Connect with us

Kabar

Membangun Generasi Cinta Keberagaman

Published

on

JAYAKARTA NEWS  –  Dunia pendidikan  menjadi sasaran utama dalam upaya membenahi, dan mencegah atau menangkal ujaran kebencian yang kerap berlanjut pada tindak kekerasan. Ini bisa dimaklumi karena kalangan terdidik inilah yang terdepan diharapkan mampu membangun dan menumbuhkan  generasi yang cinta damai, toleran dalam keberagaman.

Narasi seperti itulah yang  kita dapatkan dari webinar yang diselenggarakan Maarif Institut bekerjasama dengan Institut Leimena Jakarta, Senin malam (27/5). Temanya cukup mendasar dan menarik; “Literasi Keagamaan untuk Melawan Ujaran Kebencian” . Ikut memberi sambutan Prof Dr Muhadjir Effendy Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Diretur Eksekutif Institut  Leimena Matius Ho

Tampil beberapa  nara sumber yang banyak bersinggungan dengan dunia pendidikan seperti Prof Dr Muhammad Adlin, MA, Ph.D staf ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat, Dr Alwi Shihab, senior fellow Institut Leimena, Prof Dr Ahmad Najib Burhani, MA  peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).  Bahkan menghadirkan Dr Amra Sabic El Rayess, dosen di Columbia University,  perempuan muslim Bosnia, penyintas konflik dan genosida antara Serbia dan Bosnia Herzegovina, 1992-1995.

Apa yang dialami Amra kemudian  dikajinya, dan selanjutnya disampaikan dengan storytelling (proses seseorang menyampaikan cerita melalui berbagai media, seperti  kata-kata, gambar, suara  dari pengalamannya). Cara ini  diharapkan bisa menjadi acuan model di kelas-kelas pendidikan atau yang terkait dunia pendidikan.  Tujuannya membangun empati siswa atas peristiwa atau kejadian orang lain, apapun peristiwanya. Misalnya anak-anak korban gempa, atau kala melihat rumah ibadah yang tinggal puing-puing karena hancur akibat konflik. Kiprah storyteller  cukup  penting dan membawakannya dengan baik, seolah dirinya melihat dan terlibat dalam kisah yang disampaikan.

Dipaparkan, pendidik mesti tahu kondisi ,  dan mengenali betul apa yang terjadi di lingkungan peserta didik.  Anak yang mengalami keterasingan  di ruang-ruang  atau difasilitas pendidikan bisa menimbulkan risiko atau  terdampak radikalisasi.

Dalam merespon isu keterasingan di pendidikan atau minimnya rasa memiliki  di lingkungan/ komunitasnya akhirnya membuat rentan ketahanannya terhadap suatu kebencian. Karena itu Amra coba fokus mengembangkan kompetensi-kompetensi guna melindungi dari radikalisasi dan ekstremisme. Selain itu, seseorang juga harus meningkatkan kesadaran terhadap diri sendiri.

Kita menyadari terhadap lingkungan komunitas dan kita bisa membangun rasa memiliki, bisa bertukar story atau bercerita untuk membangun empati dan keterhubungan sosial dan aliansi. Dan juga mendorong cara-cara tanpa kekerasan untuk meningkatkan budaya di sekolah-sekolah.

Amra Sabic juga menggarisbawahi  pentingnya literasi media dan digital dan berpikir kritis untuk  bisa dikembangkan dalam  masyarakat. Ini faktor-faktor protektif yang bisa melindungi kita dari kekerasan.

Amra mengisahkan bagaimana ia bisa lari dari pembunuhan yang dilakukan Serbia. “Selama 1200 hari saya hidup dalam kepungan  militer Serbia dan pengeboman,  tanpa akses ke dunia luar,  tanpa  penerangan  listrik, dan kesulitan bahan makanan.”

Cara ini bisa merupakan suatu upaya untuk  mendidik generasi baru bagaimana seseorang bisa selamat dari penyintas genosida namun tetap memiliki resiliensi  atau ketahanan.  Dia misalnya,  bisa cerita penglamannya,  keluarganya,  tetangganya,  bagaimana menghadapi kebencian.

Ketika  dihadapkan pada kebencian kami merespon dan membalasnya dengan kasih sayang dan rasa membangun komunitas. Jadi tidak terpancing  atau membangun kebencian.

“Ini merupakan upaya saya untuk mengakhiri dan  mengedukasi diri, “ kata Amra.  Dan dengan storytelling untuk mendorong kesadaran diri. Dan kesadaran diri tersebut  merupakan  faktor protektif.

Diakuinya, seringkali kita memiliki asumsi tehadap orang lain  atau kelompok, baik mengenai sikapnya, penampilan,  dll. Jika terkait  atau bernuansakan kebencian, sarannya adalah sediakan ruang untuk interaksi, dialog, dan diskusi, sehingga kita bisa melindungi masyarakat kita dari kekerasan dan kebencian. Jadi  storytelling menumbuhkan dialog terbuka, interaksi dan juga perencanaan untuk mencegah kekerasan.  Menumbuhkan kesadaran diri dan kesadaran masyarakat.

Tipologi Kekerasan

Riset, menurutnya,  menunjukkan bahwa kekerasan  berakar  pada kekerasan kultural. Jadi semua narasi, ujaran kebencian, merendahkan martabat, mendorong ekstremisme, merendahkan kemanusiaan, mengolok-olok suatu identitas tertentu, inilah yang disebut kekerasan kultural. 

Nah, dari narasi, kisah-kisah, yang menyasar suatu kelompok akan berujung pada kekerasan struktural dan akhirnya akan menimbulkan  kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang  didukung oleh lembaga-lembaga negara yang akhirnya berujung pada kekerasan langsung seperti  pembunuhan, genosida, serta pembersihan kelompok etnis.  

Kalau ada misalnya  kekerasan kultural yang mendorong kebencian terhadap kelompok  minoritas etnis maupun agama,  mereka tidak begitu terlihat menjadi korban perundungan,  korban intimidasi, baik oleh tenaga pendidik maupun teman-teman mereka di sekolah.

Namun yang terdampak banyak. Pertama,  mereka yang menjadi sasaran kekerasan dan perundungan. Kedua, pelaku yang membangun narasi kebencian  juga beriko untuk melancarkan kekerasan yang lebih tinggi. Dan ketiga,  kalaupun  diasingkan, maka masyarakat juga berdampak terpapar kekerasan. Ini tidak hanya terjadi di Amerika, tapi di belahan dunia lainnya.  

Cinta Keberagaman

Sementara Dr Muhammad Adlin   menjelaskan terkait hasutan kebencian. Dikatakan,  hasutan kebencian adalah  segala bentuk komunikasi langsung maupun tidak langsung berdasarkan kebencian atas dasar suku, agama dan kepercayaan. Kedua, hasutan ditujukan untuk individu atau kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan konflik sosial yang dilakukan melalui berbagai sarana.

Empati merupakan  kunci untuk menumbuhkan   dan menanamkan rasa cinta terhadap keberagaman. Dengan berempati  kita belajar  untuk merasakan , memahami dan memposisikan diri dalam hal perasaan, pemikiran dan pengalaman orang lain. Melatih empati dapat dilakukan dari hal paling sederhana seperti mendengarkan aktif, mengucapkan terima kasih, tolong, dan maaf.

Sesuai yang tertera dalam kurikulum  Merdeka Belajar, Dr Adlin juga  menekankan peran pendidik. Pendidik dan tenaga kependidikan perlu mendorong terbangunnya budaya “Bersama Cinta Keragaman”  di satuan pendidikan melalui berbagai inisiatif. 

Sebelumnya, dalam sambutannya Moh Shofan,  Direktur Program Maarif Institute mengatakan, Webinar  ini dalam rangka memperingati hari melawan ujaran kebencian sedunia.  Dengan pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya diharapkan dapat berperan aktif melawan ujaran kebencian yang semakin marak di masyarakat.

Pada Juli 2021 Majelis Umum PBB menggarisbawahi keprihatinan global mengenai maraknya ujaran kebencian serta penyebarannya yang bersifat eksponensial. Dengan itu diciptakannya resolusi 75/ 309 tentang mempromosikan dialog lintas agama dan lintas kultural serta toleransi dalam perlawanan terhadap ujaran kebencian.

Ujaran kebencian meningkat di seluruh dunia yang berpotensi  menghasut kekerasan, merusak kohesi sosial dan toleransi, serta menyebabkan kerugian psikologis, emosional, dan fisik bagi mereka yang terkena dampaknya. Ujaran kebencian tidak  hanya mmpengaruhi individu dan kelompok tertentu yang menjadi sasaran tetapi juga masyarakat luas.

 Skala dan dampaknya pun diperkuat oleh penyalahgunaan teknologi komunikasi dan media sosial, serta menimbulkan potensi penyebaran retorika dan ideologi yang bersifat memecah belah. Jika hal ini dibiarkan, ujaran kebencian  dapat merusak perdamaian dan pembangunan karena menjadi dasar konflik dan ketegangan dalam pelanggaran hak asasi manusia  berskala luas. iswati

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement