saya akan sembuh. Tapi saya tahu saya terkapar. Pada saat-saat terburuk, saya ingin menyerah. Bahkan saya katakakan kepada staf medis untuk membiarkan saya mati. Pekerjaan saya — impian disepanjang hidup saya — berpusat pada bahasa, pada komunikasi. Tanpa itu, hidup saya tidak berarti apa-apa.

Saya dikirim kembali masuk ICU, setelah sekitar semiggu, kondisi aphasia hilang. Saya bisa kembali berbicara. Saya tahu nama saya — seluruh lima kata itu. Namun saya juga sadar ada orang-orang disekitar saya yang tidak berhasil keluar dari ICU (meninggal). Saya terus ingat betapa beruntungnya saya. Sebulan setelah masuk rumah sakit, saya keluar, merindukan udara segar dan mandi. Saya juga punya janji wawancara dengan pers. Dalam beberapa minggu, saya kembali ke lokasi syuting “Game of Thrones”.

Saya kembali kepada pekerjaan saya, namun ketika masih di rumah sakit, saya diberitahu mempunyai aneurisma lain, yang kecil, di bagian lain otak dan bisa pecah setiap saat. Para dokter menjelaskan, itu cuma kecil saja dan mungkin tetap tidak berubah dan tidak akan memburuk seumur hidup. Kami hanya perlu secara hati-hati memeriksanya (secara teratur). Namun pemulihan (dari operasi) membutuhkan waktu panjang. Masih terasa rasa sakit dan obat morfin membantu menguranginya. Saya memberitahu ‘boss’ “Thrones” mengenai kondisi saya, tapi saya tidak mau jadi bahan diskusi publik serta dianalisa segala. The show must go on!

Bahkan sebelum kita memulai pengambilan gambar Musim 2, saya merasa sangat ragu-ragu (akan kondisi kesehatan). Saya sering merasa lelah, sangat lemah, bahkan saya merasa akan segera meninggal. Saya tinggal di hotel, di London, selama tur publikasi, saya tidak bisa berpikir dengan jelas, saya tidak bisa ikut terus bergerak atau menarik napas, apalagi mencoba bersikap manis. Saya meminum morfin sebelum wawancara (dengan pers). Rasa sakit terus terasa, dan merasa sangat lelah, yang belum pernah saya alami sebelumnya — semua dikali sejuta kali. Dan harus diakui, saya tetaplah aktris. (Majalah) Vanity memberi saya pekerjaan. Saya terlalu lama memikirkan bagaimana saya harus tampil. Seakan-akan ini semua belum cukup, Kepala saya seakan-akan terkena pukulan setiap kali saya mencoba naik taksi.

Reaksi (publik) terhadap Musim 1, tentu saja, luar biasa, kendati saya tahu sangat sedikit mengenai bagaimana mereka menentukan rangking. Ketika seorang teman berteriak,”Kamu No 1 di IMDb!” Saya berkata,”Apa itu IMDb?”

Pada hari pertama pengambilan gambar untuk Musim 2, di kota Dubrovnik, saya terus mengatakan kepada diri saya sendiri,”Saya baik-baik saja, saya baru berumur dua puluhan, saya baik.” Saya bekerja sepenuh hati. Tapi baru hari pertama selesai, saya hampir-hampir tidak mampu kembali ke hotel yang akhirnya saya pingsan karena kelelahan.

Di lokasi syuting, saya tidak kehilangan konsentrasi, kendati saya berjuang untuk itu. Musim 2 merupakan yang paling buruk buat saya. Saya tidak tahu apa yang dilakukan Daenery. Jika saya benar-benar jujur, setiap menit setiap hari, saya pikir saya akan segera mati.

Pada tahun 2013, setelah menyelesaikan Musim 3, saya mengambil pekerjaan di Broadway, memainkan peran sebagai Holly Golightly. Latihan berlangsung sangat baik, tapi dengan cepat sudah sangat jelas pertunjukan ini tidak akan berhasil. Pementasan teater ini hanya berlangsung selama dua bulan saja.

Ketika saya masih di New York, untuk main pada pementasan teater itu, dan hanya tinggal lima hari sebelum asuransi SAG berakhir, saya pergi (ke rumah sakit) untuk scan otak — yang sekarang saya harus lakukan secara berkala. Pertumbuhan (aneurisma) sudah membesar dua kali lipat dan dokter mengatakan, kita harus mengatasinya. Saya dijanjikan (oleh dokter) operasiny akan sederhana, lebih mudah dari sebelumnya. Beberapa waktu kemudian, saya berada di sebuah kamar bagus di rumah sakit Manhattan. Orang tua saya hadir. “Sampai ketemu dua jam lagi,” kata ibu, dan sayapun dibawa keruang operasi, perjalanan  lewat pembuluh darah arteri (fermoral artery) ke otak. Gak masalah.

Ternyata ada masalah. Ketika mereka membangunkan saya, saya langsung berteriak kesakitan. Operasi gagal. Saya mengalami perdarahan hebat dan dokter dengan terus terang mengatakan kesempatan hidup saya sangat kecil jika saya tidak dioperasi lagi. Kali ini, mereka harus punya akses langsung ke otak, dengan cara lama — membuka tulang tengkorak saya. Saya pun langsung dioperasi.

Masa pemulihan berjalan jauh lebih menyakitkan daripada operasi pertama. Saya melihatnya seperti saya sedang berperang dalam pertempuran yang lebih mengerikan daripada pengalaman Daenerys (tokoh yang diperankannya di Thrones). Saya keluar dari ruang operasi dengan pipa keluar dari kepala saya. Sebagian dari tulang tengkorak telah diganti dengan besi titanium. Sekarang ini, anda bisa melihat goresan bekas luka yang memanjang dari bagian atas kepala sampai kuping saya. Bekasi luka ini,  tadinya saya tidak tahu bahwa goresan ini akan tidak kelihatan. Tapi tetap terlihat (kalau diperhatikan), selain itu ada kekuatiran terus menerus akan kehilangan kesadaran atau indera. Apakah (tidak bisa) konsentrasi? Kenangan? Penglihatan peripheral (sisi kiri dan kanan mata)? Sekarang saya bisa katakan kepada teman-teman bahwa (operasi itu) telah melenyapkan selera, yang baik, atas pria. Namun, tentu saja, saat itu pernyataan ini tidak kelihatan lucu.

Saya tinggal selama satu bulan di rumah sakit, dan pada saat-saat tertentu, saya sempat hilang harapan. Saya tidak bisa berhadapan dengan orang dan menatap matanya. Saya merasa sangat takut, serangan panik. Saya dibesarkan dengan ajaran untuk tidak pernah mengatakan,”Ini tidak adil”. Saya diajarkan untuk mengingat ada orang lain yang kondisinya lebih buruk dari kita. Tapi mengalami pengalaman ini, untuk kedua kalinya, seluruh harapan menciut.  Saya merasa saya berada di ruang kecil saja. Terus terang, saya sekarang ini sukar mengingat pengalaman besat ini secara rinci. Pikiran saya menolak semuanya. Tapi saya benar-benar ingat saya diyakinkan akan tetap hidup. Dan terlebih lagi, saya yakin bahwa berita mengenai sakitnya saya akan diketahui orang. Dan benar — untuk beberapa saat kemudian. Enam minggu setelah operasi, majalah National Enquirer menulisnya dalam artikel pendek. Seorang wartawan bertanya kepada saya mengenai hal itu dan saya membantahnya.

Tapi sekarang, setelah selama bertahun-tahun diam, saya menceritakan kepada anda kebenarannya. Percayalah kepada saya; saya tahu saya tidaklah terlalu unik, tidak sendirian. Banyak sekali orang yang menderita lebih buruk dan tidak mendapat perawatan seperti yang saya – sangat beruntung – dapatkan.

Beberapa minggu setelah operasi kedua, saya pergi dengan beberapa pemeran lain (di Thrones) ke acara Comic-Con di San Diego. Para pengemar (fans) di Comic-Con adalah pengemar berat; anda tidak ingin mengecewakan mereka. Ribuan orang berkumpul dan ketika kami sedang bersiap menerima pertanyaan, saya dihantam sakit kepala luar biasa. Langsung muncul semua rasa takut, yang sudah saya alami sebelumnya. Saya pikir, inilah waktunya (untuk meninggal). Sudah waktunya; saya sudah berhasil menghindari kematian dua kali dan sekarang dia menghampiri saya. Ketika saya berjalan keluar panggung, agen publikasi saya melihat saya dan bertanya apa ada yang salah. Saya katakan kepadanya, tapi dia membalas ada wartawan dari MTV sedang menunggu untuk wawancara. Saya pikir, jika saya mengiyakan, maka itu seperti wawancara langsung di televisi.

Tapi saya bertahan. Saya bertahan terhadap MTV dan yang lainnya. Bertahun-tahun kemudian, setelah operasi kedua, saya benar-benar sembuh total diluar semua harapan paling tinggi sekalipun. Saya sekarang sudah seratus persen. Diluar kerja saya sebagai aktris, saya memutuskan akan mengabdikan diri saya untuk pekerjaan amal. Saya, bersama-sama dengan mita di Inggris dan Amerika, mengembangkan apa yang disebut sebagai “SameYou”, yang ditujukan untuk memberi layanan perawatan bagi orang-orang yang sedang menjalani masa penyembuhan dari cedera otak dan stroke. Saya merasa sangat berterima kasih, yang tak habis-habisnya, kepada ibu dan kakak saya, kepada para dokter dan perawat, serta teman-teman. Setiap  hari, saya merindukan ayah saya, yang meninggal karena kanker tahun 2016 silam, dan saya merasa tetap kurang menyatakan terima kasih kepadanya, yang selalu memegang tangan saya sampai akhir.

Ada kebahagiaan, dan lebih dari sekedar keberuntungan, ketika “Throne” berakhir. Saya sangat senang melihat akhir dari cerita ini dan memulai apa saja yang akan datang.

Sumber: newyorker.com

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *