Connect with us

Feature

Menuju Kejayaan Negeri Model Banyuwangi

Published

on

Jayakarta News – Kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang berlimpah serta beragam budaya, belum secara merata membawa berkah kesejahteraan bagi bangsa yang hidup di ribuan pulau ini. Pulau yang bergunung-gunung dengan bentangan laut nan luas, menyimpan kekayaan besar. Bukan hanya ikan, tapi terumbu karang, minyak bumi, wisata bahari, jalur transportasi, pesisir, dan lainnya.

Indonesia, tanah air kita yang elok, seperti potongan tanah surgawi. Bak rangkuman permata indah yang mengejahwantah di planet bumi. Mari melihat kembali. Menurut data Menko Kemaritiman luas daratan NKRI 1.919.000 km2, wilayah perairan sekitar 5,8 juta km2.

Bandingkan. Andai beberapa negara digabung, Belanda, Jerman, Prancis, Swiss, Belgia dan lainnya di Eropa Barat, masih lebih luas daratan Indonesia. Lalu tengok kekayaan SDA, sumber biotiknya menghamparkan beragam tumbuhan dan hewan. Nonbiotik juga melimpah. Air, tanah dengan kandungan tambangnya yang potensial (batubara, minyak, nikel, dan emas) yang sering kita sebut sebagai gunung emas di Papua. Juga  udara/angin, dan termewah, dalam ekosistem ini adalah sinar matahari yang menerangi seluruh negeri sepanjang hari. Karena terletak di katulistiwa.

Lantas bagaimana dengan ragam budayanya? Indonesia kini berpenduduk sekitar 250 juta jiwa terdiri ratusan suku bangsa. Sekitar 300 kelompok etnik atau suku bangsa, atau 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Mereka memiliki aneka budaya, bahasa yang mencapai 1.211 bahasa (1.158 bahasa daerah) yang diberi kode oleh BPS tahun 2010. Selain itu mempunyai tradisi khas, serta kearifan lokal yang menyimpan muatan nilai-nilai. Ini khasanah kekayaan jua, kekayaan yang bisa dieksplor dan “dijual” di ranah pariwisata dunia.

Kabupaten Banyuwangi telah membuktikannya. Di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas sejak Oktober 2010, Banyuwangi telah bertransformasi. Beraksi semacam revolusi, dan relatif cepat berubah. Pertumbuhan ekonomi lebih besar ketimbang Jawa Timur, maupun nasional. Angka kemiskinan yang semula 20,4% kini menjadi 7,8%. Tentang ini Presiden Joko Widodo pernah berkomentar, kalau mau menurunkan angka kemiskinan, belajarlah ke Banyuwangi.

Pertumbuhan ekonomi di kawasan ujung Timur Pulau Jawa ini terdongkak berkat kemajuan pariwisatanya. PAD pariwisata Banyuwangi dari semula Rp 90 miliar, kini capai Rp 460 miliar.

Potensi pariwisata dieksplor penuh kreativitas. Padahal diakui Anas dalam forum diskusi “Mimpi Tokoh untuk Indonesia 2045” di Jakarta yang diadakan PWI Pusat, 16 Oktober 2019, Banyuwangi tidak memiliki sesuatu yang dahsyat.

Ya, tapi Banyuwangi memiliki mimpi besar. Mimpi yang berjejak dengan realitas yang dekat dengan lingkungannya guna mewujudkan masyarakat yang bahagia.

Yang ada dan mengakar, yang berjejak di tanah bekas Kerajaan Blambangan ini adalah budaya. Bagaimana Indonesia bisa maju? Alam dan budayanya, kata Anas, harus kita jaga. Budaya dan kearifan lokal kita, dan kekayaan-kekayaan budaya tiap daerah tidak ada yang pernah mengalahkan Indonesia.

“Bicara ini (budaya) bukan untuk bersaing tetapi berkolaborasi karena masing-masing budaya memiliki ciri khas. Inilah competitiveness yang bisa kita bangun,” tegas alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, juga FISIP UI (S2) ini.

Banyuwangi juga memiliki event “Culture Everyday”, salah satu upaya mempertahankan seni tradisi. (foto: Dinas Pariwisata Banyuwangi)

Salah satu unggulan, Banyuwangi kerap menyelenggarakan Ethno Festival. Tahun ini Banyuwangi mengagendakan 99 event yang dikemas dalam ‘Majestic Banyuwangi Festival 2019’. Ini sangat  menarik wisatawan, baik domestk maupun mancanegara. Event tersebut meliputi seni budaya, kreativitas masyarakat dan kekayaan alam.

Peringkat kepariwisataan Banyuwangi dalam penilaian United National World Tourim Organization (UNWTO-Organisasi Pariwisata Dunia/OPD)  yang berpusat di Madrid,  Spanyol naik.  Tahun ini berhasil mengalahkan peringkat Brazil, Porto Rico dan beberapa negara lain. Karena itu, menurut Anas, pihaknya bisa promosi gratis dengan branding Pariwisata Banyuwangi pada bus-bus pariwisata di Madrid. Indonesia belum bisa berlaga di lapangan sepakbola di Madrid tapi Banyuwangi sudah dikenal di sana, seloroh Anas lagi.

Kuncinya Pelayanan

Bagaimana Banyuwangi mendobrak gerbang kemajuan itu? Banyuwangi yang makin dikenal dengan tari Gandrung-nya ini konsen membangun kampung smart. Bukan smart city. Tentu saja kampung smart diakui bupati tidak populer. “Tapi itu mimpi dan tantangan kita,“ kata mantan anggota DPR RI  periode 2004-2009.

Sekarang, pemerintah, dengan program Dana Desa, malah memberi ruang yang luas guna membangun kampung-kampung atau desa-desa yang smart. Tahun depan (2020) dana desa dialokasikan Rp 400 triliun. Maka untuk mewujudkan desa yang smart itu menjadi PR kita semua. Untuk itu, Anas menyerahkan beberapa kewenangan bupati kepada camat. Karena APBDes harus dicek oleh camat.

Menurut pria kelahiran 1973 ini, ada 14 item setidaknya harus ada terkait APBDes agar bisa  disahkan dan dana pun cair. Ke-14 item itu di antaranya belanja IT, belanja untuk pemberdayaan perempuan, belanji WiFi, fiber optik, dan lainnya. Semula hal ini dirasa seperti utopis, tapi akhirnya mimpi itu terwujud juga. “Sekarang 189 desa sudah terpasang (jaringan) fiber optik,“ papar Anas.  

Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur bahkan di Pulau Jawa, yakni 5.782 km2. Terdiri 25 kecamatan, 28 kelurahan, dan 189 desa dengan jumlah penduduk mencapai 1.693.630 jiwa (BPS 2017)

Dengan sarana komunikasi yang memadai di desa-desa itu, mimpi Banyuwangi seperti mengorak kembang dalam mewujudkan pelayanan yang smart untuk  masyarakat. Bagi Anas, pelayanan yang smart adalah kunci. Karena problem nomor satu orang tidak mau ke Indonesia adalah faktor pelayanan yang buruk. Baik pelayanan dasar, KTP dan pengurusan perizinan.

Berkat pelayanan yang sigap dan smart, Banyuwangi masuk Smart Network ASEAN. Semula Anas menduga yang masuk adalah Bandung atau Surabaya. Bahkan anak-anak Banyuwangi belum lama ini diundang di acara Smart Networking Dunia di Washington DC atas biaya pemerintah Amerika Serikat.

“Ini sebuah kesungguhan dari daerah. Ke depan akan menjadi mimpi bagi Indonesia yang maju. Karena dari desa-desa yang maju itu akan menjadi himpunan bagi Indonesia yang maju,“ tukas Anas.

Kini pelayanan makin bagus, mudah dan cepat dengan terkonsentrasinya pelbagai pelayanan atau semacam mal pelayanan publik. Ini tidak hanya dirasakan oleh warga Banyuwangi. Keramahtamahan itu juga menyapa pengunjung. Bahkan bupati menyebut bahwa semua Dinas di Banyuwangi adalah “Dinas Pariwisata”.

Mengapa? Menurut M. Bramuda, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, semua dinas seperti Dinas Kesehatan, Pertanian dan lainnya diberi kebebasan mengembangkan inovasi yang pada prinsipnya mereka semua adalah marketing. Bagaimana bisa mendatangkan orang (tamu) ke Banyuwangi. Terbukti banyak pihak dari luar yang studi banding ke Banyuwangi.

Kunjungan turis ke Banyuwangi terus menggeliat naik. Wisman tumbuh 691 persen atau di level 98.970 orang tahun 2018. Tahun 2010 hanya 12.500 orang. Sementara wisatawan domestik tumbuh 10,63 persen atau 4,83 juta orang. Jalur udara tumbuh 4,14 persen atau 332.550 orang, sedangkan tahun 2010 hanya 7.835 orang.

Bupati Azwar Anas mempromosikan Kopi Banyuwangi. Prinsipnya, semua bisa menjadi destinasi wisata. (foto: Dinas Pariwisata Banyuwangi)

Selain itu, Banyuwangi punya prinsip semua tempat adalah destinasi wisata, sehingga semua lokasi harus dijaga, dipelihara, dan dikelola dengan baik. Termasuk ruang-ruang gelap dan sunyi kawasan hutan atau perkebunan. Ibaratnya, jangan ada sejengkal tanah yang sia-sia tak dikelola. Ternyata, area yang sunyi-sepi namun memiliki pepohonan dengan aroma alaminya, ada juga pasarnya. Bahkan peminat itu adalah orang-orang kaya yang mapan. Mereka senang rekreasi ke tempat-tempat yang senyap itu.

Terkait birokrasi, menurut Bramuda, ada dua hal yang ditekankan. Pertama, mengubah mindset dalam bekerja. Kalau dulu bekerja dengan super ego, sekarang super tim. “Bukan superman tetapi super team. Bekerja bareng-bareng, (bahasa gaulnya) kroyokan. Kalau bergotong-royong demi kemajuan kan (laju) hasilnya lebih cepat?!,“ papar Bramuda kepada Jayakarta News. Gotong-royong, katanya, merupakan budaya lama yang terdapat di Banyuwangi. Hal ini diadopsi dalam kerja birokrasi. Berjejak dengan realitas – kalau menurut  istilah bupati..  

Kedua, dalam merespon apa pun harus cepat tanggap, baik tentang pelayanan, pengentasan kemiskinan, pengaduan, kritik, dan termasuk yang di sosial media tidak boleh lebih dari 4 jam. “Itu sudah menjadi SOP (standar operasional prosedur) kami,” terang Bramuda lagi.

Apresiasi dari pemerintah pusat pun baru-baru ini (22/11) diterima Bupati Azwar Anas. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberikan penghargaan sebagai Pembina Pelayanan Publik dengan kategori sangat baik. Ini kian meneguhkan label Banyuwangi sebagai daerah yang memiliki pelayanan publik terbaik.

Pelayanan publik yang baik akan memberikan kenyamanan terhadap warga masyarakatnya. Memberi kontribusi terhadap rasa bahagianya. Dan ini tentu akan beriringan dengan respon dan bahkan meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang terus dikembangkan.  Berjejak pada realitas dan budaya lingkungannya.

Berpijak pada Kearifan Lokal

Memanfaatkan budaya, berpijak pada kearifan lokal, itulah menurut Prof Komaruddin Hidayat yang dikedepankan Banyuwangi. Etos kerja, karakter birokrasi seperti ditransformasi menuju pola pikir yang berpijak pada local wisdom (kearifan lokal).

Guru Besar Filsafat Agama, Universitas Islam Negeri Jakarta yang konsen pada pendidikan karakter ini saat diwawancarai Jayakarta News, Sabtu (23/11) di kawasan Pondok Indah, Jakarta memaparkan, untuk membentuk karakter diperlukan nilai-nilai. Di Indonesia, khususnya di Banyuwangi nilai-nilai itu sudah ada sejak dulu, dari agama, tradisi, local wisdom. Kemudian, yang diperlukan bagaimana metode, kurikulum, mekanisme masyarakat agar nilai-nilai itu ditanamkan kepada anak-anak, dan juga masyarakat.

Oleh karena itu diperlukan lembaga pendidikan, pembiasaan, role model, kondisi, ekosistem yang mendukung. “Itu semua kalau saya lihat ada di Banyuwangi. (Di sana) ada kehendak, ada mekanisme manajerial, sehingga ada role model, dan komitmen mengembangkan.”

Menurut doktor lulusan Middle East Techical University, Ankara, Turkey  ini, juga ada teladan, lalu peraturan yang terus dikawal. Ini seperti di Singapura. Ada aturan yang dijaga bersama-sama oleh pimpinannya, sehingga siapa pun yang lahir di sana terbentuk karakternya. Jadi ada nilai, ekosistem, budaya, institusi, ada aturan, ada role model. Ini harus serempak.

“Ya…, mirip rumah tanggalah..!” tegas Rektor UIN Jakarta (2006-2010 dan 2010-2015) yang kini menjabat Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok, Jawa Barat.

Bagi Jawa Timur, dan mungkin terdengar pula ke daerah lain, Banyuwangi dulu berjuluk kota santet. Julukan ini memang diakui  bupati. Katanya, dulu juga semacam kota transit saja atau numpang ke toilet sebelum orang yang bepergian naik kapal menuju Bali.

Dari predikat minor itu, kemudian bermetamorfosis sebagai kota pariwisata yang maju dan kesohor. Dalam pandangan Prof Komaruddin, hal itu sebuah revolusi. “Banyuwangi telah melakukan revolusi, transformasi mencapai kemajuan pesat,“  ujarnya.

Namun pertanyaannya, lanjut Profesor, revolusi yang  dimotori dan dibangun, transformasi nilai yang berpijak dan dikembangkan dari budaya lokal lalu menjadi habit masyarakatnya, sampai kapan bertahan?

“Nilai-nilai itu (sudah) melekat pada masyarakat sehingga apabila  ganti pimpinan, itu (nilai-nilai) jangan sampai ambruk lagi,“ tegasnya menyiratkan kekhawatiran. Lalu, sambungnya lagi, “Yang bagus seperti di Singapura, seperti yang dilakukan Lee Kuan Yew, itu (nilai-nilai) terbentuk sampai satu generasi.

Berarti harus ada sistem?

“Bukan hanya sistem, tapi dua-duanya,“ tangkis Prof Komarudidin, “Di Singapura, figur dan sistem tau nilai-nilai, sehingga membantu mekanisme masyarakat.” Penanaman nilai-nilai, pembiasaan yang menuntun pada kemajuan, setidaknya diupayakan hingga satu generasi, sehingga memungkinkan generasi berikutnya akan mengikuti nlai-nilai yang sudah tertanam tersebut.

Apa yang dilakukan Banyuwangi dalam membangun untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakatnya, terutama yang terkait dengan kemiskinan, ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, anak keluarga miskin yang tidak mau sekolah bukan karena biaya karena Pemerintah sudah menggratiskan.

Masalahnya tak punya ongkos dan anak minder karena tidak bisa jajan di kantin sekolah seperti teman-temannya. Ini, menurut bupati, merupakan  problem di luar perdebatan formal tentang pendidikan. Karena itu Banyuwangi memberikan uang saku kepada anak sekolah keluarga miskin. Rp 10 ribu bagi anak SD, Rp15 anak SMP dan Rp 20 ribu anak SMA, dengan syarat, keluarganya tidak merokok. “Sekalian kampanye kesehatan,“ kata Anas.

Kedua, di kampung-kampung tidak boleh ada orang kelaparan, terutama lansia. Beberapa hidup sebatang kara, tidak punya istri, tidak punya tanah pekarangan. Ini juga di luar perdebatan angka-angka mengatasi kemiskinan, karena APBD/APBN tidak bisa “masuk”, jelas bupati.

Namun Banyuwangi punya solusi. Sebanyak  3.017 lansia mendapat jatah makan dua kali melalui program Rantang Kasih. Dananya dari APBD dan masyarakat. Rantang makanan itu dipesan dari warung-warung yang ditunjuk, lalu diantar Gojek. “Hal ini juga untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat pedagang,“ kata Bramuda, Kepala Dinas Pariwisata Banyuwangi.

Dengan memperhatikan psikologi kalangan kebanyakan, melalui pemberian uang saku bagi anak sekolah keluarga miskin, serta ngopeni (memelihara) lansia guna meningkatkan derajat insaninya,  hal ini menunjukkan kesungguhan pemimpin dalam baktinya. Dalam konteks budaya, apalagi religi massa, langkah ini seperti menggedor pintu-pintu langit untuk mencurahkan keberkahannya. Dan mimpi kejayaan negeri pun kiranya tak terlalu lama mewujud.

Kesungguhan daerah dalam membangun dan upaya menyejahterakan warganya seperti Banyuwangi, juga Surabaya dan lainnya, hanya sekian persen dari ratusan kabupaten/kota yang ada. Desentralisasi seperti ini, menurut Komaruddin Hidayat bisa dijadikan contoh.

Ia sangat menekankan keberadaan birokrasi yang bersih dan melayani. Bukan yang bertele-tele dan jelimet. Kendala dan sumbatan kemajuan selama ini justru berada di lingkaran birokrasi. Padahal salah satu langkah menuju kemajuan dan kesejahteraan daerah adalah birokrasi yang bersih dan pelayanan publik yang baik.

”Kalau banyak daerah yang maju dan sejahtera, maka secara nasional kan sejahtera,“  kata mantan Ketua Panwaslu 2004 ini. Tentu, lanjutnya pula, ilmu pengetahuan dan teknologi harus terus dikembangkan, karena ini juga merupakan ciri negara maju. (sri iswati) 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *