Kabar
Pemanfaatan Pajak Rokok Belum Optimal
Jayakarta News – Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) bekerjasama dengan Komnas Pengendalian Tembakau merilis penelitian kualitatif mengenai potensi dan kendala optimalisasi dana pajak rokok daerah untuk kesehatan, Senin (25/11).
Studi dilakukan dengan mewawancarai stakeholders yang berhubungan langsung dengan pajak rokok daerah, di antaranya Pemerintah Daerah (Dinkes, Bappeda, Satpol PP), DPRD, serta elemen masyarakat sipil di 5 daerah, yaitu Kota Medan, DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Denpasar.
Studi tersebut dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia Medan bersama Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT), Udayana Central Bali, dan No Tobacco Bogor. Dari hasil studi ini ditemukan bahwa masih terdapat instansi terkait keuangan daerah yang belum paham mengenai pajak rokok daerah untuk kesehatan, yang menyebabkan tidak adanya konsistensi penganggaran implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) dengan menggunakan dana pajak rokok daerah.
Selama ini, pajak rokok daerah diatur dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Darah dan Retribusi Daerah yang menegaskan bahwa penerimaan pajak rokok baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang, seperti pemberantasan rokok ilegal dan penegakan aturan KTR. Dalam perjalanannya, Pemerintah menerbitkan beberapa peraturan lain di antaranya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.40 tahun 2016 serta peraturan-peraturan lain yang sangat berpengaruh pada penyaluran maupun peruntukan dana pajak rokok di daerah.
Yayasan Pusaka Indonesia berinisiatif melakukan sebuah studi mendalam untuk mengurai permasalahan implementasi pajak rokok daerah. Kelima daerah dipilih karena sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan memiliki beberapa stakeholder yang dianggap memiliki perhatian pada upaya pengendalian tembakau di daerahnya masing-masing
Hasil studi menunjukan, baik dari pihak Pemerintah Daerah dan DRPD masih belum sepenuhnya memahami kebijakan pajak rokok daerah. Ketidakpahaman komisi yang terkait kesehatan dan keuangan di DPRD tentang kebijakan pajak rokok daerah berpengaruh pada lemahnya pengawasan legislatif terhadap eksekutif terkait penggunaan pajak rokok daerah khususnya untuk kepentingan kesehatan. Pihak yang sepenuhnya memahami tentang pajak rokok daerah masih terbatas hanya pada stakeholder utama, seperti Dinas Kesehatan, Bappeda, dan Satpol PP. Hal ini berdampak pada tidak adanya konsistensi penganggaran implementasi kebijakan KTR serta upaya promotif dan preventif dengan menggunakan dana pajak rokok daerah.
Studi ini juga mengungkap bahwa selama ini masih belum ada pelibatan elemen masyarakat (kecuali beberapa akademisi) dalam pembuatan kebijakan pajak rokok daerah untuk kesehatan, baik dari proses sosialisasi, terlebih lagi perencanaan.
Studi ini juga secara khusus mencoba melihat implikasi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan yang memotong sebesar 37,5 % dari pajak rokok daerah untuk ditransfer ke BPJS Kesehatan. Pemerintah daerah merasa dirugikan dengan kebijakan earmarking ini karena implikasinya adalah berkurangnya alokasi dana yang tadinya dapat digunakan untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan (preventif), namun kini harus dialihkan untuk membantu pendanaan BPJS kesehatan (kuratif). Hal ini dianggap kontraproduktif karena seharusnya dana untuk program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit semakin besar sesuai dengan visi kesehatan pemerintah.
Dari sisi BPJS, kebijakan earmarking ini ternyata tidak banyak membantu mengobati defisit. Berdasarkan perhitungan awal yang dilakukan BPJS, potensi penerimaan BPJS dari pajak rokok daerah adalah Rp5,5 triliun. Akan tetapi, pada 2018, BPJS ternyata hanya menerima dana sebesar Rp1,58 triliun. Namun, yang murni menjadi hak BPJS hanya sebesar Rp 681 miliar. Mekanisme penghitungan dan rekonsiliasi dana pajak rokok sebesar 37,5% sangat kompleks dan berpotensi menimbulkan pergesekan petugas BPJS di daerah dengan kepala daerah.
Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia, OK. Syahputra Harianda menyebutkan, “Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, di antaranya melakukan sinkronisasi kebijakan, meningkatkan partisipasi publik, memasifkan sosialisasi kebijakan, mengenakan pungutan tambahan Pajak Rokok untuk Kesehatan (PRUK), serta melakukan simplifikasi golongan cukai rokok.”
“Melakukan pungutan pajak rokok untuk kesehatan (PRUK) sebesar RP5-10/batang rokok adalah cara yang lebih simpel dan realistis, administrasi cukai bisa lebih rapi dan bisa dipantau, tidak rumit karena menggunakan rumus seperti dalam PMK 128 dan berdasarkan jumlah batang rokok. Walaupun jumlahnya kecil, namun jika dikalikan dengan jumlah rokok yang diproduksi jumlah tersebut akan sangat besar untuk membantu menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan,” tegas Dr. Abdillah Ahsan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, selaku peneliti utama. (*/Monang Sitohang)