Connect with us

Kolom

Tuduhan Soekarno Menegasikan Islam Adalah Ngawur

Published

on

Oleh Janu Wijayanto

Belakangan pembicaraan mengenai ideologi ramai kembali dibahas di Indonesia. Berawal dari adanya keinginan menguatkan payung undang-undang bagi upaya pembinaan ideologi Pancasila (dalam hal ini oleh BPIP) sekaligus untuk dapat memberikan jaminan bahwa upaya pembinaan tersebut bisa lebih berkelanjutan.

Upaya itu tiba-tiba ramai bukan oleh setuju tidak setuju pembinaan tetapi meluas ke isu-isu yang lebih besar. Pusat keramaian itu adalah RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang pada awalnya berjudul RUU PHIP atau Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Respon DPR guna memberi dukungan penguatan upaya pembinaan melalui payung undang-undang menjadi blunder, bahkan terkesan banyak pihak buang badan.

Sebuah keprihatinan kehidupan berbangsa. Tulisan ini hanya mencoba menilik beberapa hal yang terlalu ramai itu dengan berusaha melihat konteks.

Satu di antara topik pro kontra RUU HIP itu adalah pemikiran Soekarno yang seolah tiba-tiba seperti menjadi pesakitan di sudut gelap tanpa ada yang peduli. Tuduhan pemikiran Soekarno menegasi Islam pun begitu enteng berkembang. Benarkah bangsa ini memang belum pulih kesadarannya, menjadi tanda tanya.

Tiba-tiba saja pemikiran Soekarno seorang pendiri negara atau founding fathers Indonesia yang kalau di Amerika Serikat setara dengan George Washington atau Thomas Jefferson atau Sun Yat-Sen di China, ramai menjadi bahan polemik.

Benar bahwa Soekarno bukan satu-satunya pendiri negara tetapi Soekarno memang salah satunya yang menonjol. Soebadio Sastrosatomo bahkan menyebut Soekarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno (Soebadio Sastrosatomo: 1995).

Semakin diperdebatkan, pemikiran Soekarno justru semakin terkenal. Generasi muda yang belum pernah mendengar Trisila dan Ekasila justru menjadi tahu bahwa ada pemikiran pendiri negara tetang Trisila dan Ekasila.

Tidak dipungkiri ada juga sebagian kecil pihak yang (orang Jawa bilang ngawur atau asal-asalan) yang sekonyong-konyong mengatakan ide gotong royong ekasila Soekarno itu manipulatif dan menegasikan Ketuhanan yang Maha Esa berarti menegasikan Islam. Anti ketuhanan berarti komunis. Begitu mudahnya memberi stigma. Sampai berkerut jidat saja membacanya. Kok bisa?

Nampaknya Soekarno dengan visi yang tajam sadar betul dampak dan pengaruh dari melahirkan suatu ide, pemikiran atau isme. “Manusia bisa mati tetapi ide tidak” begitu katanya. Tentu saja, ide tidak bisa mudah dibunuh.

Termasuk pemikiran dan konsepsinya yang tak hanya di Indonesia bahkan telah diekspornya ke luar negeri sehingga banyak dikenal bangsa lain. Tak heran jika Bertrand Russel filsuf Inggris yang dikenal dengan pemikiran logika matematika itu menjuluki Soekrano sebagai pemikir besar dari timur atau great thinker in the east (Achdiat K. Mihardja (2005: 79). Ironis sekali penghormatan besar dari Barat itu seolah belum mampu diikuti oleh bangsanya sendiri.

Soekarno Tidak Menegasikan Islam

Terhadap ide Trisila dan Ekasila gotong royong yang dianggap menegasikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa tentu harus dilihat utuh sesuai konteks bukan hanya teks. Saat kita cermati Trisila yang disampaikan Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 berisi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan (bukan seperti yang diperdebatkan yakni Ketuhanan Yang Berkebudayaan sebagaimana di dalam penjelasan rumusan awal dalam Pancasila). Artinya tidak ada unsur ketuhanan yang dihilangkan darisana. Darimana menegasi Islamnya, menjadi tanda tanya lagi.

Jika kita teliti membaca, Soekarno sendiri di tahun-tahun berikutnya setelah peristiwa pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 lebih sering menggunakan urutan lima sila sebagaimana Pancasila 18 Agustus 1945, hal ini tentu saja bukti konsisten dengan konsensus bernegara.

Jika dalam konteks memberikan pemahaman terhadap Pancasila itu melibatkan apa yang ada dalam pidato 1 Juni 1945 tentu tidak berarti serta merta menegasi proses lainnya, tetapi lebih pada mendudukkan konteks menjaga otentisitas pemikiran.

Dalam menyosialisasikan dasar negara dan pembinaan mental ideologi serta pembangunan karakter sebagai usaha membangun pemahaman atas tujuan negara secara utuh tentu dibutuhkan bahan tentang suasana, setting historis dan keberadaan pemikiran yang melatar belakangi lahirnya pemikiran dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.

Tidak saja 1 Juni 1945 tetapi juga 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945 dapat membantu membangun pemahaman yang utuh. Dalam konteks itu tidak ada yang dinegasikan sama sekali.

Pembinaan ideologi dan karakter bangsa adalah bahan baku penting untuk memahami tujuan negara. Upaya semacam ini banyak dilakukan negara di sekitar tahun 1959 dimana dalam catatan sejarah Indonesia saat itu mengalami pergulatan situasi yang berujung pada kembalinya UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Dapat dilihat misalnya dalam kata pengantar buku kursus Pancasila terbitan Departemen Penerangan RI tertanggal 21 Februari 1959 yang menyebutkan tujuan pembinaan Pancasila agar aparat negara dan warga negara memahami tujuan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dengan menyelami sedalam-dalamnya pengertian Pancasila dari penggalinya sendiri yakni Presiden Sukarno.

Kita bisa paralelkan usaha memahami kenapa pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 sebagai bahan baku penting memahami Pancasila. Dalam pendekatan metateori sebagai satu teori untuk mengkaji teori atau pemikiran (George Ritzer: 2000) memberi gambaran kita, bahwa untuk melihat pemikiran dengan baik diperlukan mengetahui setting teoritisnya. Menempatkan pidato Soekarno lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 adalah kebutuhan ilmiah guna memahami Pancasila secara utuh, otentik dan aktual.

Sukarno jelas tidak menegasi Islam dengan ide Ekasila gotong-royong dan Trisila. Di dalam Trisila sebagaimana sudah disebutkan diatas sila ketiganya adalah Ketuhanan. Dalam gotong royong juga apabila dipahami sebagai sintesa, maka sesungguhnya gotong royong merupakan sublimasi yang keberadaannya mensyaratkan harus ada kelima sila Pancasila di dalamnya. Tidak ada yang ditinggalkan sama sekali, karena istilah yang dipakai adalah diperas, tentu saja hasil perasannya adalah esensi daripada kelima sila dari Pancasila itu sendiri. Menggiring isu dalam tafsiran teks mati tanpa konteks adalah jelas sikap kekanak-kanakan yang sekali lagi: ngawur.

Sukarno tentu saja bukan tipikal pemimpin yang mudah meninggalkan sejarah, sejarah baginya tidak boleh dan semacam tabu ditinggalkan. Dalam hal ini tidak mungkin Soekarno meninggalkan Islam yang memiliki andil sejarah yang besar bagi kemerdekaan Indonesia. Memisahkan Soekarno dari Islam sesungguhnya tak ubahnya usaha memutus mata rantai sejarah Islam Indonesia yang sama berjuangnya dengan golongan lain dalam menghadapi kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dengan kata lain upaya pecah belah semacam itu adalah perilaku ngawur berwatak kolonialis yang tidak ingin melihat Indonesia menjadi negara kuat. Dengan studi pola maka kelihatan gerakan semacam itu adalah gerakan yang diiring kepada usaha dalam istilah Gramscian sebagai blocking historis. Kelihatannya sepele namun sesungguhnya efeknya menciptakan kerawanan dan fatal resikonya. Indonesia harus waspada dengan pihak-pihak yang mencipta keruhnya air untuk bisa mengambil ikan demi kepentingannya.

Soekarno menyodorkan jalan damai dengan mekanisme permusyawaratan atau mufakat sebagai jalan kerjasama antara umat Islam dan non Islam agar hidup berdampingan dalam dan gotong royong. Ini juga nampak mau dirusak dan dilemahkan oleh pihak tertentu.

Melalui mufakat dibuka pintu yang di dalamnya kesempatan bagi umat Islam Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan Islam di negara Indonesia. Sekali lagi, perilaku yang melampaui hal ini dapat dipastikan memiliki “agenda tersembunyi”.

Dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945 Sukarno menyampaikan pendapatnya menjawab argumentasi dari mereka yang menginginkan suatu negara Indonesia diatur sebagai suatu negara Islam ia menjelaskan: “Untuk pihak Islam inilah tempat terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati, tidak lain tidak bukan , hati Islam. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan … Badan Perwakilan inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam…”

Dalam soal perjuangan kemerdekaan di dunia Islam Soekarno tidak diragukan lagi. Ia termasuk pemimpin yang berani mengambil resiko dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Islam di dunia. Salah satu diantaranya membantu perjuangan kemerdekaan Aljazair melawan Prancis dengan menyelundupkan senjata membantu FNPA atau Front Nasional Pembebasan Aljazair. “Buat kemerdekaan Aljazair; kalau rakyat Aljazair minta nyawaku akan aku beri. …Wah…Tok kalau Aljazair bisa merdeka, dunia Arab pasti akan berubah…setidak-tidaknya mereka akan lebih cepat menjadi negara-negara progresif yang konsekwen anti imperialisme dan kolonialisme…” sebagaimana diceritakan dalam buku: Bung Karno Bapakku, Kawanku, Guruku (Muhammad Guntur Sukarnoputra, 2012 hal. 211) terbitan kedua oleh PGS Publisher.

Tak heran karena kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan  negara-negara Islam Sukarno pun sangat dihormati pemikiran dan perjuangannya oleh dunia Islam. Dalam Konferensi Islam Asia Afrika tanggal 15 Maret 1965, Bung Karno bahkan dinobatkan sebagai Pendekar Kemerdekaan dan Islam atau The Champion of Freedom and Islam (Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009) dalam buku Api Sejarah.

Soal Sendi Pokok Soekarno Tak Pernah Setuju Ada Sendi Pokok Pancasila

Terkait poin tentang keadilan sosial yang diklaim sebagai sendi pokok Pancasila. Pasal 6 (ayat 1) dimana RUU HIP menyebut, ‘Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial’ ini juga merupakan satu pemahaman yang tidak tepat. Perdebatan terkait klaim-klaim menyangkut hal semacam ini pun bukan merupakan satu diskursus baru tetapi sudah pernah terjadi dalam sejarah Indonesia dan berdampak tidak bagus bagi persatuan nasional.

Hamka sebagai representasi tokoh Islam pernah menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai urat tunggang Pancasila. “Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, jauh sejak seruan Islam sampai di Indonesia. Kita tidak perlu merasa khawatir falsafah Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa” (Hamka: 1951).

Apa yang dikatakan Hamka itupun kemudian direspon juga oleh Ketua CC PKI, Menteri/ Wakil Ketua MPRS D.N Aidit dalam pidatonya tahun 1963 berjudul PKI dan Angkatan Darat (Seskoad): “…kami tidak setuju main urat tunggang seperti Hamka, yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang Pancasila. Sebab kalau demikian kaum nasionalis dapat pula mengatakan bahwa sila Kebangsaan adalah urat tunggang Pancasila, dan kaum komunis dapat pula mengatakan bahwa sila keadilan sosial adalah urat tunggang Pancasila…”

Terhadap polemik tersebut, Soekarno mengingatkan bahwa kelima sila falsafah negara itu merupakan satu kesatuan. Sebagai seorang yang dalam haluan politiknya nasionalis Soekarno selalu menempatkan kepentingan nasional dan persatuan Indonesia sebagai prioritas.

Rekomendasi

Ketimbang menghabiskan energi mencari perbedaan, lebih baik polemik yang ada ditujukan untuk mencari kesepahaman kerjasama gotong royong memperkuat persatuan nasional. Bukan sebaliknya menghujat gotong royongnya demi agenda tersembunyi mengambil peran sejarah dengan meninggalkan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia.

Pembinaan ideologi sesungguhnya adalah kepentingan negara (national interest) bagi ketahanan suatu negara. Terlebih melihat hasil pengukuran Laboratorium Ketahanan Nasional (Labkurtanas Lemhannas RI tahun 2019) dimana gatra ketahanan ideologi menunjukkan posisi kurang tangguh. Pembinaan ideologi mendesak dilakukan. Dengan indeks gatra ideologi 2,44 dengan angka indeks 1,80 s/d 2,60 merupakan kategori kurang tangguh tentu menjadi fakta tidak ada alasan untuk tidak melakukan pembinaan ideologi. Publik akan mahfum dengan kebijakan politik negara. Problemnya selama ini paska reformasi segala hal terkait negara dilihat minor, tentu saat ini kita berada di satu era dimana negara bangsa justru kembali lagi menjadi sandaran utama rakyat. Sebut saja menghadapi pandemi covid-19 bukankah tidak ada tuntutan publik kepada ‘selain negara’ misalnya perusahaan swasta. Negara bangsa kembali menemukan eksistensinya. Pemahaman situasi geo politik menjadi penting untuk memahami gejala politik sebuah zaman.

Sekali lagi, pembinaan ideologi dan pembangunan karakter bangsa penting, relevan dan mendesak untuk memandu konsistensi tujuan negara. Pembinaan ideologi memiliki tujuan luhur agar aparat negara dan warga negara memahami tujuan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila, kebutuhan ilmiahnya justru dibutuhkan kemampuan menyelami sedalam-dalamnya pengertian Pancasila dari penggalinya sendiri yakni Presiden Sukarno dan rangkaian sejarah kesepakatan setelahnya.

Dengan kedepankan mufakat dan kerjasama Indonesia pasti jaya lagi di dunia. Kalau Indonesia jaya umat Islam pun (dan tentu umat agama lainnya) harusnya sama bahagia. ***

*) Penulis adalah Pendiri Pusat Kajian Ideologi Pancasila Jakarta

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *