Connect with us

Feature

Salam – Mangunan, Potret Sekolah Merdeka

Published

on

Jayakarta News – Bangunan sekolah Sanggar Anak Alam (Salam) tak berpagar. Tiga gedung tempat anak-anak belajar terpisah oleh petak-petak sawah. Tepat di depannya, sungai irigasi dari arah utara berbelok ke timur menyalurkan air yang memberikan kesan sejuk dan segar sepanjang hari. Jalan setapak yang tercipta di pinggir pengairan ini memberi alur koneksi bagi siapa saja yang hendak bergerak dari jalan raya menuju gedung sekolah itu.

Atau sebaliknya. Lewat pematang yang sama pula mereka berjalan kaki meninggalkan areal sekolah yang beralamat di Nitiprayan, Kasihan, Bantul Yogyakarta ini. Dari pusat kota Yogyakarta, tempat ini berjarak sekitar empat kilometer ke arah barat daya.

Ke arah timur laut sejauh sekitar 12 kilometer dari titik nol Yogyakarta ada sekolah serupa, Sekolah Eksperimental Mangunan. Sama dengan Salam, sekolah ini berjarak beberapa puluh meter dari jalan besar serta berdekatan dengan lahan persawahan. Bukan pematang seperti Salam yang digunakan sebagai jalur penghubung lalu lintas dari dan ke tempat ini, tetapi sebuah gang kecil yang cukup dilewati mobil tanpa bisa bersimpangan. Tak seperti Salam yang setiap gedungnya dikitari lahan sawah. Di Mangunan, lahan persawahan hanya bisa disaksikan di belakang kompleks sekolah saja.     

Sekolah Eksperimental Mangunan bertetangga dengan rel kereta api jurusan Yogya-Solo. Puluhan kali sehari, deru mesin kereta mengirimkan suara khas pemecah keheningan di sekolah yang menyatu dengan permukiman warga kampung Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman ini.

Bila di tempat ini sedang riuh ocehan anak-anak berfrekuensi tinggi, suara sepur itu sekejapan membaur, menambah gaduh, kemudian lenyap menjauh. Bila keheningan sedang mendominasi tempat ini, begitu kuat bunyi itu menggampari gendang telinga, seolah-olah si kereta sedang melaju kencang persis di samping bangunan kelas. Seperti Salam, Mangunan pun terbuka, tak berpagar. 

Suasana belajar di Salam. (foto: ernaningtyas)

Salam juga Mangunan, sepertinya tak menunjukkan tanda-tanda bahwa tempat itu adalah sekolahan. Salam terkesan seperti rumah yang pemilikya jatuh cinta pada areal persawahan dengan segala pernak-perniknya: irigasi yang hidup oleh gemericik air, petani dengan atribut caping dan cangkul di pundak, traktor yang berputar-putar membajak tanah, suasana panen dan tanam yang khas, serta teriakan para petani yang sedang berkomunikasi satu sama lain di tempat terbuka.

Sementara Sekolah Eksperimental Mangunan lebih cocok sebagai lansekap perkampungan. Ruang-ruang kelas sekolah Mangunan serupa rumah-rumah kayu mungil berdinding bambu saling berhimpitan namun teratur. Lapangan besar di belakang pendapa selayaknya tempat berkumpul warga di sebuah perkampungan adat yang khas.

Salam dan Mangunan unik lagi berkarakter. Siswa-siswinya tak berseragam. Tak ada gepokan buku paket berjejalan di tas-tas yang membebani punggung-punggung atau pundak-pundak para murid. Tak ada pembatas antara guru dan murid. Keduanya sejajar, duduk bersama, akrab, selayaknya relasi antarsahabat yang sedang mengobrol santai.

Kurikulum yang kaku dan instruksional tak berlaku di kedua tempat ini. Ringan, tanpa beban, gembira dan bebas merdeka tampak dari wajah-wajah mereka. Beginilah suasana belajar anak-anak Salam dan murid-murid Sekolah Eksperiental Mangunan.

Suasana belajar di Salam. (foto: ernaningtyas)

Salam berstatus sebagai PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Posisi demikian membuatnya luwes mendampingi anak-anak berposes. Tak ada beban kurikulum drop-dropan, bebas buku paket dan tak ada buku latihan soal-soal. Murid-murid Salam  belajar apa saja dengan cara melakukan riset. Tema penelitian bebas. Anak-anak memilih sendiri topik eksperimennya. Apa saja yang memikat atau menarik perhatian, boleh mereka jadikan bahan eksplorasi.

Semuanya terkesan lokal dan dekat dengan kehidupan keseharian anak-anak. Ada yang meneliti batik, yang lain tertarik dengan tanaman herbal bahan dasar jejamuan, ada pula yang mempelajari kerang lengkap dengan cara pengolahannya serta yang mendalami masalah seputar kopi pun ada. Setiap anak memiliki ketertarikannya masing-masing. Dengan kata lain, jika ada seribu kepala di Salam, ada seribu ide pula yang siap dieksekusi menjadi tema penelitian.

Dari satu tema riset, anak-anak bisa belajar aneka hal  yang saling terkait. Misal tema: mengolah singkong. Sambil memasak, anak-anak belajar biologi tentang tumbuhan singkong yang berakar serabut, bertulang daun menjari sampai belajar cara budidaya tanaman itu. Pelajaran matematika pun ikut serta. Mereka belajar hitung-hitungan atau mengukur berat tatkala menakar bahan seperti satu kilogram singkong, setengah kilogram gula Jawa, satu sendok teh garam, dll.

Bahasa pun masuk ketika anak-anak menyusun resep atau mempresentasikan hasil masakan. Tak hanya bahasa Indonesia tetapi juga yang lainnya seperti Jawa dan Inggris. Hitung-hitungan ekonomi tak ketinggalan pula. Ketika hasil masakan singkong itu dipasarkan, anak-anak akan tahu cara menghitung harga jual sekaligus hasil akhirnya, laba ataukah rugi. Semakin tinggi tingkatan kelas, semakin mendalam yang mereka pelajari dari tema memasak singkong ini. Kian tinggi jenjang kelas pula kian mengerucut pada tema yang lebih spesifik.        

Upacara Sumpah Pemuda di Sekolah Mangunan. (foto: ernaningtyas)
Siswi SMP Eksperimental Mangunan berbaju daerah pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019. (foto: ernaningtyas)

Begitu juga murid-murid Sekolah Eksperimental Mangunan. Sekolah yang dirintis rohaniwan Katolik YB Mangunwijaya ini memiliki kurikulumnya sendiri, kurikulum Mangunan. Berstatus sebagai sekolah formal, membuat sekolah ini mengikuti pola seperti sekolah pada umumnya dengan mata pelajaran yang terbagi pada jam-jam tertentu. Namun, mereka memiliki tema besar. Tahun 2019-2020 tema yang dipilih adalah Mekar Bersama di Bumi Indonesia Tanah Pancasila. Setiap mata pelajaran mengacu pada tema besar ini, salah satunya Retorika di jenjang SMP dan Kotak Pertanyaan (Koper) di tingkat Sekolah Dasar.        

Retorika adalah proses belajar yang mengasah anak untuk bepikir logis dan runtut. Di sini anak-anak dipupuk untuk bisa mengemukakan pendapat secara konstruktif dan solutif. Semuanya dikemas dalam wujud diskusi dan dialog yang kritis dan terarah. Anak-anak dibiasakan bertanya dan berpendapat.

Forumnya sebelas-duabelas bila disandingkan dengan panggung debat presiden atau sidang akademik di perguruan tinggi. Ada penyaji, ada pembahas, ada audiens. Mereka duduk bersama mengkritisi sebuah tema. Jika debat presiden mengkritisi Indonesia lewat kacamata politik, ekonomi, kemiskinan, sosial budaya dll, retorika Mangunan membedah Indonesia dari sudut pandang yang lebih santai, misal lewat lagu Koes Plus “Kolam Susu” atau dari aneka tradisi yang terserak di jantung-jantung suku bangsanya.

Anak-anak mencari sendiri data rupa-rupa tradisi di Nusantara lantas mempresentasikan di depan kawan-kawan dan guru. Guru mendengar seperti lazimya murid, murid berperan selayaknya guru. Di salah satu dinding Sekolah Mangunan ada tulisan di atas selembar kotak kayu: Murid adalah Guru.      

Dalam setiap langkah mendampingi anak-anak, Salam dan Mangunan memiliki satu nafas yang sama:  memekarkan nilai kemanusiaan (jujur, tanggung jawab, cinta sesama, percaya diri, kerja keras, dll) serta mengedepankan budaya dan kearifan lokal.

Keduanya mampu keluar dari sistem pendidikan dengan kurikulum yang kaku dan instrukif serta tidak berorientasi pada hasil berupa nilai kognisi yang diurutkan dalam bentuk ranking. Segala bentuk penyeragaman tak berlaku di tempat ini. Salam dan Sekolah Eksperimental Mangunan adalah potret sekolah merdeka! ***  

Sri Wahyaningsih, penggagas Salam. (foto: ernaningtyas)

Sri Wahyaningsih: Siswa Indonesia Asing di Negeri Sendiri

“Terjebak pada hafalan, tidak adaptif terhadap lingkungan yang ada sehingga anak-anak Indonesia menjadi asing di negeri sendiri,” tutur Sri Wahyaningsih mengomentari pendidikan di Tanah Air. Dari Sabang sampai Merauke, di pusat kota atau pelosok desa, di kawasan pertanian, pesisir, pedalaman, perindustrian atau pun perkampungan semua siswa di sekolah-sekolah dengan lingkungan yang  berbeda itu mempelajari hal yang sama. Kurikulum dan buku paket drop-dropan dari pusat menjadi semacam koridor yang mesti dilalui, ditaati, lurus, terpola, instruksional. Melihat kenyataan ini, Sri Wahyaningsih pun merasa resah dan gelisah.   

Wahya, demikian panggilan akrab Sri Wahyaningsih, lantas menciptakan atmosfer baru dunia pendidikan. Ia menggagas berdirinya Sanggar Anak Alam (Salam) di awal abad ke-21 ini. Ia sadar Salam adalah sesuatu yang baru. Bila disandingkan dengan dunia pendidikan di Tanah Air pada umumnya, Salam menjadi tak lazim.

Belajar budaya dan unggah-ungguh leluhur. (foto: ernaningtyas)

Murid sekolah ini tak berseragam, kurikulum dibuat sendiri, sama sekali tak berbasis mata pelajaran. Pemekaran bakat anak ditempuh melalui metode riset. Sampai dengan kelas tiga SD riset dilakukan secara berkelompok. Kelas empat SD sampai SMA riset dilakukan masing-masing anak. Setiap anak memilih tema sendiri berdasar ketertarikan masing-masing.

Ada empat tema besar yakni pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. “Setiap siswa mempresentasikan apa yang telah mereka pelajari,” tutur Wahya. Metode seperti ini membuat anak-anak dekat dengan apa yang dipelajari, mengerti betul prosesnya, menemukan sendiri jawaban dari sesuatu yang mereka ingin tahu. Ini semua membuat anak-anak paham, sehingga tidak terjebak pada kabiasaan hafalan yang temanya jauh dari kehidupan anak-anak. Tak hanya itu, jiwa-jiwa mandiri tampak pada anak-anak Salam. 

Salam berstatus sebagai PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Dengan posisi demikian, setiap siswa yang menginginkan ijazah bisa mendapatkannya dengan cara mengikuti ujian Kejar Paket A, B, dan C. Wahya menjelaskan bahwa demi kepentingan ini Salam mengintip kurikulum pemerintah untuk mengambil kompetensi dasarnya. Bahan yang digunakan untuk membedah kompetensi dasar tersebut adalah hasil riset anak-anak. “Hampir semua anak ikut andil, jadi mereka tidak asing,” tambahnya.

Yudhistira Aridayan, ketua PKBM Salam. (foto: ernaningtyas)

Yudhistira Aridayan, Ketua PKBM Salam, menjelaskan, beberapa bulan sebelum mengikuti ujian kejar paket, anak-anak melakukan riset tentang soal-soal ujian. Ini penting untuk mempersiapkan anak-anak  mengenali tipe soal dan cara-cara penyelesaiannya. Yudhis mengungkapkan sebuah cerita menarik. Suatu ketika, anak-anak menyalahkan soal yang mereka riset. Ia mencontohkan sebuah soal pilihan ganda. Pot terbuat dari: a. Logam b. Plastik c. Tanah liat d. Kayu. “Mungkin maksud pembuat soal adalah pot gerabah, dengan demikian jawaban yang benar adalah tanah liat. Tetapi anak-anak kan tahu bahwa pot bisa juga dibuat dari logam, kayu atau plastik dan mereka pernah melihat pot yang berbahan aneka rupa itu. Jadi mereka menyalahkan soalnya,” papar Yudhis.

Tak ada guru di Salam, yang ia punya fasilitator, berstatus voluntir. Fasilitator ini datang dari berbagai latar belakang. Ada mahasiswa tingkat akhir, ada pula orang tua siswa. Sementara anak menjadi “guru” atas dirinya sendiri. “Tantangan besar para fasilitator ini adalah mereka sering ingin memberitahu,” tutur Yudhis. Sementara para orang tua yang menjadi fasilitator, menurut pengalaman Yudhis, terkadang mereka susah menerima anak apa adanya.

Salam menerima sejumlah 15 murid di setiap jenjang kelas mulai dari Kelompok Bermain, Taman Anak, SD, SMP, dan SMA. Masing-masing jenjang itu hadir bertahap. Tahun 2004 Wahya mendirikan Kelompok Bermain, 2006 Taman Anak, 2008 SD, 2012 SMP, dan 2017 SMA. Kini sekitar 200-an murid belajar di Salam setiap harinya. Sepuluh persen di antaranya anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).      

Wahya tak ingin memekarkan Salam dengan cara membuka cabang. “Saya tak ingin terjebak pada penyeragaman, karena setiap tempat memiliki kekhasan masing-masing,” tutur Wahya memberikan alasan. Metode pendidikan yang mandiri dan merdeka ala Salam telah menginspirasi banyak komunitas, di antaranya Sekolah Akar Rumput di Sewon, Bantul DIY, Sekar Pelangi di Balikpapan, dan Edu House di Semarang. ***

Dr Rm Mulyatno: Penyeragaman Mematikan Identitas

Pendidikan di Indonesia serba seragam: satu kurikulum dan satu model diaplikasikan untuk semua sekolah dari Sabang sampai Merauke. Tak sebatas itu, baju sekolah pun dibuat seragam. “Penyeragaman itu mematikan identitas. Kembalikan pendidikan dasar kita kepada kebutuhan anak dan sesuaikan pendidikan dengan konteks kearifan lokal,” kata Dr Rm Mulyatno, Ketua Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED). 

Dr Rm Mulyatno Pr. Ketua Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED). (foto: ernaningtyas)

Mulyatno menceritakan bahwa YB Mangunwijaya amat prihatin dengan rupa dunia pendidikan dasar di Indonesia yang seragam, instruktif, penuh kompetisi, mengutamakan kognisi serta keberhasilan diukur lewat ranking. “Pendidikan yang benar tidak seperti itu,” tutur Mulyatno.

Karena itulah, tambah Mulyatno, Mangunwijaya mendirikan sekolah Eksperimental Mangunan. Awalnya, sekolah yang menyatu dengan rumah-rumah penduduk Mangunan itu dibuat Romo Mangun, demikian rohaniwan Katolik itu biasa disapa, untuk orang-orang miskin setempat. Dalam prosesnya hingga detik ini, para murid tak hanya berasal dari kampung Mangunan dan sekitarnya. Mereka yang berumah di Bantul, Yogya kota, Muntilan bahkan Klaten Jawa Tengah pun tak sedikit yang memilih bersekolah di Mangunan. Para murid juga berasal dari latar belakang beragam mulai dari sosial, ekonomi, agama, suku bangsa. Seperti juga Salam, Mangunan merangkul pula anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).  

Mulyatno adalah rohaniwan adik kelas Romo Mangun. Ia kini duduk di kursi Ketua Yayasan DED.  Yayasan ini menaungi Sekolah Eksperimental Mangunan yang didirikan Romo Mangun 25 tahun silam untuk jenjang SD dan TK serta SMP yang baru mulai dua tahun belakangan ini. “Sekolah Eksperimental Mangunan memberi kesempatan kepada anak-anak untuk belajar dengan gembira dan merdeka sesuai usia mereka, namun terarah pada pengembangan bakat secara eksploratif, kreatif, dan integral,” tutur Mulyatno.

Jiwa eksplorasi mendorong kemampuan berkreasi, kemampuan menemukan ide. Selanjutnya anak-anak akan mampu membuat karya inovatif serta menjelajah wilayah-wilayah baru. Semua itu dilakukan dengan tetap menghargai keberagaman, kearifan lokal khas Indonesia. “Atmosfer yang kemudian kami bangun adalah memberi kemerdekaan seluas-luasnya agar anak mampu bertanya,” tutur Mulyatno. Dalam setiap kesempatan, Romo Mangun memang selalu menekankan bahwa mendidik anak bertanya jauh lebih penting dibanding seribu jawaban anak-anak atas sebuah pertanyaan yang belum tentu tepat bagi mereka. 

Pelajaran IPS, anak-anak belajar tentang angin sekaligus keberagaman dalam satu permainan. (foto: ernaningtyas)
Belajar Bahasa Inggris dengan bermain drama. (foto: ernaningtyas)

Sementara untuk pemekaran bakat anak, Mangunan mengembangkan tujuh potensi dasar yang ada pada setiap anak yakni: karakter (nilai religiusitas, kesetiakawanan, kejujuran, kemandirian), bahasa (ekspresi diri dalam berkomunikasi lisan maupun tertulis plus kemampuan literasi), identitas dan orientasi diri (pengenalan terhadap lingkungan keluarga, masyarakat dan cita-cita hidup), logika dasar (kemampuan berpikir secara logis), pengenalan piranti atau perkakas yang dipakai untuk hidup keseharian, kerjasama tim dan berorganisasi, kemampuan kinestetik (bakat dan minat olah raga), serta mengenal norma-norma umum dalam kehidupan.

Setiap anak, menurut Mulyatno, memiliki bakat dan minatnya sendiri. Untuk mengetahuinya para guru melakukan penelitian tindakan. Ini penting agar proses pembelajaran berorientasi pada pemekaran bakat anak. Prosesnya melibatkan dialog dan kerjasama antara guru, anak dan orang tua. Sekolah Eksperimental Mangunan berstatus formal. Namun, status itu tak mengurangi keleluasaan dalam memberikan warna berbeda. Ia tetap menjadi sekolah merdeka, memiliki karakter khas dalam mendampingi anak-anak.    

Sekolah Eksperimental Mangunan menerima sejumlah 25 anak untuk setiap kelas. Ada dua kelas paralel di setiap jenjang pendidikan. Kini, ratusan anak setiap hari mendatangi Sekolah Eksperimental Mangunan untuk berproses dan berdinamika dalam mengembangkan bakat dan minat mereka. *** 

Nadiem Makarim, Kerang, dan Tradisi

Selasa 29 Oktober 2019, ada perhelatan di Sekolah Eksperimental Mangunan. Bertempat di ruang pendapa berlangsung seminar bertajuk “Guru yang Punya Hati Memekarkan Anak Melalui Penelitian Tindakan”. Seminar berlangsung sewajarnya, hingga pada sesi tanya jawab terakhir seorang peserta unjuk jari. “Saya ingin bertanya, seandainya Pak Nadiem Makarim hadir dalam acara ini, apa yang akan Anda katakan pada beliau?” Tawa hadirin pun pecah.

Tak jelas, apa yang memancing gelak tawa itu. Yang jelas, beberapa hari sebelumnya, 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo melantik menteri-menterinya untuk periode jabatannya yang kedua. Bos Go-Jek Nadiem Makarim ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan. Di dunia maya maupun nyata, ramai orang berkomentar. Mungkin ada sesuatu yang lucu, ketika bos Go-Jek yang muda dan milenial itu menduduki kursi Menteri Pendidikan. Dan mungkin, saat nama Nadiem disebut oleh si peserta seminar, kelucuan itu terlintas kembali dalam pikiran mereka. Bisa jadi pula bukan itu penyebab tawa hadirin, tetapi berkaitan dengan tema seminar.       

Para pembicara seminar, dari kiri: Novi Dwi Rusmawaty, Rm Edi Wiyanto Pr, M.Hum, dan St Kartono. (foto: ernaningtyas)

Seminar itu bertema pemekaran anak melalui penelitian tindakan. Pembicara pertama Romo Edi Wiyanto Pr, M.Hum menjelaskan perihal pentingnya guru pembelajar yang punya hati. “Kehadiran guru yang punya hati ini harus terus diperjuangkan, karena ketika guru meletakkan hatinya maka anak akan tumbuh mekar,” kata Edi. Ini sejalan dengan “quote” Romo Mangun yang berbunyi “Di mana hati diletakkan, di situ proses belajar dan maju dimulai”.

Pembicara kedua St Kartono, kolumnis pemerhati masalah pendidikan dan guru SMA Kolese De Brito Yogyakarta, mengungkapkan pentingnya gembira dan berkembang  menjadi guru. “Kalau guru berkembang tapi tidak gembira, ia tertindas. Kalau guru gembira tapi tidak berkembang ia sekadar numpang hidup,” kata Kartono di hadapan seratus lebih peserta seminar yang mayoritas berprofesi sebagai guru dan berasal dari berbagai kota di pulau Jawa.

Pembicara ketiga Novi Dwi Rusmawaty guru SD Mangunan memaparkan bahwa dia beruntung menjadi guru di Sekolah Eksperimental Mangunan. Di tempat ini ia berusaha memberikan hatinya kepada anak-anak. “Satu per satu semua murid saya kenali,” kata Novi. Dengan mengenal, ia memiliki data tentang apa yang dibutuhkan anak demi memekarkan bakatnya berdasarkan tujuh modal dasar yang dimiliki setiap anak. Ada yang butuh dimekarkan kemampuan membacanya, kemampuan motoriknya, afeksinya, dan lain sebagainya. Novi beruntung, komunitasnya memiliki tim teaching yang membantunya dalam berdinamika bersama anak-anak. “Saya ini orang biasa yang ingin menjadi guru yang luar biasa,” ucapnya. 

Singkatnya, materi yang dibawakan ketiganya tampak seperti “dunia lain” jika disandingkan dengan image dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya. Sementara seratus lebih peserta seminar berasal dari sekolah yang berkategori “pada umumnya” itu. Di benak para peserta seminar sepertinya Nadiem tak akan bisa berkutik menghadapi carut marut dunia pendidikan di Tanah Air yang terbelenggu beban  kurikulum dan susah menerima perubahan. Pesimisme inilah yang mungkin memancing gelak tawa saat seorang peserta seminar mengemukakan pertanyaannya, “Apa yang akan Anda katakan kepada Pak Nadiem Makarim jika beliau hadir di sini?”   

St Kartono angkat jawaban untuk pertanyaan itu. Katanya, “Pak Nadiem, kami hanya guru kecil. Yang menjadi persoalan dan harus dibongkar adalah lembaga Anda dan guru-guru besar yang ada di tempat itu. Lakukan perubahan, kita butuh revolusi mental,” kata Kartono dengan semangat membara.

Windu Aji, guru Sekolah Eksperimental Mangunan yang saat itu menjadi moderator pun memberikan jawaban. “Pak Nadiem, saya ingin sekolah Indonesia menjadi tempat yang asyik yang bisa mewadahi semua keanekaragaman,” kata Windu.    

Dalam perjalanan waktu kemudian, ada sesuatu yang tak biasa. Nadiem Makarim, si muda yang dipercaya memegang departemen raksasa yang kiprahnya tersebar merata di seluruh penjuru negeri ini sepertinya tak akan mengikuti seniornya, menduduki kursi menteri tanpa perubahan mendasar. Nada-nadanya Nadiem berbeda. Mas Menteri, demikian sapaan kekinian Nadiem, bertemu dengan sebarisan praktisi dan pakar pendidikan yang tak biasa. Salah satunya Sri Wahyaningsih, penggagas Salam. Dalam pesan yang beredar melalui whatsapp, Wahya menuliskan masukannya kepada Nadiem. Salah satunya, janganlah kurikulum dipukul rata. Biarlah sekolah atau guru membuat kurikulumnya sendiri sesuai situasi dan kondisi setempat. Tugas pemerintah cukup sebatas membuat peraturan yang esensial untuk dipatuhi bersama.

Nadiem bergeming. Dalam sebuah pesan whatsapp pula Mas Menteri angkat bicara. Ia berpidato khusus untuk menyambut Hari Guru 25 November 2019. Setelah sedikit berbasa-basi di awal, Nadiem masuk pada inti pidatonya. “Guru Indonesia tercinta, tugas Anda adalah yang termulia dan yang tersulit. Anda ditugaskan untuk membetuk masa depan bangsa tetapi sering diberi aturan dari pada pertolongan. Anda ingin membantu murid yang tertinggal di kelas tetapi waktu Anda habis mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul potensi anak tidak bisa diukur dari hasil ujian, tapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk untuk belajar dari dunia sekitarnya tetapi kurikulum yang padat menutup pintu petualangan. Anda frustrasi karena Anda tahu di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi yang akan menentukan kesuksesan anak bukan kemampuan menghafal. Anda tahu setiap anak punya kebutuhan yang berbeda tapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Anda ingin setiap murid terinspirasi tetapi Anda tidak diberikan kepercayaan untuk berinovasi. Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Tapi perubahan tidak bisa dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dengan guru. Jangan menunggu aba-aba. Jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama! Besok di manapun Anda berada lakukan perubahan kecil di kelas Anda. Ajaklah kelas berdiskusi, jangan hanya mendengar….” kata Nadiem panjang lebar.          

Elang bersama Ika sedang membahas kerang. (foto: ernaningtyas)

Elang Sakti Wiwardhana sudah mendapatkan kemerdekaan belajarnya jauh sebelum pidato Mas Menteri dipesanberantaikan lewat ponsel pintar. Ia ingin menjadi koki profesional yang ahli memasak kerang. Elang, demikian ia akrab disapa meneliti kerang. Semua seluk beluk kerang ia pelajari. Segala hal  yang berkaitan tentang kerang ia cari sendiri di perpustakaan. Ia juga berselancar di internet untuk mendapatkan informasi tentang binatang bercangkang itu.

Di sekolah bersama fasilitator Natalia Ika Prasetyo Kurniawaty, Elang mendiskusikan temuannya. Berawal dari ketertarikannya terhadap kerang, Elang bisa belajar apa saja: matematika, bahasa, komunikasi, biologi, dll. Semua kemampuannya baik motorik, kognisi maupun afeksi terasah hanya dari seekor binatang yang memiliki rupa-rupa jenis itu. Elang, siswa kelas tiga SD ini bisa mendapatkan kemerdekaan belajarnya karena ia murid Sekolah Salam.

Yolessa Roosando, M.Pd mengampu pelajaran Retorika di Sekolah Eksperimental Mangunan. Anak-anak ia minta mempresentasikan “sesuatu” berdasarkan tema besar “Mekar Bersama di Bumi Indonesia Tanah Pancasila”.

Dari Kiri Antonio, Ayik, Sebi, dan Denting sedang mempresentasikan tradisi. (foto: ernaningtyas)

Satu kelompok remaja, Ayik, Atonio, Sebi dan Denting berdiskusi dan sepakat membedah tema itu lewat sudut pandang beragam tradisi yang ada di Indonesia. Bahan dan data mereka dapatkan dari perpustakaan dan internet. Setelah siap semuanya, mereka mempresentasikan temuan itu di hadapan kawan-kawan dan gurunya. Selayaknya peneliti kawakan, semua presenter angkat bicara termasuk Sebi siswa ABK. Siswa lain menjadi penanggap. Forum itu persis seperti sebuah sidang akademik di perguruan tinggi. 

Ayik dan kawan-kawan di Sekolah Eksperimental Mangunan serta Elang di Salam adalah anak-anak yang  berproses dalam kemerdekaannya. Tampaknya Nadiem ingin pengalaman anak-anak ini juga menjadi pengalaman murid-murid lain di seluruh pelosok tanah air. Sepenggal ucapan dalam pidato Nadiem berbunyi “Besok di manapun Anda berada lakukan perubahan kecil di kelas anda. Ajaklah kelas berdiskusi, jangan hanya mendengar….”

Usia pidato itu terhitung baru beberapa hari sejak diucapkan Mas Menteri 25 November silam. Tak ada data yang jelas, apakah sudah ada guru yang meresponnya. Tentu saja guru yang berkarya di sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah yang terlanjur menjalankan tradisi kurikulum drop-dropan, sekolah yang mengukur keberhasilan siswanya dengan angka-angka dan mengurutkannya dalam ranking-ranking, serta sekolah yang sering menjadi momok karena murid-muridnya trauma terhadap pelajaran tertentu, biasanya matematika atau bahasa Inggris.

Wajar-wajar saja, seandainya belum ada respon. Mas Menteri dalam pidatonya sudah menyadari bahwa perubahan itu sulit dan penuh ketidaknyamanan. Sementara guru di Indonesia pun terlanjur nyaman bermonolog di depan kelas, mentransfer pengetahuan sesuai kurikulum, mengandalkan buku paket dan lembar kerja yang instan serta membuat nilai dari ulangan dan ujian akhir.

Puluhan tahun ritual itu dijalani para guru. Puluhan tahun pula para penyedia buku-buku dan sederetan birokrat yang terlibat mendapatkan keuntungan fiansial dari bisnis buku pelajaran. Namun demikian, ST Kartono yang berharap agar Mas Menteri membongkar semua permasalahan yang ada di lembaganya serta harapan Windu Aji agar tercipta sekolah yang asyik, tampaknya tetap optimis. Di awal menjabat, bertepatan dengan Hari Guru, Nadiem Makarim menyatakan tekadnya siap berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. (Ernaningtyas)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *