Connect with us

Kabar

Kong Yiji dan Sarjana Tiongkok Kiwari

Published

on

Tak kurang dari dua kali kumpulan cerita Lu Xun (1881-1936), penulis termashur Tiongkok, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yakni tahun 1963 dan 1989. Dalam kedua-duanya terdapatlah cerita “Kong Yiji” (“Kung I-Tji”), yang hari-hari ini sedang menjadi mèm (meme) atawa kartun virtual, paling populer di Tiongkok, tentang surplus sarjana yang memungkinkan para lulusan tahun ini jadi penganggur. Data angka, 20% dari mereka yang berusia 16-24 kini tidak memiliki pekerjaan (The Economist 20/4/2023). Mengapa begitu?

Kong Yiji: Otak dan Badan dalam Perubahan

Lebih baik diikuti dulu ringkasan cerita “Kong Yiji” yang ditulis tahun 1919 berikut: Di kota Luzhen terdapatlah Kedai Arak Nikmat yang tentu saja menjual arak. Terdapat dua jenis pengunjung di kedai itu, yang berjubah panjang atau kelas atas akan masuk ke dalam, dan memesan arak serta daging terbaik; yang berjubah pendek atau kelas bawah cukup berdiri di luar, dengan pesanan terbatas.

Di antara keduanya terdapatlah warga senior Kong Yiji, berjubah panjang tapi sudah cabik-cabik dan berdiri di luar. Kedudukan itu disebabkan oleh ketidakmampuan Kong Yiji mencari nafkah, meskipun berpengetahuan baca-tulis, dan suka memamerkan keahliannya dengan aksara rumit. Betapapun, kata orang-orang ia tak pernah lulus ujian-negara di masa feodal.

Kong Yiji dalam ilustrasi terjemahan Shannu © 1963 JAJASAN KEBUDAJAAN SADAR

Kehidupan Kong Yiji yang lucu sekaligus mengenaskan—ketika di luar kedai ia terpaksa mencuri, kepergok, dan dipukuli; menjadi contoh orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Setelah Revolusi Xinhai menggulingkan Dinasti Qing pada 1911, dan Tiongkok memasuki masa modern, sistem negara republik memang penuh konflik.

Republik China di Pulau Taiwan maupun Republik Rakyat China di Daratan Tiongkok, keduanya melihat diri mereka sendiri sebagai penerus yang sah dari Revolusi 1911 itu, dan menghormati cita-cita revolusi seperti nasionalisme, republikanisme, modernisasi, dan kesatuan nasional. Pembuatan cerita tahun 1919 menunjukkan apa yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, betapa ambruknya feodalisme tidak berarti cara berpikir langsung berganti. Delapan tahun belum berarti apa-apa.

Shannu, penerjemah buku Lu Xun pada 1963 langsung dari bahasa aslinya, memberi catatan atas cerita “Kong Yiji” ini: Pengarang mengungkapkan kebudayaan feodal yang masih mencekam pikiran rakyat Tiongkok pada waktu itu, hingga banyak pemuda yang jadi korbannya. Kong Yiji adalah salah seorang intelektual yang dipengaruhi kebudayaan feodal, yang masih memuja sistem ujian-negeri yang dijalankan sejak Dinasti Tang hingga Dinasti Ching.

Sistem ujian-negeri ini diadakan untuk memilih pegawai-pegawai tinggi, yang diperlukan untuk instansi-instansi pemerintahan waktu itu. Ujian-negeri diadakan sedemikian sukarnya, sehingga pada umumnya tak memungkinkan orang-orang biasa menempuhnya atau terbengkalai di tengah jalan. Pengaruh yang sangat buruk dari sistem ini ialah menanamkan pikiran pada rakyat, tentang betapa agung dan luhurnya pekerjaan otak dan betapa rendahnya pekerjaan badan (Shannu dalam Lu Sin, 1963: 9-10).

Sarjana Tanpa Pekerjaan

Maka apakah yang terjadi pada para lulusan universitas di Tiongkok hari ini? Cerita itu dikutip kembali oleh kaum muda Tiongkok, yang tahun 2023 ini menurut The Economist edisi yang sama mencatat rekor: 11.600.000 sarjana akan lulus, dan sebagian besar dipastikan menganggur—kecuali sudi melakukan kerja kasar. Indeks CIER yang mendata kompetisi pasar kerja, keluaran Universitas Renmin di Beijing, memperlihatkan jarak yang lebar antara jumlah lulusan sekolah tingkat lanjut dan jumlah ketersediaan lapangan kerja. Komentar seperti “Lulus sekolah artinya tidak bisa kerja” jamak viral belakangan, bersama mèm Kong Yiji.                    

Kong Yiji dengan secawan anggur mencari kerja secara daring. © 2023 DEREK ZHENG / THECHINAPROJECT.COM

Tentu ini membuat pemerintahnya terganggu, yang menganggap kaum muda mesti belajar dari cerita Lu Xun itu secara lain, bahwa Kong Yiji yang mestinya meningkatkan diri dengan kerja keras, terlalu berat melepas langkahnya dari jalur intelektual. Jika Kong bisa dipersalahkan karena arogansi feodalnya, begitu pula angkatan muda Tiongkok, yang gelar-gelar kesarjanaannya, seperti jubah panjang Kong, membuat mereka angkuh dan malas melakukan kerja dengan keahlian rendah.

Agar mau, Liga Komunis Muda mengungkap betapa tak kurang dari Xi Jinping, pemimpin Tiongkok sekarang, dalam media negara memuji-muji Wei Qiao, perempuan muda dari provinsi Jiangsu, karena bersedia pindah ke desa dan menjadi “petani baru”. Dalam media negara, Nona Huang di province Henan dipuji-puji karena mencari nafkah dengan mengumpulkan sampah daur ulang. Dari video terlihat Huang berkata, “Kerja kantoran itu membosankan, jangan terbelenggu gelar pendidikan kita.” Mereka ini dipuji sebagai anti-Kong.

Namun jika pilihan bidang masing-masing mesti dilepas, “Mengapa kita semua tidak berhenti sekolah saja, kerja di pabrik, dan menghemat perjuangan 15 tahun?”. Argumen etis ternyata juga berlaku, bila dinyatakan pula, “Seumur hidup orangtuaku menabung dari hasil kerja di pabrik, untuk memberiku jubah perguruan tinggi. Bagaimana bisa kulepaskan?”

Setidaknya tiga juta pemirsa Tiongkok menyaksikan pernyataan seorang vlogger dalam video musik bertema ‘semangat cerah Kong Yiji’: “Aku bersekolah untuk membantu kebangkitan Tiongkok, bukan jadi pengantar barang.” Namun kini sudah disensor.

Dalam suatu forum, novelis Yu Hua menyatakan bahwa masalahnya bukanlah soal jubah perguruan tinggi, tetapi keterbatasan lapangan kerja. Diungkapnya, untuk enam lowongan di sebuah penerbitan, pelamarnya 6000 orang. Menurutnya, penyelesaian satu-satunya adalah mengejar pertumbuhan ekonomi yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

Lu Xun (1881-1936). © 1963 JAJASAN KEBUDAJAAN SADAR

The Economist mencatat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok tumbuh lebih cepat daripada yang diharapkan pada kuartal pertama tahun ini. Namun pasar kerja yang lemah bagi para lulusan—dan mèm tentang Kong Yiji—tampak seperti masih akan bertahan beberapa lama.

Kesusastraan dan Zaman

Dalam konteks susastra, peristiwa terhidupkannya karakter Kong Yiji, dalam cerita Lu Xun yang ditulis lebih dari 100 tahun lampau, adalah gejala tak kalah menarik dari masalah etika sosial pembelajaran yang sudah terungkap tadi.

Pertama, bahwa karakter Kong Yiji telah ditafsir dari dua sisi: (1) adalah perubahan zaman, dalam arti perubahan politik, menjadi faktor terkorbankannya manusia; (2) adalah faktor manusia, yang tidak mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan politik, dari kekaisaran feodal ke republik demokratik—tempat karakter Kong Yiji menjadi situs pertarungan ideologis.

Kedua, susastra berfungsi bukan dari segi teknik-estetik, tempat suatu pendekatan kritik akan membongkar bentuk dan maknanya; melainkan sebagai representasi wacana ekonomi politik, tempat berlangsungnya tegangan antara ideologi pendidikan dan realitas sosial, yang mendorong lahirnya berbagai bentuk mèm di media sosial dengan pemirsa jutaan.

Meskipun seabad lalu cerita “Kong Yiji” hadir melalui kata-kata gubahan Lu Xun, bukan lagi ungkapan literer yang kini menentukan eksistensi karakter Kong Yiji, karena bentuk dan apapun maknanya sudah teralih-wahanakan menjadi mèm, yang tidak berkepentingan dengan bentuk asalnya, melainkan penggambaran kembali dilema angkatan kerja Tiongkok kiwari.

Ini hanya mungkin terjadi, ketika “Kong Yiji” sebagai cerita susastra modern di negeri komunis tersebut, sesuai dengan popularitas Lu Xun, memang sudah diterima, dikenal, dan dihayati dalam kondisi seperti cerita rakyat.

SENO GUMIRA AJIDARMA
Partikelir

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *